Ramai label rekaman dan musisi merilis ulang album lawas. Variannya beragam, ada yang versi reissue, remaster, hingga repress.

Koridor.co.id

Tumpukan album berformat piringan hitam. Banyak yang rilis ulang dengan embel-embel sebagai reissue, remaster, atau repress.

Penantian lama para penggemar menggenggam kembali bentuk fisik album debut milik kelompok Roxx akhirnya tuntas. Album monumental yang jadi penanda penting episode musik rock di Tanah Air itu hadir kembali dalam bentuk cakram padat alias kemasan compact disc. Akun Instagram Roxx telah mengumumkan momen perilisannya; 18 Juli 2020. Setiap keping dibanderol Rp100 ribu yang bisa ditebus melalui berbagai gerai lokapasar alias marketplace.

Bagi Denny Muhammad Ramadhan, penulis musik kawakan sekaligus produser eksekutif perilisan ulang album tersebut, hadirnya album debut Roxx di era kiwari menyampirkan banyak arti.

Selain karena faktor melekatnya nilai sejarah—terkhusus di ranah budaya populer—dalam album yang aslinya rilis pertama kali ke pasaran pada 1991 tersebut, versi reissue album perdana Roxx juga bisa jadi contoh mahal.

Kesabaran bukan hanya berlaku untuk para penggemar Roxx ketika menantikan rilis album yang kerap disebut sebagai Black Album itu. Barisan personel tersisa juga tak kalah sabar. Sekian tahun mereka mengupayakan perilisan album yang sekujur desain sampulnya kelir hitam berpadu tulisan Roxx berwarna merah.

Faktor utama yang jadi penghambat adalah menelusuri keberadaan Dannil Setiawan, sang eksekutif produser awal yang disinyalir memiliki master pita rekaman asli album itu.

Lantaran tak kunjung berhasil menemukan jejak, manajemen Roxx kemudian ambil inisiatif pasang iklan pengumuman di media cetak nasional. Langkah ini dilakukan setelah melalui berbagai konsultasi dengan beberapa pengacara dan pakar hukum hak cipta.

“Pengumuman yang kami bikin sebenarnya bukan langkah mutlak untuk memenuhi kaidah hukum, tapi sudah langkah paling maksimal yang bisa ditempuh oleh pihak-pihak yang ingin merilis ulang karya-karya yang sudah pernah beredar sebelumnya,” kata Denny MR kepada Koridor, sebulan lalu.

Merilis ulang sebuah album yang telah dirilis setidaknya satu kali sebelumnya, terkadang dengan perubahan atau penambahan, tentu bukan praktik baru dalam industri musik dunia.  Orang-orang mengenalnya dengan istilah reissue. Biasa juga disebutnya re-release, repackage atau re-edition.

Ada beragam alasan yang mengitari perilisan ulang sebuah album. Untuk kasus Black Album milik Roxx, selain karena albumnya sudah langka, juga sebagai ikhtiar dokumentasi dan edukasi kepada para penggemar muda tentang konteks ketika album itu rilis.

“Roxx membangun eksistensinya, salah satunya melalui album debut ini, dengan penuh perjuangan. Istilahnya berdarah-darah. Artinya anak-anak muda harus mengetahui bahwa keberhasilan merupakan hasil dari proses yang panjang. Tidak ada yang instan,” tambah Denny MR.

Argumentasi lain di balik reissue sebuah karya adalah memindahkan hasil rekaman ke format berbeda. Contohnya album Roxx yang aslinya hanya rilis dengan bentuk kaset pita, kini hadir ulang dalam bentuk CD dan nantinya versi digital. Atau ketika kaset pita mini album Seringai rilisan 2004 yang dirilis ulang dalam format piringan hitam satu dekade kemudian.

Selain reissue, ada lagi istilah remaster yang tak kalah sering kita jumpai dalam perilisan ulang sejumlah album lawas. Biasanya diluncurkan ke pasar untuk memperingati momen tertentu. Terkadang pihak label rekaman atau musisi menambahkan materi lagu yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Bisa berupa materi demo lagu atau versi konser.

