Menghadirkan wajah baru Lokananta yang lebih modern. Fungsi aslinya sebagai studio musik tetap dipertahankan

Koridor.co.id

Kelompok musik rock legendaris Godbless berpose di depan Lokananta (Sumber: Akun Instagram @lokananta_musik)

Revitalisasi bangunan-bangunan lawas yang menyimpan banyak sejarah perjalanan bangsa terus berlangsung. Setelah Gedung Sarinah yang notabene pusat perbelanjaan pertama di Indonesia dan Taman Ismail Marzuki sebagai pusat kesenian, budaya, dan edukasi, kini giliran Lonananta. Perusahaan rekaman pertama sekaligus satu-satunya milik negara.

Ada dua bangunan di kompleks yang lahannya seluas sekitar 2,1 hektare ini. Bangunan utama berbentuk persegi dengan gaya art deco. Setelah masuk dari pintu utama dan melewati ruang sekretariat, terdapat air mancur di tengah bangunan yang beralaskan rumput hijau nan asri.

Bagian sisi kiri terdapat ruang tamu dan suvenir, museum, perpustakaan musik, ruang gamelan, dan ruang humas. Sisi sebelah kanan berurutan kita akan melewati ruang master rekaman, ruang produksi, ruang kaset dan CD, dan ruang instalasi listrik. Sementara bagian belakang terdapat ruangan piringan hitam untuk umum.

Bangunan satunya lagi adalah studio rekaman dengan ukuran 10×22 meter yang setara Abbey Road Studios di London, Inggris. Biaya sewa satu shift (enam jam) sebesar Rp1,5 juta. Letak studio ini tak jauh di sebelah kiri bangunan utama. Bentuk bangunannya persegi panjang yang dinding dan atapnya berlapiskan kayu jati untuk membentuk pantulan akustik suara. Awal Juni 2022, studio ini sempat meniadakan segala aktivitas rekaman musabab bagian atas ruangan mengalami kerusakan.

Pertemuan untuk memaparkan detail proyek revitalisasi sudah berlangsung di Lokananta, Solo (14/7/2022). Hadir dalam pertemuan itu, antara lain Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, Direktur Utama PT Danareksa (Persero) Arisudono Soerono, Asisten Deputi Bidang Jasa Telekomunikasi dan Media YB Priyatmo Hadi, Direktur Utama Perusahaan Pengelola Aset (Persero) Yadi Jay Ruchandi, serta Direktur Investasi 1 dan Restrukturisasi PPA Rizwan Rizal Abidin.

Revitalisasi yang mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial ini dimaksudkan untuk lebih memunculkan potensi Lokananta. Untuk itu akan dilakukan perombakan untuk membuatnya jadi lebih menjadi modern, tanpa mengubah fungsi aslinya sebagai studio musik yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Penetapan Lokananta sebagai kawasan cagar budaya tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Dinas Tata Ruang Kota Surakarta Nomor 646/40/1/2014.

Wajah Lokananta baru nanti akan hadir dengan sejumlah pengembangan, di antaranya studio musik, amfiteater alias tempat pertunjukan, museum dan arsip, merchandise, galeri UMKM, serta pusat kuliner.

“Fungsinya ditambah terus. Harapannya ini menjadi destinasi wisata yang baru. Mudah-mudahan keren,” ujar Ganjar Pranowo seperti dilansir dalam laman jatengprov.go.id. Sementara Gibran Rakabuming mendorong agar proyek revitalisasi bisa kelar sesuai tenggat. “Karena akan menjadi bagus sekali untuk Solo ke depan,” kata Gibran.

Pengerjaan proyek revitalisasi terbagi dalam dua tahap. Untuk tahap pertama mulai berjalan awal Agustus 2022 dengan target rampung akhir tahun sehingga bisa dilakukan prapembukaan alias soft opening. Pengerjaan sisanya diharapkan selesai Februari 2023.

Proyek pengembangan dan revitalisasi Lokananta Solo dipimpin dan didanai Group Danareksa-Perusahaan Pengelola Aset (PPA), rancang bangun dikerjakan oleh PP Urban dan Andra Matin Architects. Biro arsitektur yang dituliskan terakhir juga berada di balik wajah baru Taman Ismail Marzuki.

Arsitek dari biro arsitektur Andra Matin, Akhyar Maulidan, mengatakan konsep penataan Lokananta baru nantinya akan mengadopsi Coachella Valley Music and Arts Festival dengan tetap menonjolkan kearifan lokal.

Coachella yang dijadikan rujukan merupakan festival seni dan hiburan terbesar di dunia yang berlangsung saban tahun di Gurun Colorado, Amerika Serikat. Acaranya bukan hanya berisikan panggung musik, tapi juga instalasi seni dan pahatan.

Oleh karena itu, memanfaatkan banyak lahan kosong yang tersedia di kompleks Lokananta, nantinya akan dibuat beberapa gedung teater terbuka, tertutup, dan semi terbuka.

