Dalam bahasa Jawa Kuno, Kartasura berasal dari kata karta yang artinya makmur dan sura yang berarti berani. Secara keseluruhan mengacu pada sebuah kota yang berani berjuang untuk kemakmuran.
Riwayat Kartasura (Kartosuro) bisa ditarik pada 1674, ketika pecah pemberontakan Trunojoyo dari Madura melawan Kesultanan Mataram yang dipimpin Sunan Amangkurat I. Pemberontakan ini awalnya diprakarsai oleh putra sultan bernama Pangeran Adipati Anom, yang khawatir haknya sebagai putra mahkota diambil oleh putra Sunan yang lain.
Belakangan sang pangeran berbalik mendukung ayahnya, ketika pasukan gabungan Taruna Jaya dan Makassar dipimpin Karaeng Galesong, didukung merebut Keraton Plered pada 2 Juli 1677. Sunan mengungsi bersama putra mahkota, namun wafat karena sakit pada 13 Juli 1677. Sebelum wafat, dia mengangkat Adipati Anom menjadi Sunan Amangkurat II.
Sang Sunan baru ini dalam keadaan panik meminta bantuan VOC dengan imbalan sejumlah wilayah Mataram diserahkan. Pasukan VOC dipimpin Kapten Francois Tack dengan sekutunya Arung Palakka dari (kini) Bone, Sulawesi Selatan, mengatasi pemberontakan Trunojoyo. Pemimpin pemberontak ini ditangkap dan dihukum mati pada 2 Januari 1681.
Karena Plered dianggap ‘sial’ untuk menjadi pusat pemerintahan, maka Amangkurat II memerintahkan Patih Nerangkusuma agar membuka hutan Wanakerta yang akan dibangun menjadi keraton baru, yang kemudian disebut Kartasura. Pada 11 September 1680 Amangkurat II resmi menempati keraton dan memindahkan pusat pemerintahan.
Namun bukan itu saja peristiwa besar bersejarah yang terjadi di Kartasura. Pada Jumat 8 Februari 1686 terjadi pertempuran antara pasukan Surapati dengan pasukan VOC dipimpin Kapten Francois Tack di alun-alun keraton. Mantan budak yang memberontak dari Batavia, menjadi buronan VOC mampu menghancurkan pasukan Belanda. Tack termasuk di antara 79 serdadu yang tewas dalam pertempuran itu.
Hermanus Johannes de Graff, seorang sejarawan Belanda dalam bukunya De Moord op Kapiten Francois Tack menduga bahwa Sunan Amangkurat II terlibat dalam persekongkolan menjebak pasukan VOC. Sikap ambigu Sunan Amangkurat II ini hingga sekarang masih menjadi misteri, mengapa dia melindungi Surapati dan terlibat dalam menjebak sekutunya sendiri ketika menghadapi Trunojoyo.
Peristiwa bersejarah lain di Kertasura ialah pemberontakan orang Tionghoa dan orang yang anti VOC yang berhasil merebut Kertasura pada 1740. Dalam peristiwa itu, Sunan Paku Buwana II melarikan diri ke Ponorogo. Pemberontak mengangkat Mas Gerendi sebagai Sunan Amangkurat V. Pemberontak menduduki Kertasura sampai akhirnya pasukan VOC merebutnya kembali dan menumpas pemberontakan pada 1743. Paku Buwana II meninggalkan keraton Kartasura dan membangun keraton baru di Desa Sala, yang kemudian menjadi Surakarta.
Sisa-sisa benteng keraton Kartasura yang dinamakan Baluwarti menjadi saksi bisu berbagai peristiwa bersejarah itu, kini tersisa tembok sepanjang sekitar 100 meter di kawasan Sukoharjo. Menurut Ketua Solo Society Dani Saptono keberadaan Kartasura sebagai kawasan situs bersejarah sebenarnya tidak hanya terbatas pada lokasi dimana tembok benteng keraton berada.
“Tapi lebih dari itu, karena di sekitar lokasi masih banyak ditemukan sebaran artefak baik dari masa sebelum Mataram Islam maupun sesudahnya,” ujar Dani ketika dihubungi Koridor, 27 April 2022.
Sebagai catatan, selain Benteng Keraton Baluwarti, terdapat Benteng Srimanganti, bekas kamar tidur raja yang hanya berupa sisa lantai, serta tembok bekas Gedung Obat (Mesiu) yang kini menjadi pemakaman.
Pria kelahiran 1983 dan alumni Universitas Negeri Sebelas Maret menyayangkan kondisi situs Kraton Kartosuro untuk saat ini memang kurang terawat. Peran Pemerintah dan Keraton sebenarnya sangat dibutuhkan untuk hadir di tengah masyarakat sekitar, dalam upaya menegaskan dan membumikan kesadaran pentingnya situs Kraton Kartasura ini.
“Meskipun sudah banyak komunitas dan paguyuban masyarakat yang sering mengupayakan pelestarian situs ini, namun rasanya masih kurang maksimal jika pemerintah dan Keraton (Surakarta) sendiri tidak ikut bergandengan tangan,” ucap dia.
Tembok benteng tersisa itu sisi sebelah barat sepanjang sekitar 7,4 meter, lebar 2 meter dan tinggi 3,5 meter dijebol oleh pemilik lahan bernama Bambang Cahyono pada 21 April 2022. Dia mengaku membeli lahan seluas 684 meter per segi itu, dari pemilik sebelumnya Linawati yang kini tinggal di Lampung bersama suaminya, seharga Rp850 juta. Penjebolan tembok itu beralasan untuk akses keluar masuk kendaraan yang mengangkut material.
Dani menilai peristiwa penghancuran tembok sisi barat situs Keraton Kartasura, menjadi indikasi terjadi krisis atas naluri kesadaran berbangsa dan egoisme materialistik yang terus berulang mengalahkan akal budi.
Ke depan, Dani mengusulkan kawasan ini dijadikan wilayah edukasi sejarah dengan konsep pengelolaan ramah lingkungan sekitar, bisa dijadikan ruang publik berupa museum terbuka dan ruang edukasi serta seni pertunjukan, dengan galeri tanpa mengubah struktur dan bentuk dari kawasan situs dan melibatkan warga sekitar.