Menyambut kembali hadirnya Aksara Records. Label rekaman yang punya pengaruh besar di skena musik independen.

Koridor.co.id

Salah satu album bersejarah di skena musik independen, album kompilasi JKT:SKRG yang dirilis Aksara Records pada 2004.

Halo, apa kabar?

Lebih dari dua belas tahun lamanya kami tertidur, tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Dahulu menggenggam cakram padat, kini semua dalam genggaman nan cepat. Namun semangat kami terus menyala dalam hati kalian semua melalui karya-karya kami.

Ini adalah babak baru kami, meneruskan renjana kami yang sudah tersematkan lebih dari lima belas tahun lalu bersama dengan seluruh keluarga besar kami yang hingga hari ini apinya masih terus menyala. Untuk diam dan berhenti adalah sebuah pilihan yang mudah, namun semangat kami tak terbendung sudah.

Melalui surat ini, izinkan kami kembali menyematkan cinta kami akan seni merayakan masa lalu dan masa yang akan datang. Kian banyak rencana yang kami persiapkan. Perlahan semua akan kita rayakan.

Salam hangat kami,

Aksara Records.

Sepucuk surat yang telah lama dinantikan itu akhirnya tiba. Membacanya bikin hati serasa berlomba. Pertanda bahagia. Laiknya perasaan ketika mendapat surat cinta yang pertama dari kekasih idaman hati.

Mengikuti perkembangan zaman, datangnya “surat cinta” tadi bukan mampir melalui kotak surat di depan rumah atau hantaran pak pos. Akun Instagram @aksararecords yang mengunggahnya tertanggal 6 Juli 2022.  Tercatat postingan tadi menuai 1.878 penyuka dan 112 komentar.

Bagi para pelaku musik independen, Aksara Records punya arti teramat penting dalam tumbuh kembang skena musik arus pinggir, bukan hanya di Jakarta, tapi juga menyebar hingga ke berbagai daerah.

Kelahiran Aksara Records jelas tak bisa terlepaskan dari Toko Buku Aksara yang didirikan oleh Winfred Hutabarat bersama Arini Subianto pada 2001. Lokasinya berada di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Tempat ini bukan sekadar toko buku, di dalamnya ada kafe dan rak-rak berisi album-album musik dalam format compact disc.

Laiknya koleksi buku jualan mereka, album-album yang menghuni rak di Aksara juga berbeda dari yang dijajakan toko musik kebanyakan. Sebutlah misalnya Aquarius atau Disc Tarra, dua toko musik tersohor kala itu. Kebanyakan mereka menjual album dari band-band independen yang namanya masih asing. Terbanyak dari subgenre indie pop, electropop, indie rock, jazz, dan triphop.

Demi melihat gelombang pergerakan skena musik independen yang sudah berlangsung beberapa tahun sebelumnya makin deras, hadirlah Aksara Records pada 2004. Hanin Sidharta bersama David Tarigan jadi yang bertanggung jawab mengurusi divisi tersebut. Salah satu tujuannya mendokumentasikan perjalanan karier band-band indie di Jakarta yang saat itu sedang ranum melalui sebuah album.

Album perdana yang mereka rilis melalui label anyar ini berjudul JKT:SKRG (2004). Formatnya kompilasi yang menghadirkan 13 lagu dari 11 band indie ibu kota yang kala itu sedang ranum. Mereka adalah C’mon Lennon, The Brandals, The Upstairs, Sajama Cut, Sore, Teenage Death Star, Seringai, Zeke and the Popo, The Sastro, dan ruanghampa. Lagu “Aku Cinta J.A.K.A.R.T.A.” milik C’mon Lennon terpilih menjadi lagu jagoan dalam album tersebut. Rolling Stone Indonesia edisi Desember 2007 menobatkan album ini masuk dalam “150 Album Indonesia Terbaik”.