Studio rekaman di Lokananta yang dilengkapi speaker JBL D44000 Paragon nan langka. Salah satu yang terbaik di negeri ini. (Foto: Alifarkat/CC BY-SA 4.0/Wikimedia)

Lokananta adalah label rekaman pertama dan satu-satunya milik negara. Berdiri pada 29 Oktober 1956 dengan nama Pabrik Piringan Hitam Lokananta Jawatan Radio Kementerian Penerangan RI. Awalnya sempat diusulkan diberi nama Indra Vox (singkatan dari Indonesia Raya Vox). Usulan itu ditolak oleh Presiden Soekarno. Terlalu kebarat-baratan. Fungsi utamanya kala itu untuk menggandakan bahan siaran Radio Republik Indonesia ke seluruh cabang radio pelat merah itu.

Pada tahun 1961, status perusahaan diubah menjadi perusahaan negara dengan nama PN Lokananta. Bidang usahanya dikembangkan menjadi label rekaman, dengan spesialisasi pada lagu daerah dan pertunjukan kesenian, serta penerbitan buku dan majalah.

Saat tren penjualan piringan hitam mulai surut seiring kehadiran pita kaset sebagai medium baru yang lebih murah, produksi audio di Lokananta pada dekade 70-an berganti dari piringan hitam ke kaset pita.

Memasuki dasawarsa 80-an, Lokananta mulai mengalami fase keterpurukan. Penyebabnya lantaran pembajakan kaset yang kian merajalela. Setiap bulan ada ratusan kasus pembajakan diterima Lokananta. Kondisi tersebut coba mereka siasati dengan membuka usaha penggandaan film dalam format Betamax dan VHS.

Seturut pembubaran Departemen Penerangan pada 1999, Lokananta mengalami kekosongan selama tiga tahun. Perusahaan ini bahkan sempat dinyatakan bangkrut karena terus merugi. PNRI kemudian mengambil alih perusahaan ini untuk dijadikan kantor cabang di Solo dengan nama Perum Percetakan Negara RI Cabang Surakarta -Lokananta. Unit bisnisnya meliputi perekaman musik, duplikasi audio (kaset dan compact disc), penyiaran, percetakan, dan penerbitan.

Lantaran aliran subsidi dari PNRI Pusat tersumbat, berbagai cara dilakukan pengelola Lokananta demi bisa bertahan untuk menghidupi seluruh staf dan membiayai perawatan banyaknya koleksi yang tersimpan.

Ada beberapa gerakan coba dilakukan untuk membantu kondisi keuangan Lokananta. Pada 2012, beberapa anak muda yang terhubung melalui jejaring pertemanan memanfaatkan media sosial Twitter membentuk Sahabat Lokananta. Mereka mengadakan berbagai acara dan menjual merchandise yang hasilnya disumbangkan untuk Lokananta.

Berselang setahun, Galeri Malang Bernyanyi (GMB) menyumbangkan 1000 sampul piringan hitam demi menjaga kondisi koleksi piringan hitam di Lokananta. Pasalnya piringan hitam tanpa sampul akan sangat rawan rusak dan tentu saja berimbas pada penurunan kualitas audio yang dihasilkan.

Awal 2016, hadir Lokananta Project.Hasilnya adalah buku Lokananta yang menggambarkan usaha tempat ini bertahan dan meramu ulang posisi serta strategi bisnis agar kembali berjalan dengan produktif. Kemudian mereka meluncurkan situsweb lokanantamusik.com sebagai platform untuk memajang berbagai arsip Lokananta yang telah melalui proses digitalisasi. Sayangnya ketika diakses situsweb itu sudah berganti jadi tempat berjualan mobil.

Banyak grup band yang juga melakukan proses rekaman di tempat ini, di antaranya Pandai Besi, Shaggydog, White Shoes and the Couples Company, Glenn Fredly and the Bakucakar, dan Slank. Beragam acara juga berlangsung di sini, mulai dari penyelenggaraan Solo Record Store Day hingga acara showcase musisi. Harga sewa tempat Rp5 juta untuk satu hari kegiatan.

Aliran pemasukan juga datang dari produksi duplikasi kaset dan CD. Asalnya dari musisi dan band yang masih merilis album kemasan fisik. Orang-orang, terutama warga luar Solo, juga kerap menyambangi museum Lokananta. Harga tiket masuknya dibanderol Rp20 ribu, sudah termasuk biaya untuk mendapatkan pemandu, tote bag, stiker, dan kartu pos.

Merujuk data PNRI, konten audio yang dimiliki Lokananta tidak kurang dari 5.000 master pita reel dan 30.000 keping piringan hitam. Belum lagi peninggalan lain berupa alat-alat audio rekaman yang jadi saksi bisu perjalanan tempat ini.

Pustaka musik yang tersimpan merentang mulai dari lagu-lagu daerah dari seluruh Indonesia, album-album piringan hitam Sam Saimun, Gesang Martohartono, Bing Slamet, Buby Chen, Titiek Puspa, Waldjinah, pidato-pidato Presiden Soekarno, master rekaman proklamasi kemerdekaan, hingga rekaman resmi pertama lagu “Indonesia Raya” versi tiga stanza.

Semua itu penanda betapa eksistensi Lokananta teramat penting. Revitalisasi diharapkan bukan cuma meremajakan fisik gedung yang sudah mulai lapuk termakan zaman, tapi juga menegakkan lagi muruah Lokananta sebagai salah satu unsur penting dalam ekosistem musik Indonesia.

Artikel Terkait

Terkini