Citra pesona, tak dianggap ada.
Berpaling dari indahnya pusaka aksara.
Tak tergoda gita irama.
Wijayakusuma, bersemi mekarlah.
Beri kami nyawa lagi.
Dwipa pertiwi nan tercinta.
Demikan petikan lirik lagu “Wijayakusuma” yang ditembanglaraskan oleh solis Ardhito Pramono dari atas panggung acara “Pesta Konser Wijayakusuma” yang berlangsung di Bengkel Space, Kawasan Pusat Bisnis Sudirman (SCBD), Jakarta Selatan, Kamis (14/7/2022) malam.
Para pengiringnya di atas panggung masih The Piranhas yang terdiri atas Iman Prasatria (gitaris), Yusuf Dharmawan (bassis), Erikson Jayanto (kibordis), Aryo Wicaksono (drummer), dan Gelar (perkusionis). Mereka beraksi di bagian sisi kiri panggung dari arah penonton.
Duduk berderetan di seberang The Piranhas adalah rombongan pemain biola, viola (biola alto), cello, flute, klarinet, trombon, terompet, dan France horn yang dikomandoi oleh Gusti Irwan Wibowo.
Lagu tadi sekaligus menjadi tajuk album terbaru Dhito, panggilan akrab sang penyanyi. Jika membaca keseluruhan bait lagu, ada beberapa kata arkais tersampir di dalamnya.
Sebagian besar penutur atau penulis Bahasa Indonesia era kiwari mungkin sudah jarang menggunakan atau mendengarnya lagi. Adakah yang familiar dengan kata dwipa yang dipungut dari Bahasa Sanskerta alih-alih pulau?
Ketika titi laras lagu yang sejak awal diperkaya iringan orkestrasi mengakhiri bagian chorus, muncul suara Peni Candra Rini melantunkan macapat diiringi gamelan sebagai pamungkas.
Demi melihat diskografi bermusiknya, kemunculan Dhito melalui album teranyarnya pasti memberikan efek kejut di kalangan penggemar. Tak terpikirkan sebelumnya bahwa petikan kata-kata arkais berbungkus padu padan musik orkestra dan gamelan berasal dari solis berusia 27 ini.
Sedikit mengenai Wijayakusuma. Aslinya berwujud tanaman yang termasuk keluarga kaktus. Biasa disebut juga Bunga Wiku (Epiphyllum oxypetalum). Asalnya dari Venezuela dan Kepulauan Karibia yang dibawa ke Indonesia oleh para pedagang asing berabad-abad silam.
Kembangnya hanya mekar setahun sekali. Biasanya merekah sempurna pada malam hari sekitar pukul 22.00 WIB. Ketika matahari terbit, bunganya layu dan mati. Oleh karena itu, bunga ini mendapat julukan the Queen of Night alias “sang ratu malam”.
Kocap kacarita, bunga ini dipercaya sebagai jelmaan pusaka di Kerajaan Dwaraka yang dipimpin oleh Prabu Kresna, inkarnasi Dewa Wisnu sang pelestari alam. Seorang calon raja, khususnya di kawasan Yogyakarta dan Surakarta, sebelum naik takhta harus memiliki bunga wijayakusuma sebagai perlambang kejayaan.
Mencoba mengembalikan kejayaan penggunaan Bahasa Indonesia dalam berkarya jadi salah satu motivasi Dhito melalui album Wijayakusuma. Pasalnya sejak kemunculan perdananya lewat single “The Sun” pada 2016, penyanyi berkacamata ini kemudian lebih akrab mencipta lirik lagu berbahasa Inggris.
“Gue melihat banyak sekali dampak kurang baik dari karya gue selama ini yang menggunakan bahasa Inggris. Misalnya, teman-teman musisi baru yang akhirnya ikut memilih menggunakan bahasa Inggris dalam karyanya. Gue tidak ingin bahasa kita lenyap digantikan oleh bahasa asing dalam sebuah karya,” katanya dalam jumpa pers yang berlangsung di Kafe Bartiserrie, SCBD, Jakarta Selatan (13/7).
Alhasil total delapan komposisi yang termaktub di Wijayakusuma ditulisnya menggunakan larik Bahasa Indonesia. Menjahit musik-musik dalam album ini menggunakan lirik berbahasa Indonesia diakuinya sebagai tantangan terberat.
“Sebelumnya kalau nulis pakai Bahasa Inggris mungkin lima menit bisa jadi satu lagu. Di Wijayakusuma, secara progresi kord, pemilihan diksi, referensi, itu sangat menantang untuk dikulik,” ungkap Dhito.
