Pada awalnya Tari Jathilan ini melekat dengan budaya dari daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tari Jathilan memiliki banyak sebutan seperti kuda lumping, jaran kepang, dan kuda kepang.
Jathilan berasal dari kalimat berbahasa Jawa yaitu “jarane jan thil-thillan tenan,” yang diartikan menjadi “kudanya benar-benar joget tak beraturan”.
Dalam penampilannya kesenian jathilan menggunakan properti kuda képang. Pertunjukan jathilan ditampilkan dengan mengambil cerita roman Panji. Namun dalam perkembangannya, kini jathilan tidak hanya bertumpu pada cerita roman Panji, tetapi dapat pula mengambil setting cerita wayang (Mahabarata atau Ramayana) dan legenda rakyat setempat.
Menurut penelitian yang dilakukan Kuswarsantyo dari Fakultas Pendidikan Seni Tari, Universitas Negeri Yogyakarta pada 2013, Kesenian jathilan banyak tumbuh dan berkembang di pelosok desa yang sering dikaitkan atau dihubungkan dengan kepercayaan animistik. Hal ini dapat dilihat dari pementasan jathilan yang secara umum, pada bagian akhir pertunjukannya menghadirkan adegan trance (ndadi).
Tari Jathilan kemudian menyebar ke berbagai pelosok Jawa di antaranya ke Kota Batu Malang. Hanya saja menurut Emi Susiati, penari Jathilan dari Grup Singo Rejo, Desa Sumbergondo Nggundu, kalau di Jawa Tengah namanya jathilan (kuda lumping). Kalau di Jawa Tengah Jathilan cenderung ke arah kerasukan.
“Di Kota Batu, Jathilan dengan jathil obyok atau jathil pakem dari Ponorogo. Kalau di Kota Btau, Jathilan mengiringi tarian Reog Ponorogo,” ujar perempuan kelahiran 1990 ini kepada Koridor, 31 Januari 2023.
Durasi jathil obyok tidak panjang, sekitar 2-3 menit. Tapi tergantung permintaan yang membutuhkan jasa jathilan. Perempuan yang karib disapa Shari ini mengatakan kelompoknya tidak cenderung pada masalan(pakem), masih bisa ada tambahan.
Dikatakannya, untuk seragam jathilnya ada dua macam, yaitu seragam jathil obyok dan jathil pakem.
Warga Desa Ngaglik, Kota Batu, Jawa Timur ini mengaku terpikat dan mengikuti Grub Singo Rejo, Desa Sumbergondo, Nggundu, sejak 8 tahun yang lalu. Apalagi Sang Suami satu frekuensi dengannya ikut sebagai pembarong reog.
“Saya sebagai pelestari sangat bahagia bisa menyebarkan atau melestarikan salah satu kesenian dari Tanah Jawa ini. Dan Alhamdulillah kalau dukanya nggak ada,” kata dia.
Menurut Shari untuk kalangan milenial, peminat kesenian jathilan ini sebenarnya banyak. Hanya kadang anak-anak zaman sekarang ini malu untuk belajar kesenian tradisional beda. Mereka lebih suka tarian zaman sekarang yang bisa dilakukan oleh siapa dan kapan saja.
Dikatakannya, pihaknya berusaha untuk mengenalkan tarian tradisional jathil ini melalui kegiatan ekstrakulikuler di sekolah.
“Kalau sanggar tari di Kota Batu masih minim memperkenalkan tarian jathil ini, kita biasanya dari grub-grub kesenian reog Ponorogo yang ada di Kota Batu. Kalau penarinya sendiri lebih banyak pribadi daripada ikut sanggar,” papar Shari.
Namun menurut dia, sebetulnya hampir seluruh Kota Batu sudah memperkenalkan tarian jathil ini ke warganya. “Jadi kita sudah menjelajahi desa-desa diseluruh kota batu. Untuk ke luar kota sendiri kita sudah sampai Jombang, Malang, Blitar dan masih banyak lagi.”