
Layar monitor dan komputer pribadi (personal computer/PC) sudah dinyalakan. Tangan lalu berusaha menggapai kabel Local Area Network (LAN) yang tergeletak di lantai. Sejurus kemudian mencolokkannya di bagian belakang PC. Tunggulah barang sebentar hingga muncul boks kecil yang menyatakan bahwa “dial-up” sudah terkoneksi.
Pun ketika internet sudah tersambung, tak lantas kita bisa dengan mudah membuka banyak tab sekaligus di peramban web. Bisa lemot. Jika tagihan telepon rumah membengkak lantaran keseringan menyambung internet, maka pelarian bisa dituntaskan ke warung internet atawa warnet. Kelar main sejam biasanya bayar Rp5.000. Tarif lebih murah kemungkinan berlaku di tempat lain.
Demikian sekilas cara orang mengakses internet pada era 90-an hingga awal 2000-an. Kiwari pemandangan itu sudah tak kita jumpai lagi. Mengakses internet sekarang bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Bahkan ada dalam genggaman sebab ini sudah jadi fitur wajib setiap gadget.
Ragam kemunculan ponsel cerdas dengan harga makin terjangkau, begitu juga paket kuota internet, memungkinkan lebih banyak orang dengan gampang memanfaatkannya. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari Badan Pusat Statistik menegaskannya. Penetrasi internet bertumbuh pesat, termasuk kurun lima tahun terakhir.
Pada 2017, pemilik ponsel sudah melewati setengah jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan pengguna internet tercatat 76,8 juta orang. Persentase ini berubah drastis saat tutup tahun 2021. Dari lebih 271 juta penduduk, ada 164,8 juta orang alias 60,7% yang memiliki ponsel. Sementara pengguna internet tercatat 158.319.049 juta.
Bandingkan dengan keadaan satu dasawarsa silam. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat jumlah pengguna internet kala itu “hanya” 4,5 juta orang dari total 217,4 juta penduduk.
Kehadiran internet, disadari atau tidak, mengubah banyak hal dalam kehidupan. Mulai dari cara bekerja, mengenyam pendidikan, perawatan kesehatan, mengonsumsi hiburan, memesan moda transportasi, mendapatkan informasi, interaksi dengan orang lain, dan banyak hal lainnya. Pendeknya internet yang berjalan linear dengan kecanggihan teknologi menjadi salah satu pendorong utama evolusi sosial.
Ibarat belantara luas, apa saja ada di internet. Beragam wujudnya. Dari yang semula awal kemunculannya hanya mampu bertukar data berbentuk kode biner, hingga meningkat jadi dokumen tulisan, gambar/foto, dan aneka format multimedia lain.
Begitu luasnya medan yang bisa ditelusuri dengan beragam motivasi penggunanya, internet hadir bak pisau bermata dua. Membawa manfaat sekaligus bencana. Sebaiknya tak usah membahas apa saja keburukan di jagat maya. Mari kembali menengok data Susenas terkait tujuan penggunaan internet oleh masyarakat kita.

Untuk posisi lima besar, urutan teratas yang diwakili sebanyak 139,7 juta orang alias 88,24% mengaku menggunakan internet untuk bermain media sosial (medsos), semisal Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, Skype, dan lain-lain.
Menyusul berikutnya untuk mendapatkan informasi/berita (102,6 juta orang), hiburan (100,1 juta orang), proses pembelajaran (51,3 juta orang), dan pembelian barang/jasa (25,2 juta orang).
Kehadiran berbagai platform medsos tak terbantahkan menjadi salah satu magnet utama penggunaan internet. Semula hadir dimaksudkan untuk menambah dan memperluas jejaring pertemanan. Kini aplikasi jaringan sosial telah pula berevolusi dengan penawaran beragam fitur. Berkelindan dengan kerapnya pula mereka mengubah algoritma yang terkadang bikin mangkel.
Walau begitu tetap saja pertumbuhan pengguna berbagai platform medsos terus bertambah. Menyitir laporan “Digital Global Overview Report” terbaru yang diterbitkan berkat kemitraan We Are Social dan Hootsuite, hingga Januari 2022 pengguna aktif medsos di Indonesia telah mencapai 191,4 juta orang alias meningkat 12,6% dari tahun sebelumnya.
Apabila diperhatikan lebih saksama, rerata waktu yang dihabiskan dalam sehari untuk menggunakan medsos melalui perangkat apa pun juga bertambah tiga menit dari tahun sebelumnya yang tercatat 3 jam, 14 menit.
Rataan itu lebih banyak dibandingkan waktu yang dipergunakan untuk membaca media pers (online maupun cetak), menonton televisi, bermain konsol gim, mendengarkan musik via streaming maupun radio konvensional, serta mendengarkan siniar (podcast).
Maka tak heran jika banyak yang mengatakan bahwa medsos ibarat candu. Tak peduli rentang usia, jenis kelamin, dan status sosial, semua jadi keranjingan.
Paling minim aktif melalui satu aplikasi, meskipun kebanyakan orang eksis dengan dua bahkan lebih. Atau bisa jadi, seturut diizinkannya penggunaan dua akun dalam satu aplikasi medsos tertentu, orang bisa punya lebih dari satu akun di aplikasi yang sama. Istilahnya satu akun asli, sisanya akun anonim.
Merujuk kembali laporan “Digital Global Overview Report”, pengguna medsos terbanyak berada pada rentang umur 25-34 tahun. Kemudian kategori 18-24 tahun, 35-44 tahun, 13-17 tahun, 45-54 tahun, 65 tahun ke atas, dan terakhir 55-64 tahun. Kecuali dalam rentang 13-17 tahun, pengguna laki-laki selalu lebih banyak dalam kelompok umur tadi.
Jawaban terbanyak dari pertanyaan mengapa bermain medsos adalah untuk tetap berhubungan dengan kawan dan keluarga (58%), mengisi waktu (57,5%), mencari tahu apa yang sedang jadi topik perbincangan (50,1%), mencari inspirasi untuk melakukan sesuatu (50%), serta menemukan konten (48,8%).
Tren penggunaan medsos tampaknya belum akan surut dalam beberapa tahun ke depan. Apalagi belakangan ini salah dua imbasnya juga bisa mendatangkan kepopuleran hingga keuntungan finansial. Dua faktor ini kerap membuat orang-orang silau. Berlomba-lomba memproduksi konten apa saja dengan harapan cepat viral. Mereka tak peduli meski nyawa taruhannya.
Semua kembali lagi pada niat masing-masing dalam menggunakan medsos. Seperti pesan yang disampaikan Firman Kurniawan, pemerhati budaya dan komunikasi digital, dalam rangka Hari Media Sosial yang saban 10 Juni diperingati, sebaiknya mengisi akun medsos dengan konten-konten bermutu.
Jangan menggunakannya sebagai tempat produksi dan distribusi konten tidak beretika, tanpa empati, menimbulkan perpecahan, dan sebatas mencari perhatian belaka. Bagi pengguna lain, bantulah dengan tidak menyebarkan konten sejenis itu. Stop making stupid people famous!