Sosok periset humor di Indonesia sangatlah jarang, bahkan bisa dibilang sosok Ulwan Fakhri hanya satu-satunya di Indonesia. Waktunya kini dipersembahkan sebagai peneliti humor di Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) setelah bergabung pada 2020.
Koridor pun mengunjunginya di The Library of Humor Studies di Gedung DDTC, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (16/2/2023). Nampak Ulwan sedang serius membaca sebuah buku yang tentunya berkaitan dengan humor.
Saat berbincang, Ulwan mengungkapkan aktivitasnya sebagai periset humor sekaligus kegundahannya tentang minat riset humor di Indonesia yang begitu minim.
Jalan tidak disangka
Ulwan mengaku tidak menyangka bisa menjadi bagian dari IHIK3, ia bergabung ketika sedang mengerjakan tesis sekitar tahun 2019. Saat itu ia sedang mencari referensi buku humor karena cukup sulit dicari.
Akhirnya, setelah mencari dengan googling, ia menemukan The Library of Humor Studies yang ternyata baru saja diluncurkan dan kala itu masih berlokasi di kawasan Cikini. Ia pun kirimkan email permohonan untuk mendapatkan dukungan referensi demi merampungkan tesisnya. Ia sempat putus asa karena tidak mendapatkan surel balasan, namun akhirnya dibalas dalam waktu beberapa hari kemudian.
“Ternyata waktu itu emailnya keselip ceritanya, kemudian Mbak Nia (pustakawan) tracing email IHIK3 lagi dan ketemu email saya, terus kami akhirnya ngobrol, dan janjian. Sewa tempat tinggal di daerah Cikini, selanjutnya pekerjaan saya selama empat hari bolak balik ke perpustakaan itu,” papar Ulwan.
Saat hendak pulang, Danny Septriadi salah satu pendiri IHIK3 menawarkannya untuk bergabung dan memberikan tantangan kepadanya dengan membuat tulisan dari buku-buku perpustakaan berdasarkan disiplin ilmu.
“Kemudian setelah kelar tesisnya pada akhirnya 2019 akhir gitu, ditawarin mau gak di sini full time aja, ya mau mau aja, untuk bantuin mbak Novri (CEO IHIK3), Mas Yaser (COO IHIK3) dan mbak Nia. Karena waktu itu cuma bertiga doang, dan belum ada yang mengisi posisi untuk riset,” sambung Ulwan.
Hingga akhirnya, ia dapat merampungkan tesisnya yang berjudul “Komodifikasi Identitas Tionghoa dalam Humor: Studi Encoding/Decoding Stuart Hall tentang Pertunjukan Stand-up Comedy Ernest Prakasa”.
Ulwan mengaku sudah banyak yang diberikan IHIK3 kepadanya. Yang paling bermakna adalah ketika dirinya diberikan kesempatan untuk belajar. Dia pernah merasakan kerja yang sifatnya hanya rutinitas, memberikan dedikasinya sebagai output namun merasa tidak mendapatkan tambahan ilmu.
Namun di IHIK3, dirinya bahkan diajak Denny Septriadi untuk bergabung dan belajar dalam kelas Association for Applied and Therapeutic Humor (AATH). Tujuan dalam kelas tersebut adalah bagaimana kita bisa menggunakan humor dalam hal yang terkait dengan terapi.
“Terapi itu gak harus kayak psikiater, gitu-gitu, tapi setidaknya membantu kita dan orang lain apa pun profesi kita menggunakan humor, jadi latar belakangnya ada orang nurse, dosen, ada film maker, dan lain sebagainya, dan mereka orang-orang yang antusias melakukan humor dalam profesinya,” sambung Ulwan.
Kelas tersebut menyatukan seluruh individu yang tertarik dengan humor sebagai profesi yang serius secara profesional. Para pesertanya di antaranya selain dari Indonesia, juga dari Jepang, New Zealand dan negara lainnya.
“Dari 2020 itu kami belajar programnya adalah tiga tahun minimal, dan tahun ini adalah level terakhir sebelum kami graduation, setelah itu kami mendapatkan certified humor professional yang bisa dipakai sebagai pembicara, bahkan untuk konsultan dan lain sebagainya, jadi kami berjejaring langsung sama mentor-mentor yang ada di US sana,” paparnya.
Minimnya Minat Riset
Secara harian, tugas Ulwan dari 1.500 lebih buku yang ada di perpustakaan tersebut adalah mencarikan materi penting dengan beragam turunannya untuk konten sosial media IHIK3, materi workshop, hingga buku yang ditulis dalam perspektif atau konteks bahasa Indonesia.
“Karena buku tentang kajian humor di Indonesia itu masih sangat minim, bahkan bisa dibilang gak ada. Jadi tantangannya IHIK3 sebagai lembaga riset humor adalah mengedukasi masyarakat supaya tahu bahwa humor itu scientific, multidisiplin dan multiprofesi, semua bidang studi bisa masuk, semua bidang profesi bisa masuk,” papar Ulwan kepada Koridor.
Humor tidak hanya sekadar lawakan belaka, misalnya beberapa contoh lain materi yang dimiliki IHIK3 yaitu humor matematika, humor arsitektur, humor fotografi, dan yang umum misalnya filsafat, psikologi, hingga komunikasi.
“Beberapa poin itu yang kami rasa ada keunikannya, dan kami menunggu pakar-pakar di bidang lain untuk gabung, mengembangkan konsep humor dalam disiplin ilmunya maupun profesinya,” tutur Ulwan.
