Lukisan Besar, Keindahan Seni, dan Kepekaan Karya Hardi (1)

Koridor.co.id

Oleh Wina Armada Sukardi, kolektor lukisan Hardi

Potret diri Suhardi alias Hardi bin R Adimaryono. Foto: Ist

Hari ini (Rabu, 3/1/2024) tepat tujuh hari pelukis dan budayawan Hardi wafat. Berikut bagian pertama dari lima tulisan serial In Memorium Tujuh Hari Wafatnya Pelukis Hardi karya wartawan senior Wina Armada Sukardi. Selamat menyimak.

Jakarta, Koridor.co.id – Langit di atas Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Kamis (28/12/2023) mendung. Jenazah pelukis tenar Hardi memasuki tempat peristirahatan terakhirnya. Di atas gundukan tanah makamnya, bertaburan bunga bernuansa merah dan putih.

Beberapa sahabat lama Hardi berdiri di belakang papan yang tertancap di makam.

Berakhirlah sudah episode kisah seorang pelukis andal, terampil, berani, yang enjoy life, penuh semangat, dan memiliki visi luar biasa, tetapi sekaligus baik hati. Indonesia, khususnya jagat seni rupa, kehilangan salah satu putra terbaik di bidangnya. R Suhardi alias Hardi pada pukul 10 hari itu meninggalkan kita selamanya. Dari Pencipta kembali kepada Pencipta. Innailahiwainailahiojiun.

Kolektor Terbesar Vs Terbanyak

Kolektor karya lukis Hardi terbanyak sudah pastilah pengusaha AZ Halim. Halim mengoleksi sekira 110  karya Hardi, jauh di atas koleksi saya yang cuma 19 unit.

Kendati begitu, jika kita bicara kolektor lukisan Hardi yang ukurannya besar-besar, tanpa dapat mengelak, jari telunjuk tangan pastilah mengarah ke saya. Beberapa karyanya yang berukuran 3m X 2,5m ada pada saya.

Contohnya, lukisan Kab’ah. Dia telah menghasilkan sekira 60 lukisan bangunan suci umat Islam itu. Ukurannya macam-macam. Namun, rata-rata tidak terlalu besar. Nah, yang terbesar ada pada saya dan hanya ada pada saya yang sebesar itu.

Lukisan tersebut sudah tiga tahun ini saya pajang di ruang tamu rumah saya. Sebelumnya sempat saya simpan “di gudang.”

Saya juga punya lukisan tentang reformasi karya Hardi dalam ukuran sangat besar. Hardi hanya membuat dua lukisan reformasi ukuran besar dan yang terbesar ada pada saya.

“Saya senang karya-karya ukuran besar saya ada di tangan orang yang tepat!” kata Hardi suatu ketika, saat saya ingatkan sayalah yang memiliki karya-karya dirinya dalam ukuran yang besar.

Protes Sosial dan Foto Diri

Karya-karya Hardi, baik yang bernuansa sosial maupun naturalis “indah” dan sejak lama sudah menarik perhatian dan hati saya. Pada periode awal, batinnya bergolak melihat ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang terjadi.

Hal ini mendorongnya melahirkan lukisan-lukisan bertema “protes” sosial. Ada tukang koran yang ditangkap satuan polisi pamong praja. Juga ada pengemis terlantar kurus kering. Lalu, ada pula gelandangan tidur beratapkan langit, dan sebagainya.

Tentu saja, yang paling terkenal foto diri Hardi dengan label presiden. Itulah kemuakan dia kepada sistem diktator saat itu. Memang ada Pemilu. Namun, Pemilu cuma kosmetik demokrasi.

Sebelum Pemilu mulai, sudah ketahuan siapa pemenang dan siapa pula yang bakal jadi presidennya. Dia berontak terhadap sistem itu. Lahirlah karya lukis potret dirinya sebagai presiden.

Masuk Bui Keluar Lagi

Lukisan itu mengusik rezim yang waktu itu berkuasa. Mereka memandangnya sebagai penghinaan terhadap penguasa. Para begundal zaman itu bahkan menganalisis karya seni tersebut sudah masuk klasifikasi makar. Tidak ada langkah lain, Hardi harus masuk bui. Masuk builah dia.

Hardi beruntung, Adam Malik yang sedang ingin mencitrakan Indonesia menghargai hak asasi  manusia (HAM), meminta pihak keamanan waktu itu melepaskannya. Selamatlah Hardi dari nasib tragis seperti para pelukis yang masuk penjara bertahun-tahun tanpa proses peradilan.

Lukisan WC di Gedung DPR

Suatu waktu, hujatan menghujani DPR lantaran anggotanya banyak yang korup dan masyarakat menilai lembaga wakil rakyat itu malah tidak membawa aspirasi publik. Apalagi, para istri wakil rakyat itu pamer kemewahan di luar negeri.

Hardi pun mengajak sesama pelukis datang ke DPR untuk melukis bersama di gedung perwakilan rakyat itu. Lukisannya berobjek WC dan sejenis yang melambangkan kenistaan DPR. Pesannya kira-kira adalah DPR bagaikan WC tempat semua orang membuang kotoran. Padahal waktu itu dia sudah melukis naturalis juga. Kepekaan sosialnya tak pernah sirna dalam situasi apapun juga.

Almarhum membuktikan melukis sosial bukanlah untuk mengalihkan diri dari ketidakmampuan melukis “Indah.” Melukis beraroma sosial memang panggilan hatinya.

Lukisan Yang Memikat Kolektor

Hardi juga membuktikan dalam lukisan naturalisnya dia juga mampu pula menghadirkan objek-objek “human interest” dengan warna-warna ngejreng dalam komposisi yang serasi dan “indah.“ Karya-karyanya jadi terlihat mencolok dan membetot hati yang melihatnya.

Dalam melukis, hebatnya Hardi sudah mampu “membaca” hasrat kolektor lukisan Indonesia seperti apa. Tanpa mengurangi kualitasnya, dia menjawab “keinginan” para konsumen lukisan Indonesia.

Maka tak  heran jika dari awal, setiap kali dia ikut dalam pameran bersama, selalu ada saja karya Hardi yang terjual. Di luar pameran, karyanya juga terus dibeli orang sampai akhir hayatnya. (BERSAMBUNG …)

BACA JUGA:

Kolektor Sekaligus Pembuka Pasar Lukisan Hardi (2)

Wanita Cantik dan Pesohor sebagai Model Lukisan (3)

Ibu: Pelukis Hardi Bakal Hidup Enak (4)

Pelukis Hardi Akhirnya Bersimpuh Juga di Hadapan Yang Maha Kuasa (5)

Artikel Terkait

Terkini