Salah satu unsur yang membuat jagat persepakbolaan tetap hangat, meski pun musim kompetisi liga-liga besar Eropa sedang rehat menikmati musim panas, adalah lalu lintas perpindahan pemain.
Banyak wajah baru berdatangan, tapi tak sedikit juga yang tiba-tiba memutuskan hengkang demi mencari tantangan baru. Alasan lainnya demi meraih peruntungan sekaligus merasakan tantangan di level lebih tinggi dari sebelumnya.
Dalam industri sepak bola di Eropa, dalam setahun terbuka dua jendela transfer pemain. Periode pertama terjadi saat musim panas. Perburuan berlangsung saat kompetisi liga berakhir. FIFA selaku induk organisasi sepak bola dunia mensyaratkan waktunya tidak boleh lebih dari 12 pekan. Di Inggris berlangsung Juni hingga Agustus.
Fase registrasi kedua berlangsung musim dingin saat rehat tengah kompetisi. Biasanya sepanjang Januari. Pada fase ini biasanya klub-klub lebih menahan diri dalam perekrutan. Kecuali terpaksa betul lantaran ada pemain kunci yang terkena cedera panjang.
Kita saat ini sedang menjadi saksi ramainya aktivitas summer transfer window. Hingga artikel ini ditulis Selasa (2/8/2022), pemain dengan nilai transfer terbesar menurut Transfermarkt adalah Aurelien Tchouameni. Klub raksasa asal Spanyol, Real Madrid, harus merogoh kocek sebesar €80 juta (sekitar Rp1,2 triliun) untuk menggaet sang gelandang bertahan.
Merasa nilai tadi fantastis? Harap tenang, karena itu belum seberapa dibandingkan ongkos sebesar €222 juta (Rp3,3 triliun) yang dikeluarkan Paris Saint-Germain saat menebus Neymar dari Barcelona pada musim 2017/2018. Angka tersebut belum termasuk gajinya yang ditaksir sekitar Rp500 miliar per musim.
Sementara urutan pertama klub yang paling boros belanja pemain, masih merujuk Transfermarkt, ditempati Barcelona. Total pengeluarannya mencapai €153 juta (Rp2,3 triliun) untuk mendatangkan 14 pemain.
Harga transfer pemain sepak bola sejak dulu sudah bikin banyak orang ternganga. Bertambah fantastis seturut berpindahnya kepemilikan beberapa klub ke tangan saudagar kaya asal jazirah Arab.
Pun demikian, bukan berarti klub-klub raksasa Eropa sembarangan menggelontorkan duit untuk memboyong pemain. Tetap ada banyak pertimbangan. Keputusan merekrut pemain kini tak lagi hanya mengandalkan naluri para tim pencari bakat.
Kebiasaan sebelumnya adalah orang-orang yang menjadi staf pencari bakat akan menyambangi satu stadion ke stadion lain. Mencari dan mengamati dengan saksama pemain incaran. Menawarinya untuk mengikuti trial atau seleksi yang dilakukan pihak klub. Jika dianggap memenuhi kualifikasi maka kontrak profesional siap disodorkan.
Indra Sjafri pernah mempraktikkan ini saat menukangi tim nasional Indonesia U-19. Rela blusukan keliling Indonesia demi mencari bibit-bibit muda bertalenta. Atau tengok film Hustle (2022). Betapa letih Stanley Sugerman (diperankan Adam Sandler) terbang dari satu negara ke negara lain demi mencari pemain basket muda. Stanley bekerja sebagai pencari bakat klub Philadelphia 76ers.
Agar dana besar klub tidak hilang begitu saja kepada pemain yang direkrut semata berdasarkan insting, mutlak harus ada tolok ukur nan presisi. Kecanggihan teknologi informasi menggunakan analisis data dan kecerdasan buatan menjawab kebutuhan tersebut.
Mulai banyak klub yang telah menjadikan teknologi tadi sebagai basis mereka dalam mengambil berbagai keputusan, termasuk kebijakan transfer pemain. Terbaru seperti dilansir Sport-Bild dilakukan oleh Bayern Munchen.
Untuk menentukan target pembelian pemain musim ini untuk menggantikan beberapa yang hengkang, klub asal Jerman itu menggunakan bantuan perangkat lunak alias software.
Seluruh skuad dan karakteristik utama para pemain diubah data variabel. Sehingga ketika seorang pemain yang menempati posisi tertentu memutuskan pergi, software akan mengidentifikasi pasar. Berusaha mencari pemain yang cocok dengan profil klub sekaligus memperkirakan ongkos transfer sang pemain incaran.
Alhasil Munchen bisa sigap bergerak di bursa transfer menggaet Ryan Gravenberch, Matthijs de Ligt, dan Sadio Mane untuk menambal tempat yang ditinggalkan Corentin Tolisso, Niklas Sule, juga Robert Lewandowski.
Manchester City yang dimiliki City Football Group (CFG) punya pendekatan sendiri. Juara bertahan Liga Inggris itu bisa mengantongi pangkalan data pemain hingga 500 ribu. Sedangkan dalam satu musim kompetisi, Man. City biasanya hanya mendatangkan 3 hingga 5 pemain baru yang sudah matang. Artinya hanya 0,001% pemain dari database tersebut yang bisa mengenakan jersey biru muda khas Man. City.
“Klub memiliki parameter berdasarkan posisi yang pelatih dan direktur sepak bola cari. Dan tugas kami untuk mengindentifikasi pemain yang cocok dengan permintaan pelatih,” ujar Carlos Santoro, kepala rekrutmen dan pencari bakat CFG untuk wilayah Amerika Selatan.
Santoro bersama stafnya tetap datang menonton di stadion untuk mengamati, terutama melihat bagaimana respons sang pemain saat tidak sedang membawa bola.
Namun, kini ia tak lagi harus menyaksikan keseluruhan pertandingan seperti era sebelumnya. Pun tak harus menghabiskan waktu terbang dari satu kota ke kota lain untuk menemukan intan-intan yang menanti untuk dijadikan berlian.
Pasalnya sudah ada teknologi informasi yang disedikan klub sebagai pemandu. “Ada alat untuk memberi kami data para pemain di seluruh dunia secara aktual. Kami bisa membuat catatan, mengunggah laporan, dan mencari data video dengan cepat. Jika anda butuh melihat divisi kedua Liga Swedia, bisa dilakukan,” ungkapnya.
Kehadiran big data untuk melakukan pengamatan terhadap pemain sangat berguna untuk klub. Bukan hanya sebagai pegangan awal dan menjadikan pekerjaan para pencari bakat lebih efektif, tapi juga menghindarkan klub membeli pemain yang jago sesaat.
Biasanya menimpa pemain yang direkrut lantaran tokcer dalam kompetisi sepak bola internasional pendek semisal Piala Eropa, Piala Dunia, atau Olimpiade. Setelah mengarungi kompetisi liga yang berdurasi lebih panjang, penampilan sang pemain justru melempem.
Informasi pemain yang termaktub di pangkalan data berisi rekam jejak panjang. Bahkan bisa berisi aneka catatan dan kebisaan sang pemain sejak masih di level junior.
Oleh karena itu, John Murtough selaku Direktur Sepakbola Manchester United menegaskan bahwa kehadiran Departemen Data Science bukan soal menggantikan elemen manusia dalam pengambilan keputusan.
“Pada akhirnya ini tentang memastikan bahwa para pemain, pelatih, dan staf pendukung dilengkapi informasi terbaik. Sehingga dapat digunakan untuk membuat keputusan yang tepat dengan cepat,” ujar Murtough dalam laman situsweb resmi klub berjuluk Setan Merah.