Dahulu kala ada Eyang Raksa Dinata, pria tua renta tetapi memiliki anak gadis cantik bernama Maribaya.
Gadis itu diperebutkan banyak laki-laki. Hal ini mendorong Eyang mengasingkan Maribaya ke hutan agar tidak terjadi pertikaian. Dia kemudian memohon petunjuk agar hidupnya berubah dan melakukan semedi. Petunjuk itu datang. Bisikan gaib memintanya mengelola sumber air panas yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Sumber air panas ini, kelak kemudian menjadi sumber air panas Maribaya.
Sulit dibuktikan kebenaran legenda yang disebut tahun 1833 itu. Namun sumber tertulis Majalah Mooi Bandoeng edisi Desember 1941 dan Pikiran Rakjat 23 Februari 1953 mengungkapkan pada1912 ketika Hoofdpenghulu Bandung bernama K.H. Hasan Mustafa (pejabat di bawah Bupati R. Aria Martanegara) memberikan nama tempat itu dengan Maribaya.
Bila dipenggal, Mari artinya sembuh Baya artinya bahaya. Jadi sembuh dari bahaya. Pada 1926 Mas Usman, Kontrolir Regentschapsraad merangkap bagian Kepala Perusahaan dari Kabupaten Bandung mempelopori tempat pesanggrahan di situ.
Pada 1935 bangunan kemudian dibuat oleh Mochamad Enoch, Kepala Pekerjaan Umum Kabupaten Bandung. Pada waktu itu bupati yang memerintah R. Hasan Sumadipradja, mengubah tempat yang tadinya hutan belukar menjadi ramai. Apalagi tempat ini direkomendasikan sebagai rekreasi kesehatan yang punya dasar ilmiah.
Pada masa itu Maribaya mempunyai tiga kamar untuk kelas satu dengan tarif 50 sen gulden per orang, tiga kamar untuk kelas dua dengan tarif 25 sen per orang. Tapi kamar-kamar ini diperuntukan bagi orang Eropa dan kaum ningrat. Untuk orang pribumi disediakan dua kamar dengan tarif 2 sen. Tampaknya kamar ini untuk pribumi yang bekerja untuk orang yang menginap di kelas 1 dan 2.
Menurut Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië 20 Agustus 1936 kompleks bangunan yang terletak di antara perbukitan telah diperluas. Sebuah passanggerahan telah dibuat dan semacam tempat perlindungan telah dibuat dengan beberapa teras yang nyaman untuk duduk. Dari sana orang dapat melihat pemandangan pegunungan yang indah di sekelilingnya.
Maribaya waktu itu memiliki lembah dengan perbukitannya, mata airnya dan air terjunnya. Dan sekarang juga telah mendirikan sebuah passanggrahan bergaya bungalo di samping fasilitas pemandian terpisah untuk publik berbayar yang berbeda. Passanggrahan ini memiliki tiga ruangan
Tempat itu menurut kisahnya tempat pengembaraan dan dipercaya terdapat kuburan anak keturunan Prabu Siliwangi. Di atas Maribaya terdapat kuburan tiga bupati. Pada 1946 Maribaya pernah rusak karena banjir, namun sudah diperbaiki.
Pada 1950-an Maribaya kembali menjadi tempat wisata. Menurut catatan pihak resmi pengunjung bukan hanya penduduk warga Priangan tetapi juga tamu-tamu dari luar negeri. Pada 1952 pengunjung sekitar 50 ribu orang dan mendatangkan pemasukan sebanyak Rp40.000. Jumlah ini meningkat dari 1951 yaitu Rp30.000.
Selain untuk tamasya, Maribaya adalah tempat berobat. Airnya mengandung fosfor yang berasal dari sumber air panas di sekitarnya, lepas dari aliran air Cikapundung, mujarab sekali bagi orang-orang yang dinamakan penyakit kotor, berpenyakit kulit. Dua minggu menginap di sana sudah cukup untuk menyembuhkan orang dari penyakit kulitnya. Dalam 1952 tercatat 550 orang berobat dan yang datang sekali untuk bermandi air panas itu 13.500 orang.
Tarif masuk perkarangan pemandian hanya Rp0.50. Tarif mandi air panas kl.1A Rp1,50 seorang. Kelas 1 Rp1, kelas II Rp0,75 dan kanak-kanak Rp0.50. Menginap semalam untuk orang dewasa biayanya Rp5 dan kanak-kanak Rp2,50.
Pada waktu itu Maribaya tidak punya saingan, karena pemandian air panas lainnya Ciater rusak di zaman pendudukan Jepang dan musnah waktu revolusi.
Pada perkembangannya hingga 2010-an Maribaya menjadi salah satu tempat wisata di Bandung yang memiliki sumber Mata Air Panas, taman dan juga air terjun setinggi 2,5 meter. Di sini terdapat beberapa air terjun seperti Curug Cikawari, Curug Cigulung, dan Curug Cikoleang, ketiga curug tersebut bersumber dari Sungai Cigulung dan Sungai Cikawari.