Dalam kacamata Ulwan, penyebab minimnya riset humor adalah karena tidak sedikit orang menganggap remeh humor secara keilmuan. Ia pun menceritakan pengalamannya sejak bergabung dengan IHIK3, terdapat beberapa mahasiswa jurusan ilmu komunikasi dan filsafat. Mereka meminta bantuannya untuk berdiskusi soal skripsi dan tesis soal humor.
Saat itu ketika usai pandemi Covid-19, para mahasiswa datang secara langsung ke perpustakaan dan telah diberi saran, referensi dan lainnya. Sayangnya, beberapa waktu kemudian skripsi dan tesis mereka tentang humor ditolak oleh dosen pembimbing.
“Ternyata usulan mereka ditolak judulnya karena pertama dosen pembimbingnya katanya gak terlalu yakin kalau humor itu scientifically, open, gitu-gitu. Walaupun sudah dibilang ini ada buku-bukunya dari luar juga, tapi sepertinya masih kurang meyakinkan,” papar Ulwan menyayangkan.
Ulwan merupakan lulusan S1 jurusan Sastra Inggris dan S2 Ilmu Komunikasi di Universitas Brawijaya Malang. Kala itu ia mengerjakan skripsi dan tesis berkaitan dengan humor yang spesifikasinya tentang standup comedy.
Skripsinya kala itu berjudul “Face Threatening Act Strategies in Jerry Seinfeld’s I’m Telling You for the Last TIME Stand-up Comedy Show”.
Dosen pembimbingnya pun menyetujui karena judul yang diusulkannya memiliki tingkat kebaruan yang tinggi dan belum ada yang mengkaji humor.
“Yang jelas value dari humor itu secara akademik sebenarnya sangat tinggi, bahkan di riset IHIK3 juga publish, itu trennya meningkat terus,” papar Ulwan.
Dikutip dari Jurnal Prisma, penelitian yang dilakukan IHIK3 bersama Indo Relawan menunjukkan bahwa selama periode 1967-2016 terdapat 667 judul dari 51 perguruan tinggi. Hasilnya, diprediksikan bahwa dalam dekade 2021-2030 akan terjadi peningkatan signifikan akan riset atau penelitian tentang humor di Indonesia, hingga lebih dari 3500 penelitian.
Prediksi peningkatan minat riset terhadap humor kata Ulwan karena faktor teknologi informasi yang berkembang. Termasuk topik-topik yang juga mulai variatif. Misalnya dalam konteks komunikasi di era orba, belakangan mulai bermunculan bahwa humor itu dipakai sebagai alat untuk mengkritik, alat untuk masyarakat supaya resistance bahkan menjaga perasaan mereka agar tidak tertekan dalam situasi yang cukup keras.
Upaya IHIK3
Ulwan tidak menyangka dalam IHIK3, bisa semakin dekat dengan tokoh humor legendaris dan juga yang tergabung dalam Persatuan Seniman Komedi Indonesia (PaSKI).
Mereka sangat mendukung bahwa humor harus dikembangkan scientifically, yang kemudian bersama IHIK3 bekerja sama membuat ensiklopedi komedi di Indonesia dari seluruh buku humor yang dibeli hingga dengan biaya termahal baik dari dalam maupun luar negeri.
“Antusiasnya adalah mengembangkan buku baru, yang kepingin bisa dikembangkan supaya orang-orang bisa dipercaya, dan yang kedua ya supaya orang mengerti bahwa humor itu purpose-nya gak hanya buat entertainment tapi banyak sekali, bagi kita influencing resilience kita buat pelajar,” paparnya.
Kolaborasi dengan PaSKI ditandai dengan tanda tangan kesepakatan kerja sama yang diinisiasi oleh Jarwo Kwat sebagai Ketua PaSKI. Termasuk pelawak seperti Indro Warkop, Miing, hingga Tarzan juga turut mendukung.
“Yang sebenarnya kalau kita bilang ini mustahil, karena kita gak terlalu kaya akan arsip, dan itu harus benar-benar digali, kemarin kita membuka lembar lembaran majalah koran kuno (terkait humor). Kita tarik mundur lagi ke belakang supaya dapat data yang lebih oke,” sambung dia.
Jangan salah artikan humor
Ulwan menuturkan, banyak yang salah mengartikan humor dan komedi. Hal itu mendasar namun krusial sehingga lebih dipercaya bahwa humor tujuannya hanya lebih untuk awam, sementara komedi bertujuan bagi profesional orang-orang ingin berpenghasilan dari membuat orang tertawa.
“Satu perbedaan etimologi, definisi kata ini bisa menentukan cita-cita atau posisi orang, andaikan kita suka humor, suka ketawa, kita suka konsumsi komedi dan sebagainya, tapi kita tahu gak akan bisa menghibur orang setiap hari setiap saat, setiap malam,” paparnya.
Kondisi itu tepat bagi yang memilih sekadar menjadi humoris, membedakan antara humor dan komedi dapat membuat diri lebih yakin dalam berkarier. Misalnya, ketika memilih menjadi komedian maka dia harus tahu risikonya bahwa dia harus latihan tiap hari, bekerja membuat materi, dan tahu seluk beluk industri, riset dan sebagainya.
Di sisi lain, melirik profesi komedian saat ini masih clueless, oleh karena itu ke depan dengan dukungan riset humor, diharapkan mematangkan persiapan para komedian untuk lebih yakin melangkah.
“Kalau suka bikin ketawa dan bikin orang ketawa ya embrace aja, terima saja takdir kita sebagai orang yang bagian dari humor, menerima humor dari bagian hidupnya. Terserah profesinya apa,” tandas dia.