Budaya pengenyahan, penolakan, atau boikot massal (cancel culture) yang sebagian besar merupakan produk dari media sosial, memungkinkan sejumlah orang berkumpul menyuarakan ketidaksukaan atau ketidaksetujuan mereka terhadap individu tertentu.
Tindakan “mengenyahkan” seseorang memungkinkan Anda mengambil suara, bisnis, dan platform yang mereka miliki. Dalam arti tertentu, ini seperti “memadamkan api mereka” di mata publik, seperti diungkapkan psikolog Audrey Tang.
Budaya pengenyahan
Cancel culture bukan hal baru. Jauh sebelum adanya media sosial, serial televisi dan komedi situasi dapat dibatalkan karena menurunnya jumlah penonton. Namun di era media sosial, fenomena ini menyebar lebih cepat seperti yang dijelaskan oleh Tang, penulis buku The Leader’s Guide to Resilience. “Ini jauh lebih cepat daripada sebelumnya,” katanya.
Ketika masyarakat memutuskan mereka tidak ingin lagi mendengar pendapat maupun tindakan dari selebriti atau tokoh tertentu, maka media sosial bisa berdampak cukup besar memengaruhi keputusan eksekutif media. Di masa lalu, acara televisi lebih banyak dipengaruhi oleh rating, namun kini media sosial memiliki pengaruh yang lebih besar.
Tang memberikan contoh kasus cancel culture baru-baru ini; kasus Amber Heard. Setelah publik berbalik menentang dan “memboikot” Amber, eksekutif media tidak mungkin bisa mempekerjakannya karena mereka khawatir akan tanggapan publik. “Ini merupakan risiko yang terlalu besar,” katanya.
Efek Negatif dari ‘Cancel Culture’
Tang menyampaikan bahwa di lingkungan universitas, cancel culture dapat menjadi tantangan bagi kebebasan berbicara. Misalnya, saat universitas mengundang tokoh tertentu untuk berbicara, dan kemudian mahasiswa memilih meninggalkan diskusi tersebut, hal ini mengurangi ruang perdebatan.
Menurut Tang, jika kita tidak mendengarkan pandangan yang berlawanan, itu akan menghambat pembelajaran dan kemampuan kita untuk bertanya. “Akhirnya kita tidak akan belajar bagaimana menantang dan melawan mereka,” ujar Tang.
Dalam konteks ini, ada risiko bahwa kita akan terjebak dalam lingkaran yang sempit jika kita tidak pernah menghadapi tantangan. Kita tidak akan pernah berkembang. Akibatnya, cancel culture menghalangi kesempatan kita untuk menemukan solusi tengah, yang sering kali menjadi pendekatan terbaik dalam memecahkan masalah.
“Saya tidak mengatakan bahwa kita harus sepenuhnya membenarkan pandangan yang tidak pantas, tetapi jika kita tidak mau merenungkan argumen-argumen kritis secara mendalam, maka kita membatasi diri dari pengetahuan yang lebih luas,” jelas Tang.
Pengaruh ‘cancel culture’ terhadap cara berpikir
Cancel culture menyebabkan generasi muda terbiasa mencari solusi yang mudah atau jalan singkat. Meskipun lebih mudah untuk menyingkirkan atau menghentikan orang-orang yang tidak sependapat dengan kita, namun faktanya solusi tersebut tidak selalu efektif karena menghambat keterlibatan otak dalam pemikiran yang kompleks.
Tang menekankan bahwa korteks prefrontal, bagian otak yang terlibat dalam pemikiran kompleks, tidak akan berkembang secara penuh hingga usia 25 tahun. “Saya tidak ingin terlalu menghakimi perilaku remaja yang terlibat dalam tindakan semacam ini ‘cancel culture’ karena otak mereka belum sepenuhnya matang,” tambahnya.
Tang juga berpendapat bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menjadi “pelit kognitif”; bahwa otak kita cenderung memilih jalan yang membutuhkan usaha lebih sedikit dalam memecahkan masalah, karena tidak mampu mengelola terlalu banyak informasi sekaligus.
Masalah ini semakin buruk di era media sosial, di mana kita dihadapkan dengan banyak informasi yang datang dari segala arah.
“Meskipun bukan cara yang optimal untuk mengatasi masalah, cancel culture mungkin digunakan oleh orang-orang sebagai mekanisme bertahan hidup,” ungkap Tang.
Mengapa kita tertarik melakukan ‘cancel culture’?
Wajar saja, di era informasi seperti sekarang, jika kita tertarik pada fenomena cancel culture. Namun tidak berarti bahwa itu merupakan cara terbaik bagi kita untuk hidup dalam masyarakat di mana kita semua perlu berusaha untuk bergaul dan membaur.
Tang menegaskan pentingnya meluangkan waktu dan energi untuk belajar memahami berbagai pandangan yang bertolak belakang. Dia juga berpendapat, tetap penting untuk memanggil orang dengan sopan meskipun mereka terlibat dalam tindakan diskriminatif.
Cukup katakan, “Maaf, bisakah Anda mengulanginya?” akan memberikan kesempatan bagi mereka untuk merefleksikan kembali apa yang telah mereka katakan. Jika mereka mengulanginya, tanyakan alasan mereka berpikir demikian.
Pada akhirnya, ini berkaitan dengan keinginan untuk terus memperluas pemahaman kita, bahkan ketika itu memunculkan rasa tidak nyaman. “Dengarkan, pelajari, baca dengan cara pandang yang luas, dan jelajahi dunia,” kata Tang. Itulah cara kita menjadi bagian dari masyarakat yang bertanggung jawab, bukan hanya dengan mengenyahkan orang-orang yang tidak kita setujui.
*** disadur dari Discover Magazine.