Menjelang konser Coldplay hati-hati kehilangan karakter diri karena FOMO

Koridor.co.id

Ilustrasi

Tidak henti-hentinya media sosial diramaikan dengan rencana gelaran konser Coldplay, beragam content creator membuat segala tema tentang Coldplay, bahkan tidak sedikit dari mereka menyinggung perihal Fear of Missing Out (FOMO), atau rasa takut merasa “tertinggal”. 

Hal itu juga bercermin pada konser Blackpink beberapa waktu lalu, tidak sedikit orang mengikuti konser tersebut meski bukan dari orang yang menggemari secara genre. Lalu bagaimana menurut psikolog? 

Mental Health Counselor, Oriza Sativa menyampaikan bahwa manusia secara umum memiliki sifat yang disebut konformitas alias ikut-ikutan, ditambah dengan sikap eksistensi diri yang melekat pada ego manusia.  

Namun dalam menyikapi fenomena riuhnya gelaran konser Coldplay pada 15 November 2023, Oriza memandang bahwa ada dua hal berbeda antara FOMO dengan yang hanya sekedar ingin terlibat dalam kegiatan menonton konser. 

“Ya kalau FOMO yang dimaksud dalam konteks kedokteran jiwa, itu lebih kepada sesuatu masalah psikologis, jadi artinya ada suatu prilaku yang cenderung untuk tidak bisa kita kendalikan. Fomo yang tidak bisa kita kendalikan itulah FOMO,” ujar Oriza berbincang dengan Good Radio Jakarta, 94,3 FM dalam program It’s a Wonderful Day, dikutip Koridor, Minggu, 14 Mei 2023. 

FOMO lebih kepada sisi yang tidak bisa dikendalikan, dalam arti seseorang yang berperilaku memilih sesuatu secara berlebihan bahkan tidak masuk akal. Lebih parahnya, bisa menciptakan kecemasan “anxiety” jika tidak FOMOnya tidak terpenuhi. 

“Bahkan cinta yang berlebihan pun gak bagus, cinta yang berlebihan juga bisa menjurus pada fanatik berat, termasuk ke Coldplay, sampai bolos kerja ada kali, jadi ya memang yang berlebihan itu tidak baik,” tuturnya. 

Kondisi itu juga menunjukkan seseorang terkesan tidak memiliki karakter, alias lebih mengedepankan ego ketimbang benar-benar menikmati dan memaknai sesuatu yang dipilih. Hal itu juga menandakan diri yang gampang terbawa arus alias tidak punya karakter kuat. 

“Apalagi kalau orang itu punya kecemasan dengan support system yang tidak baik dan tidak punya dasar percaya diri yang baik. dia juga tidak punya karya yang signifikan jadi dia mudah terombang ambing,” tuturnya. 

Oriza pun menekankan, mereka yang tidak FOMO umumnya memiliki karakter kuat yang ditandai dengan kebanggaan dengan karyanya yang dibuat sendiri. Selagi masih muda, memiliki karya akan meningkatkan karakter dan harga diri sehingga tidak akan mudah ikut-ikutan. 

“Misalnya ikut konser Blackpink, ikut meski tidak sesuai genre, saya juga lihat banyak yang ikut-ikutan itu memang karakternya gak kuat, maaf, jadi gampang ikut sana sini. Tapi ada juga yang suka genrenya jazz ya  mereka nontonnya jazz,” tutur dia. 

Lanjut dia, kita sebagai diri perlu merekonstruksi atau memperbaiki kognitif, merefleksi, apakah perlu atau tidak mengikuti sesuatu yang sedang trend meski dalam hati kecil tidak terlalu tertarik. 

Selain disebabkan oleh konformitas, kondisi FOMO juga didorong toksik dalam hubungan sosial. Ketika ada yang tidak mengikuti sesuatu yang trend, akan dianggap ketinggalan. Karenanya perlu memilih teman sosial yang baik. 

“Makanya di agama juga ada, bertemanlah dengan orang-orang baik. Maka kita baik, kalau kita berteman dengan orang yang toksik, orang-orang yang FOMO ya kita juga akan ikut-ikutan. Kalau teman yang baik ‘ah ngapain nonton Blackpink, emang lo suka? ikut-ikan sok nge-Blackpink, lo kan anak punkrock,’ nah malah malu,” sambung dia. 

Artikel Terkait

Terkini