Nasib film-film cerita orisinal di tengah gempuran film waralaba. Kehadirannya bisa menawarkan keanekaragaman bagi penonton.

Koridor.co.id

Daftar Lima Besar Film Indonesia dengan Cerita Asli Terlaris

Keberhasilan film Ngeri-Ngeri Sedap arahan Bene Dion Rajagukguk meraih 2.812.606 penonton punya banyak arti. Pertama, tentu saja dari kaca mata bisnis yang membuatnya masuk jajaran film box office alias terlaris tahun ini. Bahkan memuncaki daftar film Indonesia dengan cerita asli terlaris.

Arti kedua, ini termasuk yang banyak mendapat sorotan para pecinta film, adalah soal kebisaannya membuat film dengan cerita orisinal kembali diperhitungkan. Berharap para investor tak ragu lagi menanamkan investasinya untuk proyek-proyek dengan cerita asli.

Saat tayang perdana di bioskop mulai 2 Juni 2022 hingga beberapa pekan kemudian, film tentang keluarga Batak itu berada di tengah kepungan film macam KKN di Desa Penari, Naga Naga Naga, Keluarga Cemara 2, The Doll 3, Ranah 3 Warna, dan My Sassy Girl.

Belum lagi gedoran film-film impor asal Hollywood dengan model blockbuster-nya, semisal Top Gun: Maverick, Jurassic World Dominion, hingga Thor: Love and Thunder. Benang merah dari jajaran film tadi adalah berasal dari properti intelektual yang sudah kuat di masyarakat.

Masih ada banyak film yang menunggu giliran tayang juga bukan nama atau produk asing. Salah satunya Noktah Merah Perkawinan hasil adaptasi sinetron populer era 90-an berjudul sama. Kali ini memasangkan Oka Antara dan Marsha Timothy.

Lalu ada garapan MD Pictures, MVP Pictures, dan Dapur Film yang berjudul Catatan Si Boy (Cabo). Judul ini sungguh fenomenal menjelang tutup dekade 80-an hingga awal 90-an. Berawal dari sandiwara radio, diadaptasi menjadi film sebanyak lima seri yang semuanya laris, hingga sempat diadaptasi menjadi sinetron.

Versi buat ulang Cabo akan disutradarai Hanung Bramantyo. Para pemeran utamanya terdiri dari Angga Yunanda (sebagai Boy), Syifa Hadju (Nuke), dan Aditya Elmand (Emon).

Demikianlah film yang punya IP. Artinya orang-orang sudah sangat mengenal film-film itu meski belum tayang. Bisa jadi karena materi sumbernya merupakan sekuel dan prekuel dari film yang sebelumnya telah laris. Atau bisa juga hasil adaptasi dari novel, komik, lagu, film asing, sinetron, sandiwara radio, bahkan utas yang viral di media sosial.

Dari kaca mata model bisnis, merilis film yang sudah punya basis Intellectual Property (IP) kuat terasa masuk akal dilakukan. Memasarkan sebuah produk yang sudah kadung populer di tengah masyarakat lebih mudah ketimbang harus mengenalkan sesuatu yang baru. Jadinya bisa lebih hemat dari segi bujet promosi.

Faktor lain yang memengaruhi adalah kecenderungan banyak orang merogoh kocek dan meluangkan waktu ke bioskop menonton film sudah mereka ketahui.

“Sebagai orang yang ada di dalam industri ini, aku paham betul mengapa arah trennya ke sana. Karena bikin film kan sangat besar biayanya. Dan penanam modal tentu butuh kepastian investasi,” ungkap Bene Dion kepada Koridor yang menghubunginya via sambungan telepon (7/7/2022).

Berdasarkan daftar 15 Film Indonesia dengan perolehan jumlah penonton terbanyak kurun 2007-2022, hanya Ngeri-Ngeri Sedap sebagai film dengan cerita asli yang berhasil masuk menempati urutan paling bontot dalam lis.

Kondisi serupa juga terlihat dalam susunan film Hollywood terlaris sepanjang masa yang dikumpulkan Box Office Mojo. Pengisi posisi 15 besar lagi-lagi didominasi film dengan basic properti intelektual. Film-film waralaba sekarang jadi penghasil uang terbanyak.

Ada pergeseran besar di era kiwari, khususnya di lanskap perfilman Hollywood, Amerika Serikat, yang kerap jadi barometer kemajuan industri film. Waralaba film yang kini menjelma jadi “bintang film” sesungguhnya menggantikan aktor.

