Upaya menggairahkan genre film Tanah Air. Memberikan khalayak banyak pilihan menonton dan menyehatkan industri perfilman

Koridor.co.id

Industri Film Nasional
Sosok-sosok adiwara di Jagat Satria Dewa (Foto: Satria Dewa Studio)

Salah satu indikator sehatnya industri perfilman bukan hanya pertumbuhan layar dan bioskop, tapi juga beragamnya pilihan cerita dan genre kepada khalayak. Termasuk juga sasaran usia penonton.

Jika hanya getol menyuguhkan satu genre tertentu, lambat laun penonton pasti akan menemui titik jenuh sehingga emoh ke bioskop. Penonton sedikit, bioskop sepi, roda industri macet. Bisnis pun ambruk.

Kita tak perlu melongok jauh untuk mencari contoh kasus. Mari kilas balik mengingat seperti apa ketersediaan film Indonesia periode 2009-2011. Ada begitu banyak poster film bertema horor dengan bumbu komedi nan sensual berjejalan menghiasi lobi bioskop. Darah Janda Kolong Wewe, Hantu Binal Jembatan Semanggi, Diperkosa Setan, Kain Kafan Perawan, dan Pelukan Janda Hantu Gerondong. Itu hanya segelintir contoh yang dimaksudkan. Alhasil penonton pun jengah.

Gairah masyarakat kembali ke bioskop menonton film-film Indonesia baru meningkat lagi memasuki tahun 2013. Kala itu ada tiga film yang berurutan masuk daftar film terlaris, yaitu Habibie & Ainun (4,6 juta penonton), 5 cm (2,4 juta penonton), dan The Raid (1,8 juta penonton). Padahal setahun sebelumnya tidak ada satu pun film Indonesia yang berhasil meraih satu juta penonton.

Menyandarkan nasib industri film hanya pada satu tema seragam tentu tak sehat. Pun, entah sengaja atau tidak, kecenderungan itu bermula dari apa yang diistilahkan orang dengan “aji mumpung”. Membebek. Mumpung genre horor, misalnya, laris digandrungi banyak penonton, maka beramai-ramai produser memproduksi film dengan tema dan formula serupa.

Tentu tak ada salahnya membuat film bergenre tertentu selagi penyajiannya menawarkan eksplorasi lebih atau katakanlah rasa berbeda. Dengan begitu penonton mendapat suguhan yang tidak monoton. Toh tersedianya banyak konten merupakan cerminan adanya pertarungan gagasan antara para sineas. Hal ini pada akhirnya diharapkan meraih atensi penonton yang karakteristiknya berbeda-beda.

Salah satu ikhtiar memberikan sajian konten berbeda itu coba dilakukan oleh dua rumah produksi baru, yaitu Bumilangit Studios dan Satria Dewa Studio. Tidak tanggung-tanggung mereka coba menghadirkan subgenre aksi laga berbalut fantasi, fiksi sains, dan adiwira (superhero). Suguhan ini sungguh jarang dieksplorasi oleh sineas Tanah Air.

Berdasarkan data yang dihimpun dari laman filmindonesia.or.id, dari ratusan judul film Indonesia yang beredar di bioskop kurun lima tahun terakhir, jumlah film bergenre aksi laga dengan pencampuran unsur fantasi, fiksi sains, atau adiwira tak melebihi hitungan jari tangan. Tercatat hanya ada Satria Heroes: Revenge of Darkness (2017), Buffalo Boys (2018), 22 Menit (2018), Wiro Sableng (2018), Gundala (2019), Foxtrot Six (2019), dan yang terbaru Satria Dewa: Gatotkaca (2022). Film Valentine (2017) tidak termasuk karena mendadak ditarik dari peredaran oleh produsernya setelah dua hari tayang.

Padahal jika melihat kenyataan di lapangan, pangsa pasar subgenre ini sangat besar di Indonesia. Berdasarkan data yang kami nukil dari Bicara Box Office, 6 dari 10 film di tangga film terlaris di Indonesia merupakan film superhero dengan Avengers: Endgame sebagai biangnya.

