Pertumbuhan hip hop di Indonesia terus berderap, meski minim penyingkapan oleh media arus utama

Koridor.co.id

Edgar saat tampil dalam acara “Emerging Session Vol.6 (Hip Hop Edition)” yang berlangsung di Foya, MBloc Space, Jakarta Selatan (Foto: Andi Baso Djaya/Koridor)

Kita kaya karena beda. Budaya melegenda

Ini tanah nusantara, tempat para raja-raja

Yang kita butuhkan mungkin sebuah kombinasi

Berikan tempat di hati, ruang untuk toleransi

Jadi coba terus gali nilai dalam diri

Mulai sinergi, kolaborasi

Kita bersatu, siap beraksi.

Demikian penggalan lirik yang dibawakan secara merepet oleh Tuan Tigabelas alias Upi dari lagu “Menjadi Indonesia”. Aransemen musiknya menyelipkan beberapa ornamen musik tradisional.

Salah satu perusahaan operator seluler di Tanah Air merilisnya sebagai bagian dari kampanye menyemarakkan ulang tahun ke-77 Republik Indonesia.

Upi bukan satu-satunya rapper yang ikutan dalam proyek kolaborasi lagu tadi. Ada juga Iwa Kusuma dan Kill the DJ yang aslinya bernama Marzuki Mohamad. Satu lainnya adalah solis pop Kunto Aji.

Menyanyikan (atau merapalkan?) lirik dengan rapat alias merepet seperti yang dilakukan Tuan Tigabelas sebenarnya bukan hal baru.

Jauh sebelumnya, mendahului kemunculan Jacky lewat lagu “Shame On Me” yang termaktub dalam album soundtrack film Catatan Si Boy 3 rilisan 1989 atau debut Iwa K mengisi bagian rap dalam mini album kelompok Guest Music bertajuk Ta’kan (1990), Benyamin Sueb (1939-1995) sudah “nge-rap” dalam beberapa lagunya sejak beberapa dekade lampau.

Tak heran jika Iwa K enggan mengamini predikat dirinya sebagai “the godfather of hip hop Indonesia”. Benyamin dianggapnya jauh lebih pantas.

Hanya saja ketika itu belum ada terminologi rap apalagi hip hop. Benyamin juga menyanyikan gaya merepet tadi bukan atas kesadaran sebagai rapper. Orang-orang Betawi menyebutnya ngedumel alias mengomel. Melontarkan banyak kosakata dalam waktu cepat. Rapat.

Genre hip hop yang oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia mendapat pranala repet atau merepet, seperti kebanyakan genre musik lain yang populer di negeri ini, juga berasal dari luar negeri.

Bronx, kawasan kumuh di bagian selatan New York, Amerika Serikat, menjadi tempat kelahiran subkultur ini. Elemen utamanya terdiri atas MC atau rap, disjoki (DJ), tari kejang, dan grafiti.

Ada tiga nama yang dianggap sebagai “Holy Trinity of Hip hop”, yaitu DJ Kool Herc, Afrika Bambaataa, dan Grandmaster Flash.

Seiring perkembangan waktu, hip hop yang awalnya lahir di kawasan kumuh berkembang menjadi salah satu genre musik paling menonjol di industri musik dunia. Memberikan pengaruh besar terhadap budaya populer.  

Gelombang hip hop masuk ke Indonesia pertama kalinya melalui demam tari kejang alias breakdance, sebuah gerakan menari ala robot. Publik menyebutnya bak goyang seperti orang kesetrum. Kejadiannya pada dasawarsa 80-an. Ada banyak kelompok anak muda yang saling beradu kebolehan. Berbagai festival breakdance pun kerap diadakan.

Industri perfilman dengan jeli memanfaatkan fenomena breakdance yang melanda remaja Indonesia dengan memproduksi film Tari Kejang Muda-Mudi (1985), Demam Tari (1985), hingga Gejolak Kawula Muda (1985).

Iwa K juga mengenangkan persentuhannya dengan hip hop juga bermula dari tari kejang, lalu mulai nge-rap untuk mengiringi teman-temannya menari.

Walaupun hip hop lahir di Amrik, para seniman kita melalui daya cipta kreatifnya coba mengolahnya dengan cita rasa nusantara. Iwa K memberikan ilustrasi hip hop ibarat sebuah tumbuhan impor yang ditanam di Tanah Air. Saat berbuah rasanya menjadi khas Indonesia karena menyerap apa-apa yang ada di tanah tempatnya ditanam.

Untuknya tak perlu harus plek ketiplek mengadopsi kultur hip hop Amrik. Alih-alih ikutan perang antargeng laiknya east coast versus west coast, lebih baik saling menyatu untuk berkolaborasi seperti dilantunkan Tuan Tigabelas.

Bangunan hip hop Indonesia bahkan tambah semarak berkat adanya unsur-unsur elemen kearifan lokal di dalamnya. Mulai dari penggunaan lirik merepet berbahasa daerah hingga penggunaan instrumen musik tradisional yang berjalan di atas titilaras pentatonis.

