“Dalam keistimewaan menghadapi Hari Raya terasa benar kehendak nafsu berhajat kepada bermacam-macam keperluan. Orang-orang kaya tidak cukup berbelanja dengan uang ratusan rupiah saja, pakaiannya, perhiasan rumah tangga serba luks dan kuenya bermacam-macam rupa untuk berhari raya.”
Demikian antara lain kritik aktivis sekaligus politisi Masyumi Kota Bandung era 1950-an Bernama Hadidja Salim dalam tulisannya bertajuk “Wanita dan Lebaran” yang dimuat dalam Pikiran Rakjat 3 Mei 1957.
Tulisan itu mengkritik sifat konsumtif menjelang dan pada Hari Raya yang sebetulnya bertentangan dengan tujuan Puasa mengekang hawa nafsu.
Hadijah Salim mengkritisi perempuan terutama menjalankan perilaku konsumtif itu, kalau persekot (THR) masa itu yang diberikan suaminya habis untuk kebutuhan itu, maka dia akan meminta tambah lagi pada suaminya. Akhirnya bisa membuat suami bingung dan mendorong kepada tindakan korupsi.
Dalam tulisan itu diungkapkan bagaimana lebaran pada era 1950-an ketika Indonesia baru merdeka dari penjajahan Belanda. Kemeriahan lebaran tidak lagi hanya milik kaum menak dan priyayi tetapi juga kelas sosial yang berada di bawahnya setidaknya para pegawai negeri dan swasta bahkan kelas sosial di bawahnya.
Untuk pertama kalinya para pekerja mengenal apa yang disebut tunjangan hari raya. Untuk pertama kalinya lebaran menjadi konsumtif dalam skala yang luas.
Pikiran Rakjat 21 Juni 1952 memberitakan panitia penyelesaian masalah perburuhan di Jawa Barat meminta pengusaha memberikan hadiah lebaran bagi buruh industri logam yang bekerja 3 bulan hingga 31 Mei 1952 sebesar 6 hari upah.
Sementara untuk karyawan hotel dan restoran yang bekerja tiga bulan ke atas mendapatkan hadiah lebaran 1/12 dari penghasilan setahun upah pokok ditambah tunjangan kemahalan dan tunjangan beras antara Rp300 hingga Rp500. Semua upah dibayarkan paling lambat 21 Juni 1952.
Menurut Majalah Merdeka 24 Mei 1952 pada Mei 1952 pemerintah menaikkan gaji pegawai negeri hingga 20 persen. Kenaikan ini selain tekanan politis setelah aksi hari buruh 1 Mei 1951 untuk membantu pegawai negeri memenuhi kebutuhan menghadapi puasa dan lebaran.
Langkah ini tidak terlalu taktis karena harga bahan pokok tetap saja naik. Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GBSI) dalam sidangnya di Jakarta mendesak pemerintah agar pegawai dan buruh diberikan hadiah lebaran
Pikiran Rakjat dalam sejumlah edisinya antara 1 hingga 23 Juni 1952 memuat iklan toko-toko di Kota Bandung memberikan korting antara 10-20% antara 10-25 Juni 1952.
Di antaranya, Toko Canada di Jalan Braga yang menjual barang mewah seperti arloji. Kemudian Toko Olympia yang menjual produk serupa memberikan korting antara 5-15% untuk aneka jenis barang dan arloji sebesar 10%.
Toko Hassaram di Pasar Baru menawarkan kain untuk dibuat pakaian seperti Jersey lebar 120 cm dengan harga Rp12 per meter, Silver Lame lebar 90 cm dengan harga Rp35 permeter untuk perempuan.
Sementara untuk laki-laki ditawarkan kain Cowboy untuk kemeja Rp15 per meter hingga yang termahal Fancy Wool dengan lebar 140 cm (impor dariInggris) dengan harga Rp37,50 per meter.
Toko Bombay juga di Pasar Baru menawarkan Satin Polos semeternya Rp6,35, Silver lame dengan lebar 50 cm dijual dengan harga Rp40 per meter. Untuk kain Mixwool dijual semeternya dengan harga Rp30.
Tidak seragamnya kapan persisnya 1 Syawal juga terjadi pada era 1952. Pejabat-pejabat pemerintah umumnya merayakan lebaran, Senin 23 Juni dan sebagian umat Islam lain 24 Juni. Di Kota Bandung, mereka yang merayakan pada 23 Jun melakukan Salat Id di Lapangan Tegallega pada jam 7.30 dengan katib Isa Anshary dan Imam K.H.A.Hidajat.
Pada perayaan Idul Fitri, 23 Juni 1952 di Lapangan Tegalega dihadiri 100 ribu orang lebih, hadir Gubernur Jawa Barat, Residen Priangan, Wali Kota Bandung, Bupati Bandung
Sementara yang merayakan 24 Juni melakukan Shalat Id di Mesjid Agung Bandung dengan Bandung Katib Habib Usman dan imam K.H. M.Dahlan.
Dalam khotbahnya, Isa Ashari mengatakan masih ada masyarakat yag merayakan lebaran dalam ketakutan dan ketidakpastian, yang kehilangan rumah, karena dibakar habis oleh gerombolan yang tidak bertanggungjawab. Pada waktu itu Jawa Barat masih dilanda Pemberontakan DI/TII.
Isa mengatakan pada waktu masih banyak orang meninggalkan kampung halaman mengungsi ke tempat lain mencari keamanan jiwa. Mereka tak kuat hidup dari suasana ancaman dan bencana. Bagi mereka Idul Fitri mereka rayakan tidak menggunakan pakaian baru, tidak dengan makanan lezat.
“Mereka merayakan lebaran tidak dengan hati gembira dan suka cita., akan tetapi mereka rayakan hari besar dengan air mata meleleh, perasaan luka dan duka,” ujar Isa seperti dilansir Pikiran Rakjat 25 Juni 1952 (Irvan Sjafari).