
Selain plastik, jenis sampah yang sulit terurai adalah styrofoam yang kerap digunakan untuk kemasan makanan. Styrofoam, sebuah material berbahan expanded polystyrene masuk kategori sampah plastik yang mengandung zat berbahaya, seperti benzene dan styrene.
Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat melansir styrofoam membutuhkan waktu sekitar 500 – 1 juta tahun untuk dapat terurai oleh tanah. Dalam kurun waktu itu styrofoam tersebut tidak sepenuhnya terurai, melainkan berubah menjadi mikroplastik yang dapat mencemari lingkungan.
Persoalannya jika sampah plastik lebih mudah digunakan kembali atau didaur ulang, tidak demikian dengan styrofoam.
Untungnya ada orang kreatif seperti Surani. Warga Cakung, Jakarta Timur ini merintis pengelolaan styrofoam sejak 1987, dengan riset kecil-kecilan dan menemukan bahwa styrofoam dicairkan kemudian dibentuk adonan yang disebut clay (seperti tanah liat).
Awalnya produknya batako mencampur adonan styrofoam tersebut dengan gamping dan kemudian dicetak seperti halnya membuat batako. Begitu juga dengan pot bunga dan pada perkembangannya pria kelahiran Jepara, 1964 ini membuat kreasi lukisan berbahan styrofoam.
Hasilnya, setiap hari dia mampu mengurangi sampah styrofoam sebanyak satu hingga dua kuintal, atau sekitar lima puluh kuintal sebulan dengan menjadikan 50 pemulung menjadi mitranya. Upayanya kemudian didukung oleh United Tractor yang menjadikannya sebagai binaan. Surani membeli styrofoam Rp2.500 hingga Rp3.000 per kilogram dari pemulung.
Seiring perjalanan waktu Surani menjadi pendidik lingkungan hidup, terutama bagi siswa UT. Mimpinya untuk menjadikan sekolah daur ulang sampah terwujud pada 2013 dengan berdirinya Recycle Academy yang juga berlokasi di kawasan Cakung.
“Sekali pelatihan saya bisa mengajar 30 hingga 45 siswa, kebanyakan usia 18 hingga 20 tahun untuk berapa minggu, sehingga mereka juga bisa melakukan hal yang sama. Saya peduli lingkungan dan ingin menciptakan lapangan kerja dengan kegiatan daur ulang sampah,” ungkap Surani ketika dihubungi Koridor, Kamis, 9 Juni 2022.
Kini dengan teknik yang nyaris serupa ayah dari dua anak ini menjadikan ban bekas sebagai produk souvenir. Caranya memotong-motong ban bekas jadi serpihan, kemudian digiling menjadi butiran-butiran kecil atau serbuk dan baru dibentuk sesuai keinginan. Inovasi ini akan dibawa untuk lomba tingkat nasional mendatang. Ban bekas ini dibeli antara Rp5.000 hingga Rp200 ribu per ban.
“Ban bekas ini menghasilkan serbuk unik, artistik, bertekstur seni bernilai tinggi, saya berharap bisa mengurangi sampah ban di Jakarta,” kata dia.
Tidak berhenti begitu saja, Surani juga melakukan inovasi mengubah kulit durian menjadi produk lukisan seperti halnya yang dia lakukan pada styrofoam.
Dia juga mengatakan, ketika masa pandemi tidak berhenti berkreativitas. Surani mampu membuat lukisan dari botol bekas, mengisi webinar selama dua tahun.
Sebagai catatan pada 2016 Surani menjadi pemenang lomba pengelolaan sampah tingkat Provinsi dan Nasional di NTB. Kegiatannya dibiayai secara mandiri dan sebagian dibantu CSR dari United Tractor. Produk lukisan banyak dibeli oleh pejabat, politisi, pengusaha, profesional hingga kalangan gereja antara Rp1 juta hingga Rp3 juta. Bahkan ada lukisan dibeli hingga Rp50 juta.
Surani mendapatkan penghasilan antara Rp50 juta hingga Rp100 per bulan. Sebagian uangnya diputar untuk membeli styrofoam ke pemulung, modal untuk pameran dan sewa tempat di Jakarta Garden City (JGC), Cakung.