Ada banyak grup musik hip hop Indonesia yang sudah memadukan hal tersebut, mulai dari G-Tribe, Jogja Hip Hop Foundation, NDX A.K.A Familia, Sundanis, hingga Kojek Rap Betawi.

Beberapa pamflet acara hip hop yang diinisiasi oleh komunitas yang jadi penanda aktivitas di genre ini tak pernah sepi

Hingga saat ini, hip hop di Tanah Air sebenarnya terus berderap. Komunitas atau pelakunya menyebar dari Lhokseumawe hingga Papua. Regenerasinya terus menetas.

Jika pada awal dekade 90-an publik hanya mengenal sosok Iwa, kemudian sempat muncul nama Denada Elizabeth, hingga alumni album kompilasi Pesta Rap yang rilis beberapa volume, kehadiran grup rap atau rapper sebagai proyek solo makin banyak.

Kecanggihan teknologi digital termasuk internet turut mendorong laju hip hop. Album rekaman ataupun lagu tunggal alias single bahkan bisa diproduksi dalam kamar dengan cakupan distribusi global melalui layanan pengaliran musik seperti Spotify, Bandcamp, dan YouTube.

Alhasil untuk mengakomodirnya hadir berbagai acara dan panggung pertunjukan berskala kecil. Kebanyakan diselenggarakan secara mandiri oleh komunitas hip hop setempat, walaupun ada beberapa nama rapper yang juga mengisi festival musik besar.

Panggung hip hop mulai ramai kembali setelah dua tahun terakhir vakum lantaran pandemi Covid-19. Semisal Emerging Session Vol.6 (Hip Hop Edition) yang berlangsung di Foya, MBloc Space, Jakarta Selatan (8/8/2022). Acara itu menghadirkan Edgar Tauhid, Pretty Rico, dan Raben.

Sosok tiga rapper tadi hanya sebagian kecil bukti adanya penerus tongkat estafet angkatan Iwa K dan kawan-kawan. Antara satu dengan lainnya juga punya ciri khasnya sendiri.

Edgar (31), misalnya, yang merilis album debut Variasi tahun lalu menghadirkan lirik keseharian dengan bumbu humor. Sementara Pretty Rico menyuarakan entitasnya sebagai peranakan Tionghoa dalam “Java Chinese”. Raben yang aslinya bernama Abner Penyami seperti biasa dengan lancar menghamburkan beragam rima tentang pandangannya sebagai warga Jakarta.

Beberapa hari kemudian, tepatnya 12 Agustus 2022, hadir lagi acara Hip Hop Asongan. Masih di kawasan MBloc Space, hanya tempatnya kali ini agak bergeser sedikit dari tempat sebelumnya. Bukan lagi dalam ruangan. Raben bersama kakaknya, Saykoji, menginisiasi acara ini sejak 2006. Konsepnya adalah acara hip hop yang berlangsung secara outdoor atau jalanan.

Platform hip hop lain yang tak kalah serunya adalah Rhyme Pays yang namanya berasal dari album perdana Ice T rilisan 1987. Rhyme Pays merupakan ajang “tarung rap” alias rap battle, sebuah kegiatan lumrah dan telah turun temurun menjadi bagian dari kultur hip-hop, yang berlangsung di Bandung.

Masih di Kota Kembang, beredar juga poster acara hip hop bertajuk “Cutz Chamber Vol.05: Def Block Chyper” di Balai RW Dago Elos (16/8). Menghadirkan EfeFeelSix, Krowbar, Balkumuh, Kid Vicious, DJ Evil Cutz, Madness on tha Block, Jaydawn, Densky9, Ways, Endo, Worst Kids, dan Da Kriss.

Salah satu festival musik besar yang menjadikan hip hop sebagai sentral, bukan lagi sempalan, tak lama lagi juga akan kembali hadir. Namanya Flavs Festival. Kali ini mengusung tema “Revival” yang dijadwalkan tidak lagi berlangsung secara daring, tapi luring di Istora Senayan, Jakarta Pusat (10-11/9).

Yacko, salah satu perempuan rapper paling konsisten di negeri ini, sejak awal mengharapkan Flavs Festival bukan hanya sebagai representasi hip hop, soul, dan R’n’B di Indonesia, tapi juga tempat berkumpulnya para talenta terbaik di genre tersebut.

Oleh karena itu, Yacko sebagai program director menghadirkan OrangHutan Squad (dari Aceh), Wasaka (Kalimantan Selatan), NDXAKA (Yogyakarta), Negatif Satu (Manado), Jumat Gombrong (Jogja), Ghetto Side (Ambon), MukaRakat (Melanesia), Januarta the Goat (Kupang), hingga Block8 (Sorong).

Demikianlah hip hop di Indonesia yang sejatinya terus berkembang meskipun tanpa sorotan media arus utama.

Artikel Terkait

Terkini