Tahura Djuanda tawarkan wisata petualangan ramah keluarga, tapi awas monyet liar!

Koridor.co.id

Seorang anak memberi wortel kepada rusa-Foto: Irvan Sjafari.

Sebuah papan besar pengumuman dari kayu terpampang dengan gamblang tak jauh dari pintu gerbang Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda yang terletak di Kawasan Dago Pakar.  Tulisannya juga mencolok: Dilarang memberi makan monyet. Don’t Feed Monkey. Cinta Monyet.

Rabu, 26 April 2023 masih dalam suasana libur lebaran. Para pengunjung memadati hutan kota seluas 590 hektare yang terbentang hingga Kawasan Maribaya, Lembang, Jawa Barat.  Kebanyakan mereka orang tua yang membawa anak-anak mereka untuk mencari udara segar.

Seorang pedagang yang berada di dekat gerbang mengingatkan monyet-monyet itu muncul tiba-tiba menggerayangi tas bahkan bisa merampas ponsel yang disangka makanan. Fenomena ini sudah terjadi lama, namun berapa tahun terakhir ini semakin massif. Akibat kebiasaan pengunjung memberi makan.

Koridor melihat pedagang di areal dalam ada yang melempar untuk mengusir monyet agar tidak mendekati lapaknya. Mereka tak segan merampas makanan.  Monyet itu bisa menyaru dengan daun-daun pohon yang lebat.

Foto: Irvan Sjafari

Kalau saja bisa memahami kearifan lingkungan untuk tidak memberi makan monyet, Tahura menjadi semakin ramah untuk keluarga. Selain mengajari anak-anak untuk mengenali berbagai macam tumbuhan, anak-anak bisa bertemu langsung rusa di tempat penangkarannya.

Kalau di sini diperbolehkan memberi makan rusa dengan wortel yang tersedia dapat dibeli dengan harga Rp5.000 hingga Rp10.000 per kantong.  Bahkan ada rusa yang langsung menyapa anak. Berbeda dengan memberi makan monyet yang sama sekali dilarang, memberi makan rusa ada aturannya. Misalnya makananannya disediakan dan tidak boleh di luar pagar.

Di tengah perjalanan yang makin menanjak Koridor bertemu Cucu, seorang bapak yang membawa dua anak perempuannya yaitu Maya, mahasiswi Jurusan Bahasa Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia, 2019 dan adiknya yang masih duduk di bangku SMP. Pak Cucu ingin agar ke dua anaknya lebih mengenal alam.

“Waktu saya kuliah di Cepu, gemar wisata alam. Kebiasaan ini yang ingin saya tularkan kepada anak-anak,” ujar Cucu yang sebetulnya tidak paham rute tembus Maribaya. Itu sebabnya dia mengajak ikut memandu, meski Koridor sebetulnya hanya punya referensi pengalaman enam tahun lalu.

Perjalanan penuh manusia dan anak-anak, hingga kami harus antri walau banyak jalan bercabang-karena penangkaran rusa dan jalan menuju Maribaya berbeda.

Mereka menemani Koridor hingga curug Maribaya. Di dekat curug ada Odas, yang sudah puluhan memandu wisata. Dia menemani kami untuk turun ke sungai yang ada curugnya hingga mengingatkan jalan mana yang curam.

Dia juga menunjuk daun pulus beracun yang banyak tercecer di jalan. Daun itu kalau kering tidak berbahaya, tetapi kalau masih kuning gatalnya baru bisa hilang 24 jam. “Nggak ada obatnya,” ucapnya.

Sayangnya jembatan yang dulu pernah diseberangi Koridor rusak parah hingga ditutup. Menurut Odas kerap diterjang banjir.  Selain itu kekurangan Tahura ini ialah sampah yang masih ada di wilayah air minum hingga petugas kewalahan membersihkannya. “Sampah itu datang dari luar!” teriak seorang petugas.

THR Djuanda bisa dikunjungi oleh wisatawan setiap hari mulai dari pukul 8 pagi sampai dengan 6 sore. Selain terdapat penangkaran rusa, terdapat banyak objek wisata Goa Belanda dan Goa Jepang. Memang menurut sejarah daerah ini menjadi benteng waktu Perang Dunia ke II oleh kedua belah pihak.  

Foto: Irvan Sjafari

Taman alam ini banyak mengalami perubahan. Waktu 2015 ketika Koridor berkunjung bisa menembus tempat pemandian air panas.  Bisa masuk dan membayar tiket dari pintu belakang. Sayang ketika Maribaya sudah dikelola pihak lain, akses itu ditutup.

Lebih dari tiga jam hiking dari pintu gerbang hingga keluar dari gerbang Maribaya. Cucu dan dua putrinya tak tampak lelah.  Koridor dan mereka pulang dengan taksi daring yang sulit didapat. Untung cuaca pagi hingga siang bersahabat. 

Ketika kami akhirnya tiba di Bandung menjelang Asar baru hujan lebat.  Tak terbayangkan kalau kehujanan di hutan, karena kapasitas sawung yag tersebar di dalam area tidak akan bisa menampung ribuan wisatawan yang memadati area. Meskipun demikian inilah salah satu dari  hutan kota yang layak dicontoh oleh kota lain dan itu keberuntungan Bandung.

Artikel Terkait

Terkini