Hampir dua dekade berselang, beberapa alumni album ini masih eksis bahkan menancapkan pengaruh makin kuat dalam skena musik Indonesia. Pun mereka mengilhami kemunculan band-band lain di kemudian hari.

Kehadiran Aksara Records dengan JKT: SKRG seolah memberikan opsi baru bagi generasi muda di tengah gempuran musik arus utama yang terasa stagnan. Musik melayu, kala itu, sedang menjadi tren.

Beberapa band independen yang kemudian mengisi roster Aksara Records, antara lain White Shoes & The Couples Company, The Adams, The Brandals, Sore Band, Goodnight Electric, Stereomantic, Tika and the Dissidents, Vox, Ape On The Roof, hingga Efek Rumah Kaca. Label musik ini juga pernah merilis album soundtrack untuk film Janji Joni (2005), Berbagi Suami (2006) dan Quickie Express (2007).

Rombongan musisi yang tergabung dalam lis Aksara Records, juga label musik indie lain, hadir menawarkan alternatif kepada para penggemar, bukan hanya dari segi aransemen, tapi juga departemen lirik, hingga tampilan visual. Alhasil khazanah industri musik di Tanah Air makin beragam.

Saat band-band rilisan label besar, semisal Musica Studio’s, Aquarius Musikindo, atau Sony Music Indonesia, sudah ajek dengan andalannya masing-masing, kancah musik nonmainstream memunculkan kolektif musik beraneka warna.

Keadaan ideal tadi sayangnya tidak berlangsung dalam waktu lama. Memasuki penghujung 2009, Aksara Records mengumumkan pamit undur dari gelanggang. Album produksian terakhir mereka adalah Kamar Gelap milik Efek Rumah Kaca yang rilis Desember 2008.

Berbagai pemberitaan menyebut alasan di balik tutupnya Aksara Records lantaran kehabisan aliran dana. Kondisi industri rekaman saat itu memang sedang limbung seturut transisi dari musik fisik ke digital. Angka penjualan album rekaman fisik berada di titik nadir. Hampir tak ada lagi julukan sebagai band sejuta keping laiknya yang dulu tersematkan kepada Dewa 19, Sheila on 7, atau Peterpan.

Dus, keputusan Aksara Records tutup memang banyak yang menyayangkan, tapi pada sisi lain juga terasa bisa dimaklumi. Sepeninggal Aksara Records—yang beberapa tahun kemudian disusul tutupnya Aksara Bookstore—ombak skena musik independen terus bergulung.

Ada makin banyak lahir talenta-talenta baru. Label musik yang merilis atau mendistribusikan juga tetap masih bermunculan. Hingga kemudian terbitlah pengumuman berisi kembalinya Aksara Records dari hibernasi.

Salah satu album yang dirilis oleh Aksara Records pada masa comeback-nya ini adalah Wijayakusuma milik Ardhito Pramono. Dalam konferensi pers peluncuran album yang berlangsung di Kafe Bartiserrie, SCBD, Jakarta Selatan (13/7/2022), Hanin Sidharta mengaku bahwa skena musik indie sekarang makin seru dan keren.

Untuk fase awal setelah bangkit dari tidur panjang, lis Aksara Records belum sepanjang era kejayaannya dahulu. Tercatat ada tiga nama yang telah bergabung, selain Dhito, panggilan akrab Ardhito Pramono, ada Kurosukeb dan Bilal Indrajaya. Ketiganya penyanyi solo pria.

Pun demikian, Hanin menegaskan pihaknya tidak menutup pintu untuk terus menambah bakat-bakat lain dengan beragam jenis musik. Sebab tujuan mendirikan Aksara Records sejak awal untuk mendukung seniman dan musikus hebat di Indonesia.

“Yang kami lihat pada dasarnya adalah kualitas musik yang bagus. Secara karyanya dipikirkan dengan benar-benar matang, dan semangat bermusiknya yang kami lihat,” pungkas Hanin.

Artikel Terkait

Terkini