Kelompok musik The Doors, misalnya, dalam rangka memperingati setengah abad album pertamanya meluncurkan versi remastered pada 2017. Album bertajuk The Doors 50th Anniversary itu hadir dalam kemasan bokset berisi satu plat piringan hitam dan tiga kepingan CD. Sungguh memanjakan para kolektor penyuka musik Jim Morrison dkk.

Kelompok The Doors merilis album debutnya yang hasil remaster dengan tajuk The Doors 50th Anniversary pada 2017.

Band legendaris lainnya asal Inggris, The Beatles, tak perlu dipertanyakan lagi. Ada bejibun album remaster mereka yang sudah diedarkan.

Proses remaster ibarat melakukan revisi atau penyuntingan untuk meningkatkan kualitas suara dari salinan asli lagu yang terdapat dalam album. Hasil dari proses ini bisa lebih optimal dibandingkan reissue karena menggunakan pita master asli.

Musabab abai terhadap pentingnya mengarsipkan sebuah karya, lantaran berbagai alasan, banyak album milik musisi Tanah Air yang diterbitkan ulang tanpa melalui proses remaster.

Salah satu contohnya album debut Roxx yang terpaksa menggunakan album kaset pita dengan kualitas paling bagus untuk dijadikan materi bahan duplikasi.

Beda lagi cerita yang menimpa pita master asli rekaman album Cermin (1980) milik grup musik God Bless. Master asli album kedua Achmad Albar dkk itu. rusak kena banjir. Alhasil Log Zhelebour selaku pemilik hak melakukan berbagai upaya hingga bisa merilis ulang album tersebut dalam kemasan CD melalui label Logiss Records pada 2015.

Maka beruntunglah musisi atau band yang master rekaman aslinya masih tersimpan dengan baik. Di Indonesia biasanya dipegang oleh eksekutif produser dalam hal ini perusahaan rekaman. Mereka kelak bisa memanfaatkannya untuk merilis ulang album tersebut dengan melakukan peningkatan kualitas audio.

Contohnya perilisan ulang album Kekagumanku karya Candra Darusman oleh label Musica Studio’s. Album solo kedua Candra yang aslinya rilis 1983 telah melalui hasil remaster dan diedarkan ulang pada 2018. Ada bonus satu lagu baru bertajuk “Pengungkapan Hatimu” termaktub dalam versi remaster album itu.

Cara paling mudah untuk membedakan dua istilah tadi, yakni reissue dan remaster, adalah dengan melongok prosesnya. Sesuai namanya, remaster pastinya menggunakan materi asli, dalam hal ini pita master asli rekaman. Sedangkan reissue bisa mengambil sumber dari materi lain.

Ada satu lagi sebenarnya terminologi menyangkut perilisan ulang sebuah album lawas. Namanya repress. Biasanya ada repress kedua, ketiga, dan seterusnya. Unsur utama yang membedakannya dengan dua istilah tadi adalah perkara kesamaannya dengan materi sumber asli, mulai dari penggunaan master rekaman asli, kualitas suara, label rekaman, hingga sampul album.

Jika ada yang berbeda alias tidak identik dengan versi rilisan awal, maka album itu bisa dianggap antara reissue atau remaster. Contoh satu album yang masuk kategori repress adalah The Universe Smiles upon You milik kelompok Khruangbin. Trio pengusung musik psikedelik rock asal Houston, Amerika Serikat, me-repress album debutnya tadi lantaran cetakan pertama ludes dengan cepat di pasaran.

Lantas di antara tiga versi cetak ulang album lawas tadi, mana yang sebaiknya menjadi pilihan para penggemar musik yang punya klangenan terhadap masa lalu? Tergantung selera dan isi kantong. Sebab tiap varian punya harga berbeda.

Artikel Terkait

Terkini