
Sejak dulu musik telah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia, bahkan kebutuhan hidup. Musik hadir menemani saat hati sedang gundah, mengisi kebosanan di tengah kemacetan jalan, dan memberikan efek menenangkan nan menyenangkan.
Ada begitu banyak orang juga yang menggantungkan hidup dari musik. Pendeknya, musik selalu dibutuhkan. Sebab tanpa musik dunia serasa hampa. Karenanya Rihanna dalam satu hitnya yang diiringi irama rancak menuliskan lirik “please, don’t stop the music.”
Lantaran itu pula industri musik bisa terus berkembang. Tak pernah benar-benar layu. Pergantian zaman dan peralihan teknologi hanya mengakselerasi cara orang menikmat musik dengan medium berbeda.
Jika pada abad terdahulu hasil rekaman musik populer meluncur dalam berbagai format fisik—piringan hitam, kaset, dan CD, kini bentuknya hadir lebih ringkas. Bisa tersimpan dalam satu layanan aplikasi yang tertanam dalam ponsel cerdas. Bentuknya kini bersalin rupa menjadi berkas audio digital, semisal MP3, AAC, WAV, FLAC, atau Vorbis.
Berdasarkan laporan tahunan International Federation of the Phonographic Industry (IFPI) dalam “Global Music Report 2021”, pemasukan rekaman musik dunia mencapai AS$25,9 miliar. Jumlah itu meningkat 18,5% dibandingkan periode 2020 yang mencatatkan AS$21,6 miliar.
Faktor utama yang membuat angka pemasukan industri rekaman musik bertambah saban tahun adalah layanan pengaliran (streaming) musik.
Total pemasukan dari streaming musik (termasuk pengguna gratis dan pelanggan berbayar) tumbuh 24,3% mencapai AS$16,9 miliar. Jumlah itu menyumbang sekitar 65% dari keseluruhan pemasukan.
Penikmat terbanyak dari bagi hasil pendapatan tadi adalah layanan raksasa macam Spotify, Apple Music, Amazon Music, Tencent Music, dan YouTube Music. Sisanya terbagi untuk NetEase, Deezer, Yandex, Pandora, Tidal, dan lain-lain.
Diproyeksikan pada 2030 angka pemasukan dari ranah streaming musik bisa meningkat jadi AS$103,07 miliar.
Demi melihat angka pemasukan dari layanan pengaliran musik tadi, berikut potensi bisnis masa mendatang yang menggiurkan, TikTok dikabarkan sudah ambil ancang-ancang untuk menyelami kolam tersebut mengusung nama TikTok Music.
Menurut bocoran Business Insider, ByteDance selaku perusahaan induk TikTok telah mengajukan jenama TikTok Music ke Kantor Paten dan Merek Dagang Amerika Serikat sejak Mei 2022. Di Australia, formulir pengajuan bahkan sudah disampaikan sejak November 2021.
Perkembangan terbaru menurut TechCrunch, pengajuan merek dagang TikTok Music kini telah pula terdaftar di Inggris, Singapura, Selandia Baru, Meksiko, Malaysia, dan Kosta Rika.

Saat Koridor coba mengecek pengajuan merek ini di situsweb Pangkalan Data Kekayaan Intelektual milik Kemenkumham RI (12/8/2022), merek dengan nama TikTok Music belum tercantum.
Dalam berkas pengajuan di sejumlah negara, disebutkan bahwa TikTok Music akan memungkinkan pengguna untuk membeli, memutar, berbagi, dan mengunduh musik. Layanan pengaliran musik ini juga bisa digunakan untuk membuat, berbagi, dan merekomendasikan daftar putar.
Tiktok Music juga menawarkan pengguna untuk membuat, berbagi, merekomendasikan daftar putar, dan memberikan komentar terhadap musik.
Aplikasi ini juga memungkinkan para pengguna lebih interaktif dengan menghadirkan fitur streaming langsung audio dan video menggunakan kanal hiburan, mode, olahraga, dan acara terkini. Tak ketinggalan sajian konten berupa podcast alias siniar.
Beragam fitur tadi terang saja bikin para kompetitor ketar-ketir. Terlebih dengan melihat rekam jejak TikTok selama ini.
Meskipun lebih dikenal sebagai aplikasi jejaring sosial yang fokus utamanya saling berbagi video pendek, TikTok sejatinya—suka atau tidak suka—punya andil besar dalam industri musik dunia. Salah satunya karena menyediakan lagu sebagai pengisi latar video bikinan para penggunanya.
Sebuah lagu, tak peduli rilisan terbaru atau lawas sekali pun, yang sebelumnya kurang populer bisa mendadak dapat banyak perhatian jika mampu memikat selera para pengguna TikTok.
