Sri Asih memberikan nuansa feminis dalam jagat superhero Indonesia. Tokoh antagonis yang disiapkan sebagai lawan juga perempuan.

Koridor.co.id

Adegan Sri Asih (Foto: Youtube BCU)

“Kalau ada yang menindas kamu, lawan! Kamu harus tangguh sesuai dengan namamu!” ucap Alana kecil (Keinaya Messi Gusti) kepada sahabatnya Tangguh di Panti Asuhan yang dirundung tiga anak sepanti yang merampas buku komiknya.

Alana menghajar ketiganya hingga jatuh terkapar dalam suatu perkelahian singkat. Suster yang mengasuh mereka sampai khawatir Alana tidak jadi diadopsi oleh seorang perempuan bernama Sarita Hamzah (Jenny Zhang).

Salah satu adegan film Sri Asih garapan sutradara Upi secara moral menjanjikan bahwa kekuatan itu digunakan untuk membela yang lemah dan menjadi kewajiban bukan saja laki-laki, tetapi juga perempuan.

Film kedua produksi Jagat Sinema Bumi langit ini, setelah Gundala dirilis pada 2019 secara teknis sinematografi mengalami peningkatan. Sri Asih menawarkan superhero dengan nuansa kejawen yang lebih membumi, sedangkan Gundala masih ada nuansa urban dan kebarat-baratan. Menjadi menarik karena lawan-lawan pertama jagoan kita ini adalah kelompok toxic masculinity.

Nuansa Kejawen itu sudah tampak pada prolog film, saat kelahiran Alana digambarkan dramatis ketika ibunya sedang mengandung bersama ayahnya menyaksikan Gunung Merapi, yang kemudian meletus. 

Sang Ayah melarikan mobilnya dikejar asap dengan mata dan mulut api menjadi visualisasi menyeramkan dan menjadi petunjuk dengan siapa nanti Sang Superhero berhadapan.

Sebagai catatan dalam mitologi Gunung Merapi punya simbol garis imajiner Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat hingga laut Kidul. Dalam sejarah meletusnya Gunung Merapi menjadi pertanda terkait dengan kejatuhan keraton. 

Alana beberapa kali mendapatkan mimpi bertemu Dewi Api yang memintanya melepaskan kemarahannya yang berhubungan dengan kejadian di Gunung Merapi berapa tahun silam.

Cerita bergulir, Alana dewasa (Pevita Pearce) dilatih menjadi pertarung profesional di bawah pengawasan Sarita (Jenny Chang). Alana dikenal begitu tangguh dan tak terkalahkan. 

Kiprah Alana menjadi viral hingga menarik perhatian Mateo Adinegara (Randy Pangalila), putra konglomerat Prayogo Adinegara (Surya Saputra) yang digambarkan punya reputasi tidak terpuji, melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuannya.

Mateo punya reputasi lebih tidak terpuji karena menganiaya perempuan. Alana berhadapan dengan Mateo di ring sudah mendengar perilaku itu. Pernyataannya begitu sinis: “Apakah kamu tidak pernah diajar oleh ibumu bagaimana menghormati perempuan? Aku yang mengajari kamu!”

Meski sebelumnya Alana telah dibayar secara diam-diam agar pura-pura kalah oleh pengawal Mateo, Jagau (Revaldo), tetap saja Alana tak tinggal diam saat harga dirinya diinjak-injak. Harga diri perempuan. Mateo pun knocked out.

Perlawanan terhadap maskulinitas juga terjadi pada adegan ketika Alana mampu membuat dua anak Jagau terkapar. Jagau dengan santai berkata: “Untuk ukuran perempuan boleh juga” Sangat arogan. Dijawab oleh Alana: “Boleh juga untuk menjatuhkan dua laki-laki.”

Ketika Sri Asih membuat para penjahat laki-laki terperangah, lawan mereka cantik sekali. Dia hanya berkata dengan santai: “Jangan begitu melihatnya. Biasa saja!” Maskulinitas ditundukkan dengan kecantikan plus keperkasaan perempuan.

Sejak itu Alana dan kawan-kawannya di sasana yang diasuh ibunya berada dalam bahaya. Sang Konglomerat marah. Ibu Alana cidera berat dan koma. Bala bantuan datang dari sebuah komunitas yang dipimpin Eyang Mariani (Christine Hakim) dan putranya Kala (Dimas Anggara) yang mengungkapkan bahwa Alana adalah titisan Dewi Asih yang dahulu kala melawan wakil dari angkara Dewi Api (Dian Sastrowardoyo).

Bantuan juga datang dari wartawan bernama Tangguh (Jefri Nichol), seorang anggota polisi bernama Jatmiko (Reza Rahadian) yang muak melihat perilaku korup korpsnya. Mereka bersama-sama melawan kelompok Prayogo dan Gazhul (Ario Bayu) yang punya agenda mengubah tatanan sosial dan membangkitkan Dewi Api dan pengikutnya.

Komplotan ini membawa seribu warga korban kebakaran dan penggusuran untuk dijadikan tumbal kebangkitan kekuatan jahat itu. Sri Asih yang diberikan kekuatan melalui upacara ritual bersama Kala dan Tangguh harus mencegah niat itu. Lawan utama mereka tak terduga.

Laga pamungkas yang cukup panjang memang lebih menarik dibandingkan Gundala. Di tengah scoring title film ini mengenalkan tokoh baru Awang alias Godam (Chicco Jerrico) dan menyelipkan munculnya Sri Asih membantu Gundala. Maka kedua film pun terhubung dengan manis.

Memang Sri Asih sejak dari komiknya mengingatkan pada Wonder Woman. Namun Kosasih mampu membumikannya hingga menjadi orisinal Indonesia. Sebetulnya terjadi pada Gundala dan Godam.

Apakah Jagat Sinema Bumi mampu menjadi Marvel Cinematic Universe (MCU)-nya Indonesia? Tampaknya sudah menunjukkan benang merahnya. Kekuatan Sri Asih dengan selendangnya itu lokal sekali.

Apalagi Bumilangit membuang jauh konsep alienisasi dan menggantikan dengan mistis hingga terasa lebih membumi. Masih ditunggu kiprah berikutnya?

Oh, ya kelanjutan Sri Asih menjadi hal yang harus dinanti. Terutama bagi penggemar Dian Sastrowardoyo, yang ingin tahu bagaimana “Cinta” menjadi tokoh antagonis?.

Artikel Terkait

Terkini