Reklamasi
Semakin memperkeruh masalah, pasir tidak hanya digunakan untuk bangunan dan infrastruktur. Kini, pasir banyak digunakan untuk membuat daratan-daratan baru. Dari California hingga Hong Kong, kapal penggali besar dan kuat menyedot jutaan ton pasir dari dasar laut setiap tahu lalu menumpuknya di daerah pesisir untuk menciptakan daratan yang sebelumnya tidak ada. Pulau-pulau berbentuk pohon palem di Dubai, walaupun paling terkenal, bukan satu-satunya daratan yang dibangun dari awal dalam beberapa tahun terakhir.
Lagos, kota terbesar di Nigeria, menambahkan ekstensi perkotaan seluas 2.400 hektar di garis pantai Samudra Atlantiknya. China, negara dengan daratan alami terbesar keempat di Bumi, malah telah menambahkan ratusan mil garis pantai, dan membangun pulau-pulau besar untuk menjadi tempat bagi resor-resor mewah.
Daratan baru ini sangat berharga, tetapi sering kali menimbulkan biaya yang sangat tinggi. Pengerukan laut telah merusak terumbu karang di Kenya, Teluk Persia, dan Florida. Hal ini merusak habitat laut dan mengubah warna air dengan plume pasir yang dapat memengaruhi kehidupan akuatik jauh dari lokasi aslinya. Mata pencaharian nelayan di Malaysia dan Kamboja hancur akibat pengerukan. Di China, reklamasi telah menghilangkan lahan basah pesisir, menghancurkan habitat ikan dan burung pantai, serta meningkatkan polusi air.
Dan kemudian ada Singapura, pemimpin dunia dalam reklamasi pantai. Untuk menciptakan lebih banyak ruang bagi hampir enam juta penduduknya, negara kota yang padat itu telah memperluas wilayahnya hingga 50 mil persegi (130 km persegi) tanah selama 40 tahun terakhir, hampir semuanya dengan menggunakan pasir impor dari negara lain. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan pun sangat besar sehingga Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Kamboja sebagai negara-negara yang berdekatan telah membatasi ekspor pasir ke Singapura.
Secara keseluruhan, menurut kelompok penelitian Belanda, manusia sejak 1985 telah menambahkan 5.237 mil persegi (13.563 km persegi) tanah buatan di pesisir dunia – luasannya sebesar negara Jamaika. Sebagian besar dibangun dengan jumlah pasir yang sangat besar.
Ekstraksi dan Destruksi
Mengambil pasir untuk digunakan dalam beton dan tujuan industri lainnya, jauh lebih merusak. Pasir untuk sekedar bahan konstruksi sering kali hanya perlu ditambang dari sungai sehingga cukup menggunakan pompa hisap atau bahkan ember, dan mudah diangkut oleh kapal. Namun, mengeruk dasar sungai dapat menghancurkan habitat organisme dasar. Sedimen yang tercampur dapat menyebabkan air keruh, membuat ikan-ikan tercekik dan menghalangi cahaya matahari yang menyokong tumbuhan di bawah permukaan air.
Penambangan pasir sungai berkontribusi pada hilangnya Delta Mekong di Vietnam secara perlahan namun pasti. Daerah tersebut menjadi rumah bagi 20 juta orang dan sumber dari hampir setengah pasokan makanan di negara tersebut dan juga beras yang menyokong negara-negara Asia Tenggara lainnya. Kenaikan permukaan laut yang disebabkan oleh perubahan iklim memang merupakan salah satu alasan mengapa delta kehilangan luasan tanah setara dengan satu setengah lapangan sepak bola setiap harinya. Tetapi para peneliti mempercayai bahwa alasan lainnya adalah karena orang-orang merampok pasir dari delta tersebut.
Selama berabad-abad, delta diperbarui sedimen yang dibawa aliran Sungai Mekong dari pegunungan Asia Tengah. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, di setiap negara yang dilalui sungai tersebut, para penambang mulai menarik sejumlah besar pasir dari dasar sungai. Menurut sebuah studi pada tahun 2013 oleh tiga peneliti Prancis, sekitar 50 juta ton pasir diekstraksi hanya pada tahun 2011 saja. Jumlah tersebut cukup untuk menutupi kota Denver dengan kedalaman dua inci. Sementara itu, lima bendungan besar telah dibangun dalam beberapa tahun terakhir di Sungai Mekong dan 12 bendungan lainnya dijadwalkan untuk dibangun di China, Laos, dan Kamboja. Bendungan-bendungan tersebut semakin mengurangi aliran sedimen ke delta.
Dengan kata lain, sementara erosi alami delta terus berlanjut, tidak demikian dengan pembaharuannya secara alami. Peneliti dari Program Mekong Raya di World Wide Fund for Nature (WWF) percaya bahwa dengan laju seperti sekarang, hampir setengah delta akan lenyap pada akhir abad ini.
Yang lebih buruk lagi, pengerukan Sungai Mekong dan sungai-sungai lain di Kamboja dan Laos menyebabkan tepian sungai runtuh, menyeret ladang tanaman dan bahkan rumah. Para petani di Myanmar mengatakan hal yang sama terjadi di sepanjang Sungai Ayeyarwady.
Ekstraksi pasir dari sungai juga telah menyebabkan kerusakan tak terhitung pada sejumlah infrastruktur di seluruh dunia. Sedimen yang tercampur dapat menyumbat peralatan pasokan air. Dan menghilangkan semua material itu dari tepian sungai meninggalkan dasar jembatan terbuka yang tidak kokoh. Di Ghana, para penambang pasir telah menggali tanah sedemikian rupa sehingga mereka telah membahayakan dasar bangunan bukit hingga berisiko runtuh. Ini bukan hanya risiko teoretis. Penambangan pasir menyebabkan jembatan runtuh di Taiwan pada tahun 2000, dan pada tahun berikutnya di Portugal ketika bus sedang melintas di atasnya, menewaskan 70 orang.
Permintaan akan pasir silika berkualitas tinggi yang digunakan untuk membuat kaca dan produk teknologi tinggi seperti panel surya dan chip komputer, juga meningkat. Industri fracking yang melonjak di Amerika Serikat juga membutuhkan butiran berkualitas tinggi yang tahan lama. Akibatnya, lahan pertanian dan hutan di Wisconsin yang memiliki banyak pasir berharga tersebut, sedang dihancurkan.
*** disadur dari BBC.