
Kriminalisasi
Persaingan untuk mendapatkan pasir semakin intens hingga kriminalitas pun menjalar masuk ke dalam bisnis ini. Para kriminal menggali berton-ton butiran pasir secara ilegal untuk dijual di pasar gelap. Di beberapa wilayah di Amerika Latin dan Afrika, menurut kelompok hak asasi manusia, anak-anak dipaksa bekerja sebagai budak virtual di tambang pasir. Para kriminal melakukan semua ini dengan cara yang sama seperti kejahatan terorganisir di mana saja; memberi sogok polisi korup dan pejabat pemerintah agar dibiarkan bebas. Dan, ketika diperlukan, mereka melakukan serangan bahkan pembunuhan terhadap kelompok yang menghalangi mereka.
Seorang aktivis lingkungan di Chiapas, Meksiko Selatan bernama José Luis Álvarez Flores yang memerangi penambangan pasir ilegal di sungai setempat, ditembak mati pada bulan Juni 2019. Selembar catatan yang mengancam keluarganya dan aktivis lain dilaporkan ditemukan bersama jasadnya. Dua bulan kemudian, polisi di Rajasthan, India, ditembak ketika mencoba menghentikan konvoi traktor yang membawa pasir hasil penambangan ilegal. Pertempuran berikutnya menewaskan dua penambang dan dua polisi terluka. Awal tahun 2020, seorang penambang pasir di Afrika Selatan ditembak tujuh kali dalam perselisihan dengan kelompok penambang lain. Dan itu hanya sebagian. Kekerasan atas perdagangan pasir dalam beberapa tahun terakhir telah merenggut nyawa di Kenya, Gambia, dan Indonesia.
Di India, “mafia pasir”, seperti yang disebut oleh pers lokal, telah melukai ratusan orang dan membunuh puluhan orang. Korban termasuk di antaranya seorang guru berusia 81 tahun serta seorang aktivis berusia 22 tahun yang menjadi korban pembunuhan dalam peristiwa berbeda, ada juga seorang jurnalis yang dibakar hidup-hidup, dan setidaknya tiga polisi yang ditabrak oleh truk pasir.
Resolusi?
Kabar baiknya, kesadaran akan kerusakan yang disebabkan oleh kecanduan kita pada pasir semakin meningkat. Sejumlah ilmuwan sedang berusaha menemukan cara untuk mengganti pasir dalam beton dengan bahan lain, termasuk abu terbang dari sisa pembangkit listrik tenaga batu bara; plastik yang digiling; dan bahkan cangkang kelapa sawit dan sekam padi yang dihancurkan. Peneliti lainnya mencoba mengembangkan beton yang membutuhkan lebih sedikit pasir, sementara beberapa peneliti juga sedang mencari cara yang lebih efektif untuk menggiling dan mendaur ulang beton.
Di banyak negara Barat, penambangan pasir sungai telah sebagian besar dianggap ilegal. Namun, membuat seluruh dunia mengikuti aturan tersebut tentu akan sulit. “Mencegah atau mengurangi kemungkinan kerusakan pada sungai akan memerlukan industri konstruksi untuk diambil dari sumber agregat sungai,” kata laporan terbaru tentang industri pasir global oleh WWF. Jenis perubahan sosial seperti ini mirip dengan yang diperlukan untuk mengatasi perubahan iklim, dan akan memerlukan perubahan dalam cara pandang kita terhadap pasir dan sungai, juga dalam cara kita merancang dan membangun perkotaan.
Mette Bendixen, seorang geografer pantai di Universitas Colorado, adalah salah satu dari sejumlah akademisi yang menyerukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk melakukan lebih banyak lagi usaha dalam membatasi kerusakan yang disebabkan oleh penambangan pasir. “Kita seharusnya memiliki program pemantauan,” kata Bendixen. “Lebih banyak manajemen diperlukan karena saat ini sama sekali tidak dikelola.”
Saat ini, bahkan tidak ada yang tahu secara pasti berapa banyak pasir yang ditarik dari bumi, di mana, dan di bawah kondisi apa. Banyak dari itu tidak terdokumentasi.
“Kita hanya tahu, bahwa semakin banyak orang, semakin banyak pasir yang kita butuhkan,” kata Bendixen, mengambil kesimpulan.
*** disadur dari BBC.