Bertempat di kerajaan dongeng yang sama, Wakanda Forever tanpa malu-malu menyebarkan gagasan bahwa Wakanda adalah negara Afrika yang sesungguhnya. Bagi orang-orang naif yang hanya peduli pada isu ras, Wakanda adalah sumber inspirasi Afro-futuris kecerdasan kulit hitam Milenial, pusat kemajuan ilmiah, dan kemandirian politik. MCU menjual konsep tanah air yang terlihat seperti pusat perbelanjaan di surga.
Di sekuel ini, MCU mencoba bertindak ‘nakal’, bertumpu pada kematian raja Wakanda, T’Challa (aslinya diperankan oleh mendiang Chadwick Boseman). Dibuka dengan adegan seremoni pemakaman yang tidak sesuai kenyataan, layaknya adegan Beltway Nancy Pelosi mengenakan kain Kente palsu berlutut di depan kriminal yang dibanggakan media, George Floyd. Mereka melembagakan mitos politik melumpuhkan, yang dirancang pada akhirnya justru merusak harga diri dan kemandirian orang kulit hitam Amerika.
Namun Upacara palsu Wakanda Forever (memadukan desain legendaris Busta Rhymes – Hype Williams Put Your Hands Where My Eyes Can See, musik video lengkap dengan pemakaman kenegaraan imajiner – termasuk wajah T’Challa di papan reklame), hanyalah prolog taktik politik utama film tersebut. Kematian T’Challa berarti keagungan matriarkal akan menggantikan patriarki kulit hitam.
Progresivisme Wakanda Forever seakan menindaklanjuti ‘pengebirian’ kaum kulit hitam yang baru-baru ini terlihat di The Woman King. Hollywood mengulangi upaya Marxis ‘Black Lives Matter’ untuk menghancurkan kesatuan keluarga lewat taktik divide-and-conquer: memancing kerinduan akan feminisme kulit hitam. Tokoh-tokoh Wakanda seperti Angela Bassett, Letitia Wright, Lupita Nyong’o, dan Danai Gurira memerankan ambisi dan frustrasi mereka di luar layar dalam sebuah plot layar lebar yang memberi mereka kejayaan.
Para duta besar perempuan ini, termasuk Dora Milaje dari Gurira, menopang masa depan Wakanda (Ratu Ramonda dari Bassett memberikan orasi anti-kolonialis yang berapi-api di depan PBB). Kemudian, mereka bernegosiasi dengan Talokan, peradaban amfibi bawah laut Mesoamerika-Maya yang menginginkan negara-negara dunia ketiga berkuasa atas negara-negara dunia pertama. Namor (Tenoch Huerta Meja), seorang submariner maskulin yang menggantikan peran stereotip Killmonger. Melalui representasi Namor tentang warisan Pribumi, MCU mengeksploitasi cliché kontemporer tentang inklusi, keragaman, dan kesetaraan.
Lantas seberapa jauh imajinasi kekanak-kanakan tersebut dapat memengaruhi cara berpikir politis generasi Milenial? Sutradara film Fruitvale Station and Creed Ryan Coogler mengekspresikan rasa frustrasi rasial kontemporer dengan keterampilan yang mengagumkan. Sekarang Coogler bukan lagi sekedar putra kelahiran Oakland dari Partai Black Panther (PBP) untuk Bela Diri. Fakta bahwa Coogler dapat menghapus PBP yang sesungguhnya dengan buku komik remaja seperti ini tidak akan beralasan jika kita tidak terbiasa dengan pengkhianatan politik. Sungguh menyedihkan, Coogler dan sekutu woke-nya mengira mereka sedang melakukan bakti sosial dan budaya.
Namun, untuk saat ini, Coogler hanyalah sebuah penggerak dalam sebuah sistem di mana terdapat lebih sedikit pemilik Studio kulit hitam daripada pemilik NFL kulit hitam. Potongan aksi-tontonannya meniru standar Marvel Russo Brothers dalam beberapa set piece CGI namun tidak memiliki kepercayaan diri Zack Snyder yang flamboyan; estetika kinetik yang intens, mendramatisir perjuangan pribadi melawan penghinaan moral tertentu.
Waktu tayang Wakanda Forever yang hampir tiga jam menunjukkan ambisinya untuk ke luar dari batas hiburan biasa; dalam mengejar kredibilitasnya, film tersebut menggunakan identitas rasial dan feminis yang fasih agar mudah mengindoktrinasi orang untuk merayakan konflik ras di masa depan.
Di sinilah Marvel’s Cinematic Universe menjadi begitu ofensif. MCU menggunakan ketegangan rasial untuk memanipulasi opini publik tentang isu-isu politik. Tidak ada keraguan sedikit pun bahwa orang-orang kulit hitam Amerika, sebagai kelompok budaya, rentan terhadap aksi politik dan struktur kekuasaan komersial. Sebagai bukti, Lexus, McDonald’s Happy Meal, Sprite, Mastercard, Bevel Razors, MAC Cosmetics, Xbox, Adidas, dan lain-lainnya turut berpartisipasi dalam kampanye iklan Wakanda Forever.
Judul film Marvel-LBJ yang keterlaluan ini menunjukkan MCU memandang orang kulit hitam hanya sebagai pelanggan dan anak-anak. Berapa banyak penggemar Marvel yang telah membaca karya serius sejarawan kulit hitam Ivan Van Sertima: They Came Before Columbus atau My Life in Search of Africa? Pernahkah ada kelompok sosial lain yang sejarahnya direduksi menjadi sekedar buku komik trivial dan kemudian justru digiring untuk menganggap penghinaan itu sebagai pujian? Fenomena pencucian otak ala Wakanda Forever mempromosikan sikap ketidakpedulian akan sejarah – bukan mengangkatnya namun malah memperbudaknya secara kultural.
Film sekuel ini memiliki modus operandi yang sama seperti saat Partai Demokrat memanipulasi pemilih kulit hitam dan coklat, dengan berpura-pura memenuhi kebutuhan mereka. Pemahaman yang keliru tentang makna dari pemakaman kenegaraan T’Challa adalah wajah muram pengulangan sejarah tentang tentang bagaimana “kepulangan” Aretha Franklin diubah menjadi rapat umum Partai Demokrat – bahkan lebih buruk lagi, karena tokoh fiktif seperti T’Challa seharusnya menginspirasi ‘reinkarnasi’ tanpa akhir sebagaimana Superman atau Batman.
Wakanda Forever tidak hanya memfitnah sejarah kulit hitam Amerika; subplot Talokan-nya juga merendahkan diaspora Pan-Afrika. Penipuan semacam ini terjadi ketika Hollywood tidak menghormati pemerintahan, dan ketika pemerintahan itu sendiri mudah tertipu secara terus-menerus ditipu seperti diungkapkan LBJ.
Disadur dari: National Review