Musabab keterbatasan pengetahuannya terhadap aneka diksi dalam Bahasa Indonesia, pengidola Sam Saimun, penyanyi maestro Tanah Air yang masyhur dengan jenis suara baritonnya, meminta bantuan Narpati Awangga alias Oomleo.
Sosok Oomleo pula yang menyadarkannya untuk mengerjakan album dengan sentuhan Indonesia lebih kental. Kolaborasi mereka berdua merangkai lirik terserak di lagu “Berdikari”, “2 Jam”, “Asmara”, dan tentu saja “Wijayakusuma”.
Dari atas panggung konser, Dhito menceritakan awal penciptaan lagu “Wijayakusuma”. Semula ia ingin memberinya judul “Semalam di Pulau Dewata”. Inspirasi lagu tersebut memang berasal dari Pulau Bali.
Kala itu Dhito jadi saksi penggusuran sebuah kawasan asri di Canggu demi pembangunan kompleks vila. Namun, setelah melakukan konsultasi dan mengobrol semalam suntuk dengan Oomle, Dhito kemudian berubah pikiran. Jadilah “Wijayakusuma” seperti yang ada sekarang.
Persona lain yang ikut membantunya di departemen lirik adalah Gusti Irwan Wibowo. Sosok ini juga ikut sumbang suara dalam lagu “Kesan Pertama”. Pun ikut dalam jejeran produser bersama Erikson Jayanto dan Hezky Y.H. Nainggolan.
Album Wijayakusuma yang dirilis oleh Aksara Records seolah jadi penanda banyak hal dalam jejak karier bermusik Ardhito Pramono. Selain penggunaan lirik dan judul lagu yang menggunakan Bahasa Indonesia, aransemen musik yang mengiringinya juga sangat kental nuansa dekade 70-an dan 80-an.
Selama proses pengerjaannya, pemeran Kale dalam film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini mengaku sedang getol mendengarkan lagu-lagu Indonesia lawas. Salah satu yang membuatnya berdecak kagum adalah lagu “Melati Suci” karya Guruh Soekarnoputra yang dinyanyikan Tika Bisono.
Maka tak mengherankan jika pengaruh Guruh, juga Candra Darusman, Dian Pramana Putra, January Christy, hingga Yockie Suryo Prayogo kental terasa dalam Wijayakusuma. Coba simak “Mula” yang jadi nomor pembuka. Ada anasir komposisi “Musikku adalah Aku” dari album Musik Saya adalah Saya (1979) karya Yockie yang menyelinap di sana.
Dhito dengan album teranyarnya seolah ingin mengajak para pendengar mengunjungi periode kejayaan musik pop kreatif Indonesia. Remaja zaman sekarang banyak menyamakannya dengan subgenre city pop atau pop urban.
Hal ini diakuinya secara jujur. Bahkan kinerjanya kali ini lewat Wijayakusuma entah kapan lagi bisa terulang. “Kesempatannya mungkin cuma sekali dalam 30 tahun. Seperti kebetulan yang terjadi ketika orang sedang bermain jazz, kebetulan itu tidak akan terulang kembali,” ujarnya.
Subgenre city pop secara harafiah berarti musik pop perkotaan dengan pengaruh gaya hidup metropolitan. Awalnya muncul di Jepang untuk menyebut fenomena gaya musik baru yang terpapar pengaruh musik funk, disko, boogie, fusion jazz, dan elektronik dari barat. Tatsu Yamashita dan Casiopea jadi salah dua musisi yang kerap dianggap dedengkot city pop di Negeri Matahari Terbit.
Meskipun berasal dari era lampau, subgenre ini sanggup melintasi zaman dan menjadi favorit para penggemar musik muda usia. Beberapa tahun belakangan segala hal yang serba vintage, mulai dari fesyen hingga musik, seolah mendapat tempat kembali di kalangan anak muda.
Tak heran lagu-lagu dalam album Wijayakusuma mendapat tepuk sorak ramai dari superstar, sebutan untuk penggemar Dhito, saat dilantunkan di atas panggung. Dengan penuh kegembiraan mereka asyik menggoyangkan badan mengikuti irama musik sepanjang penyelenggaraan “Pesta Konser Wijayakusuma”. Beberapa lagu bahkan sudah ada yang menghapal liriknya.
Ikhtiar Dhito untuk sejenak meninggalkan zona nyaman tampak berjalan mulus. “Album ini berisikan keresahan, penyesalan, keindahan, dan hal-hal yang terjadi pada diri gue beberapa tahun belakangan.”