
Benarkah perempuan (selalu) lemah bila berhadapan dengan laki-laki? Itu kan kalau si perempuan dari kecil otaknya dididik dengan doktrin perempuan itu harus lemah lembut, main boneka, menyukai bunga, tidak seperti anak laki-laki diberi mainan pistol-pistolan. Bagaimana kalau tidak demikian dididiknya?
Sejarah mencatat Kerajaan Dahomey (kini negara Benin) di Afrika punya satu resimen militer yang semuanya perempuan. Mereka bertempur sama gagahnya dengan para laki-laki. Timothy J. Stapleton dalam bukunya A Military History of Africa menyebutkan pada 14-15 Juli 1894 sekitar 1.200 perempuan bersama 8.000 laki-laki dari tentara Kerajaan Dahomey bertempur dengan tentara penjajah Prancis.
Sebanyak 85 tentara Prancis tewas dan 440 luka-luka, sementara dua hingga empat ribu tentara Dahomey gugur demi mempertahankan tanah airnya. Tiga ribu lainnya luka-luka.
Perlawanan Dahomey terus berlanjut. Pada 6 Oktober 1982 terjadi pertempuran antara resimen perempuan dengan tentara Prancis di Desa Adegon. Sebanyak 417 perempuan Kerajaan Dahomey gugur dan enam serdadu Prancis tewas dan 32 lain luka-luka. Tentara Prancis menang hanya unggul karena persenjataan. Bukan. Bukan karena mereka laki-laki.
Ini bukan pertama kalinya balatentara perempuan ini melawan bangsa Eropa. Pada 1820-an Dahomey melawan bangsa Portugis yang datang ke Afrika Barat untuk membeli budak dari Kekaisaran Oyo, tetangga Dahomey.
Pasukan inti Dahomey adalah resimen perempuan yang disebut Agojie. Mereka yang bergabung dalam laskar perempuan itu disumpah saling menghormati dan bersaudara untuk membela kehormatan Dahomey. Kisah perdagangan budak konspirasi Oyo-Portugis ini menjadi latar belakang The Woman King.
Film ini dibuka dengan sekelompok pria bersantai di tengah lapangan dengan api unggun. Mereka mendengar gemerisik di rerumputan. Tak lama kemudian, melihat sekawanan burung terbang tertiup angin. Tiba-tiba Nanisca (Viola Davis), Jenderal Agojie, muncul dari rerumputan bersenjatakan parang. Seluruh peleton kemudian muncul di belakangnya. Para lelaki dibantai, sementara para perempuan di desa itu dibiarkan hidup, tanpa terluka.
Serangan Agojie itu terjadi pada pada1823. Mereka membebaskan tawanan perempuan dari Dahomey yang ditawan untuk jadi budak Kekaisaran Oyo, negara tetangganya. (kini lokasinya di barat daya Nigeria).
Diceritakan sebetulnya Dahomey telah lama memberikan penghormatan kepada Oyo. Sang Jenderal yang mendapat gelar sebagai Woman King tidak menyetujui perdagangan budak setelah mengalami kengeriannya secara pribadi. Kekaisaran Oyo menjual budak kepada Portugis untuk ditukar dengan senjata api.
Pada masa itu Dahomey, seperti banyak negara Afrika menjual tawanan perang yang diambil dari suku-suku lain sebagai budak. Meski Raja Ghezo (John Boyega) memutuskan untuk tidak menjual rakyat negaranya sendiri, Nanisca mendorongnya untuk meninggalkan praktik tersebut sepenuhnya.
Nanisca mempertanyakan moralnya apakah perdagangan manusia bisa dibenarkan? Dia mendesak Ghezo untuk mengakhiri hubungan dekat Dahomey dengan pedagang budak Portugis, walau secara ekonomi berpengaruh pada kerajaan. Perempuan dalam film digambarkan menghargai Hak Asasi Manusia dibanding laki-laki dan punya peranan dalam politik. Akhirnya Sang Raja terprovokasi untuk berperang dengan Oyo.
“Jangan sampai kita menjadi kerajaan yang menjual rakyatnya. Mari kita menjadi kerajaan yang mencintai rakyatnya,” ucap Sang Jenderal. Ungkapan yang sangat patut diamini para negarawan di mana pun.
Untuk perang melawan Oyo dibutuhkan tenaga baru. Dalam aksi pembebasan Nanisca, kehilangan banyak rekannya sehingga dia memutuskan untuk melatih sekelompok rekrutan baru.
Di antaranya Nawi (Thuso Mbedu), seorang remaja yang diserahkan ayahnya untuk mengabdi para raja sebagai prajurit. Pasalnya, gadis ini selalu menolak menikah ketika dilamar seorang tua kaya. Ini saja sudah ada nafas kesetaraan perempuan berhak menolak.
Akhirnya Nawi diserahkan kepada kerajaan untuk jadi tentara. Agojie diceritakan disumpah untuk tanpa laki-laki. Bagaimana sikap Nawi? Ternyata sama ambisius dan kokohnya, bahkan kerap kritis terhadap jenderal dan pelatihnya. Dia berani mempertanyakan aturan-aturan dalam pasukan. Tetapi, apakah dia menjadi hero? Akhir cerita menjawabnya.
Dalam The Woman King, Nanisca menghadapi dua musuh sekaligus, KekaisaranOyo yang berusaha menangkap orang-orang Dahomey, dan para pedagang Portugus yang membutuhkan budak untuk ditempatkan di Brazil.
Agojie digambarkan punya semangat perang yang tinggi. “Kita berperang bukan untuk hari ini, tetapi kita berperang untuk masa depan (kerajaan)! Kita beperang untuk kebebasan! Berperang atau mati!” demikian orasi Nanisca yang membakar semangat tentaranya.
Sang Raja bernama Ghezo memandang kagum ketika para tentara perempuan memainkan tari perang dengan penuh semangat dengan teriakan-teriakan yang bergema keras, bertenaga. Sungguh heroik.
Tentu saja adegan yang paling memukau ketika kombatan perempuan ini menyerbu markas para pedagang budak Portugal yang diperkuat orang bersenjata api. Sebetulnya adegan ini mengingatkan pada film berlatar belakang perang kemerdekaan Indonesia, saat markas Belanda diserbu. Dalam The Woman King para perempuan menyerbu markas musuh, tak kalah garang dengan tentara laki-laki.
Perempuan dalam film ini ditampilkan begitu perkasa. Barangkali karena film The Woman King ini disutradarai oleh Gina Prince-Bythewood dan ditulis oleh Dana Stevens, berdasarkan cerita yang ditulisnya bersama Maria Bello. Semuanya perempuan.
Bagaimana fakta sejarahnya? Ucap Lynne Ellsworth Larsen, seorang sejarawan arsitektur yang mempelajari dinamika gender di Dahomey, mengakui Ghezo (memerintah 1818 hingga 1858) dan putranya Glele (memerintah 1858 hingga 1889) memimpin apa yang dilihat sebagai “zaman keemasan sejarah Dahomean.” Mereka telah mengantarkan sebuah era kemakmuran ekonomi dan kekuatan politik.
“Di satu sisi pasukan perempuan ini adalah simbol kekuatan dan kekuasaan. Tapi faktanya di sisi lain mereka masih di bawah patriarki raja dan mereka sebetulnya masih menjadi pemain dalam perdagangan budak,” ujar Larsen seperti dikutip dari Smith Sonian.