Selama ini pihak yang memanen banyak penonton adalah Marvel bersama DC. Dua perusahaan raksasa ini yang getol memproduksi film-film bergenre superhero lantaran mengantongi banyak karakter ikonis dari komik produksi mereka. Plus tentu saja ditunjang oleh dana tak terbatas sehingga menghasilkan film-film yang penuh spesial efek nan memanjakan mata. Sekadar perbandingan, biaya pembuatan Avengers: Endgame produksi Marvel dan Justice League bikinan DC menghabiskan triliunan rupiah.

Joko Anwar sutradara Gundala sekaligus produser kreatif di Jagat Sinema Bumilangit terang tak bisa mengikuti pola serupa. Alasan klasiknya karena terbentur anggaran. Alih-alih mengikuti jejak film pahlawan supermancanegara yang pamer CGI, Joko lebih fokus menggarap sisi cerita dan setiap karakter dalam film ini agar relevan dengan kondisi Indonesia sehingga para penonton dapat terhubung.

Bagi sineas kelahiran Medan ini tulang punggung sebuah film adalah skenario. Proses pembuatannya ada di kepala. Yang dibutuhkan bukan bujet melimpah, tapi imajinasi, kemauan untuk berpikir keras, dan disiplin.

Jangan terlalu naif menanggapi pernyataan Joko tadi. Konteks bujet besar yang disinggungnya tentu saja merujuk pada anggaran pembuatan film-film superhero Hollywood yang kita belum bisa menyamainya.

Sedangkan dalam konteks industri perfilman kita, menggarap sebuah film aksi laga dengan segala pencampuran elemennya tetap saja di atas rata-rata bujet produksi genre lain.

Menurut bocoran Manoj Punjabi, produser dan CEO MD Entertainment, ongkos produksi bikin film action paling mahal dibandingkan genre lainnya, ambil misal drama, komedi, atau horor.

Contohnya film Foxtrot Six (2019) yang hasil patungan Rapid Eye Pictures, East West Synergy, dan MD Pictures. Dibintangi Oka Antara, Chicco Jerikho, Rio Dewanto, Arifin Putra, Mike Lewis, Verdi Solaiman, dan Julie Estelle, film itu menghabiskan dana produksi sebesar Rp72 miliar. Sementara setelah tayang di bioskop jumlah penontonnya “hanya” 557.863 penonton. Artinya produser tekor.

Mira Lesmana, produser dan pendiri Miles Films, dalam sebuah diskusi tentang produksi film juga mengatakan bahwa film berdurasi 90-120 menit umumnya menghabiskan biaya produksi sekitar Rp8 miliar. “Standarnya Rp8 miliar. Kalau film-film besar itu Rp15 miliar-Rp30 miliar. Nah, kalau film action itu bisa lebih besar lagi biayanya.”

Dus, berapa dana yang dibutuhkan untuk menghidupkan tokoh komik Gundala ke layar lebar? Produser Wicky V Olindo menyebut angka Rp30 miliar. Sementara bujet yang dibutuhkan untuk membuat Gatotkaca mencapai Rp24 miliar.

Industri Film Nasional
Rencana daftar film jagoan di Jagat Sinema Bumilangit (Foto: Bumilangit Studios)

Mari berharap kelanjutan dari saga Jagat Sinema Bumilangit dan Jagat Satria Dewa. Sebab mereka masih punya banyak tokoh adiwara yang hendak dimunculkan dalam film. Bumilangit Studios, misalnya, sudah punya Sri Asih dan Virgo and the Sparklings yang proses syutingnya telah lama rampung. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk dirilis di bioskop. Setelahnya mereka masih punya Godam dan Tira, Si Buta Dari Gua HantuPatriot TarunaMandala, sekuel Gundala Putra Petir,  dan Patriot.

Dari kubu sebelah, Satria Dewa Studio yang berfokus pada cerita pewayangan berencana merilis film Arjuna, Yudhistira, Bharatayudha, Bima, Nakula Sadewa, Srikandi, dan Battle of Kurusetra sebagai pamungkas.

Kehadiran dua rumah produksi yang sama menggarap film aksi laga berbalut fantasi dan adiwara ini hendaknya tidak melulu dianggap sebagai persaingan, tapi sebuah upaya memberikan pilihan tontonan lain kepada masyarakat. Selain itu, menyitir tanggapan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, agar bukan cuma film superhero dari Hollywood yang merajai Indonesia.
Artikel Terkait

Terkini