Lantaran investor lebih tertarik memodali proyek yang berasal dari sebuah waralaba untuk mengejar keuntungan. Sementara aktor dan aktris meskipun punya reputasi mentereng ketika dipasangkan membintangi film dengan kisah orisinal belum tentu bisa menuai untung besar.

Pada titik inilah kehadiran Ngeri-Ngeri Sedap sebagai film dengan jutaan penonton jadi cukup penting. Selain karena berdasarkan cerita asli tanpa penopang lain yang biasa dimiliki sebuah film waralaba, Ngeri-Ngeri Sedap juga tidak bertabur pemain-pemain yang masuk kategori superstar. Bene bahkan jujur mengaku filmnya tidak box office friendly. Sungguh perpaduan yang sangat anomali dengan kondisi sekarang.

3 Film Hasil Cerita Adaptasi Masa Sebelum Kemerdekaan RI (Foto: Domain Publik)

Jika kita mundur jauh ke belakang meneropong sejarah perfilman di nusantara yang kala itu bernama Hindia Belanda, beraneka legenda, mitos, dan dongeng pada awalnya jadi tulang punggung cerita yang diangkat ke layar lebar. Contohnya Loetoeng Kasaroeng (1926) yang hingga kini dinobatkan sebagai film cerita pertama di Indonesia.

Kisah dalam film tanpa suara dan masih hitam putih arahan duo sineas Belanda, Goerge Krugers dan L. Heuveldorp, tentu saja menyadur dongeng terkenal di Jawa Barat. Pasalnya ongkos produksi film sepenuhnya ditanggung oleh Raden Adipati Aria Wiranatakusumah V yang menjabat Bupati Bandung kala itu.

Lalu masih ada Njai Dasima yang edar 1929. Ceritanya berasal dari novelet Tjerita Njai Dasima’ terbitan Kho Tjeng Bie & Co. pada 1896. Mengadaptasi cerita dari panggung tonil alias pertunjukan juga dilakukan. Tertuang dalam film Melati van Agam (1931) yang naskah aslinya ditulis wartawan Parada Harahap.

Masih selaras dengan tahun perilisan Melati van Agam, pihak Halimoen Film memproduksi film Si Pitoeng yang kisah hidupnya telah lama menjadi buah bibir di tanah Betawi.

Berlanjut tahun-tahun berikutnya, masih sebelum masa kemerdekaan, kebanyakan film juga hasil adaptasi. Para sineas Tionghoa totok dan peranakan, misalnya, asyik membuat filmdengan cerita-cerita rakyat asal tanah leluhur mereka. Beberapa judul yang masih bisa terlacak, antara lain Pat Bie To (1932), Pat Kiam Hiap (1933), dan Ouw Peh Tjoa (1934).

Selain karena keterbatasan penulis skenario dan ide cerita, maksud lain meluncurkan film berdasarkan folklor para nenek moyang tentu saja untuk menarik minat warga Tionghoa totok dan peranakan datang ke bioskop. Kelompok ini adalah pasar film potensial. Lebih suka menonton film yang punya kedekatan dengan mereka.

Bahkan kisah dari timur tengah tak luput juga diadaptasi. Contohnya dalam film Aladin dengan Lampoe Wasiat (1941). Empat dekade kemudian kisah ini diadaptasi lagi dengan Rano Karno dan Lydia Kandou sebagai pemeran utama.

Kondisi demikian terjadi dalam lanskap perfilman kita yang notabene masih baru kala itu. Tentu saja tetap ada naskah-naskah cerita film orisinal.

Pun demikian, menurut catatan sejarah, penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI) perdana 1955 belum menyediakan kategori untuk cerita atau skenario adaptasi. Penghargaan untuk skenario adaptasi mulai diberikan saat penyelenggaraan FFI ke-XXVI pada 2006.

“Aku berharap Ngeri-Ngeri Sedap bisa memberikan perspektif dan warna bahwa film yang laku tidak harus cerita-cerita dengan IP besar atau sekuel dengan segala macamnya. Bagi aku pribadi, paling tidak ada kesadaran untuk mencoba. Misalnya proporsi yang tadinya 10% cerita orisinal dan 90% IP, paling tidak bisa bergeser jadi 20% cerita orisinal,” pungkas Bene.

Artikel Terkait

Terkini