Ada banyak seniman yang telah menikmati tuah ketika lagu mereka viral melalui TikTok, mulai dari ketenaran hingga tentu saja pemasukan.
Contoh paling kongkret terjadi pada Lil Nas X, 23 tahun. Pemilik nama asli Montero Lamar Hill ini awalnya hanya punya karier bermusik semenjana. Semua berubah ketika lagunya yang bertajuk “Old Town Road” menjadi viral di TikTok.
Alhasil lagunya laris manis. Angka penjualannya khusus di Amerika Serikat mencapai 10 juta salinan. Berbagai trofi dari ajang-ajang penghargaan musik juga berhasil ia bawa pulang.
Tatiana Cirisano, analis industri musik dan konsultan di MIDiA Research, mengatakan bahwa rerata pengguna TikTok, terkhusus di AS, tidak hanya mendengarkan musik dengan cara yang pasif.
Pengguna TikTok disebutnya lebih cenderung menghabiskan uang untuk musik, mulai dari membeli album, berlangganan layanan streaming musik, hingga membeli merchandise penyanyi atau kelompok musik idolanya.
“TikTok telah mengubah cara orang mendengarkan musik dari yang sebelumnya hanya berlangsung satu arah. Maksud saya, TikTok adalah puncak User Generated Content. Saya tidak melihat aplikasi media sosial lain bisa melakukan hal serupa sejauh ini,” kata Cirisano seperti termuat dalam laman NPR.

Dengan segala reputasi yang dikantonginya, terasa wajar jika perusahaan milik Zhang Yiming itu percaya diri bermain di kolam bisnis yang sudah memiliki kompetitor berat macam Spotify dan Apple Music.
Terlebih jumlah penggunanya terus berkembang. Melansir Data Reportal, TikTok kini menjelma sebagai salah satu platform sosial teratas dunia selain Facebook, Twitter, dan Instagram. Pengguna aktif bulanannya di seluruh dunia telah menyentuh angka total 1 miliar pada September 2021.
Sementara jika menggunakan filter pengguna berumur 18 tahun ke atas, maka hingga awal April 2022 mencatatkan jumlah lebih dari 970 juta pengguna.
Menurut data, negara dengan jumlah pengguna TikTok terbanyak adalah Amerika Serikat, Indonesia, Brasil, Rusia, Meksiko, Vietnam, Filipina, Thailand, Turki, dan Pakistan. China dan India absen dalam lis dengan penyebab berbeda.
Di negeri asalnya, TikTok mengusung nama Douyin. Sementara pemerintah India kukuh memblokir TikTok lantaran alasan privasi dan keamanan. Dugaan lain yang mengemuka karena faktor politis.
Pun demikian, ByteDance jalan terus pantang mundur untuk melakukan ekspansi. Sebelumnya perusahaan telah meluncurkan SoundOn sebagai platform distribusi musik. Berbekal layanan ini musisi bisa menyalurkan karya-karya mereka ke berbagai layanan pengaliran musik, semisal Apple Music, Deezer, Joox, Pandora, Spotify, maupun Resso yang notabene juga milik ByteDance.
Keinginan menghadirkan TikTok Music sebagai layanan pengaliran musik sebenarnya cukup mengherankan. Pasalnya ByteDance pada 2020 telah meluncurkan Resso yang punya fungsi sama.
Perusahaan tidak mengungkap ada berapa banyak katalog lagu dalam layanan mereka, tapi sudah mengantongi lisensi dari sejumlah perusahaan, mulai dari Sony Music Entertainment, Warner Music Group, Beggars Group, dan Merlin Network yang menaungi banyak label rekaman independen.
“Musisi dan label independen adalah bagian penting dari penciptaan dan konsumsi musik di TikTok. Sungguh menyenangkan dapat bermitra dengan Merlin untuk membawa keluarga label mereka terhubung dengan komunitas TikTok yang beragam,” kata Ole Obermann, kepala musik global TikTok.
Lalu, alih-alih memperkuat Resso yang sudah bertarung di arena persaingan layanan pengaliran musik, mengapa ByteDance justru berencana meluncurkan TikTok Music?
Sebagian pengamat menyebut bahwa niat ByteDance meluncurkan TikTok Music justru datang setelah melihat keberhasilan mereka mengelola Resso. Jumlah pengunduhnya, hingga Mei 2022, mencapai 42,3 juta kali melalui Google Play maupun App Store.
Istilah kasarnya Resso merupakan proyek percontohan untuk lebih serius mengarungi persaingan dengan sesama layanan pengaliran musik.