Kota Malang didesain Pemerintah Kolonial untuk kepentingan orang Eropa

Koridor.co.id

Sebuah sudut alun-alun Malang masa Kolonial-Foto: http://www.photomalang.com/2019/06/potret-lawas-malang-tempo-dulu-2.html

Sejak awal Malang merupakan kota yang egaliter dan plural. Sejarah awalnya bermula dari Surapati, musuh besar Kompeni memerintah “wilayah merdeka” di kawasan Pasuruan sejak 1686 hingga 1706 sebagai adipati atau bupati tanpa raja. 

Surapati membawa pasukan berbagai suku: Bali, Melayu, Makassar, Banten dan Jawa yang mempunyai permusuhan dengan kompeni (orang kulit putih) dan Mataram untuk tinggal bersama-sama. Wilayah egaliter itu kemudian diserbu pada 1706 oleh pasukan VOC dan Mataram mengakibatkan gugurnya Surapati di Bangil dan Pasuruan baru takluk pada 1708. 

Para keturunan Surapati ini kemudian mengundurkan diri ke daerah merdeka lainnya yang bernama Malang (melintas). Para keturunan menampung para pemberontak VOC maupun Mataram. Baru pada 1767 daerah merdeka bisa ditaklukkan.

VOC mendirikan benteng yang kemudian menjadi rumah sakit militer dan kini lokasinya juga sebuah rumah sakit di daerah Celaket (sekarang Jaksa Agung Suprapto). Desa yang pertama waktu pendudukan VOC di sekitar benteng disebut Klojen diambil dari nama Loji.

Sedangkan pemukiman asli atau penduduk Malang antara lain sebelum VOC ada di Kampung Temenggungan, seberang sungai Brantas daerah Djodipan Timur dan Kottalama serta Kutobedah.

Meskipun masih merupakan kota kecil pada abad ke 19, kota ini menjadi strategis mengingat Keresidenan Pasuruan masa itu menjadi wilayah penting perkebunan tebu. Apalagi sejak Undang-Undang Gula di tahun 1870 yang mendorong pengembangan masuknya modal swasta asing ke Hindia, menjadikan Malang kota pusat perkebunan, juga cocok untuk kopi.

Pada 1905 penduduk Eropa di Malang mencapai 1400 orang. Pada 1914 ketika Malang dinyatakan sebagai kota praja jumlah penduduk Eropa meningkat hampir dua kali lipat menjadi sekitar 2,500 jiwa. Pada 1930 jumlah penduduk Eropa menjadi 7.661 jiwa. Penduduk Eropa termasuk anggota garnisun militer Hindia Belanda untuk Jawa Timur dipusatkan di kawasan Rampal, Kota Malang (Tabel 1)

Penambahan jumlah populasi orang Eropa ini didorong oleh perkembangan perkebunan tebu di wilayah Pasuruan dan Malang berada di tengahnya. Apalagi sejak Undang-Undang Gula di tahun 1870 yang mendorong pengembangan masuknya modal swasta asing ke Hindia. Pembukaan akses jalan kereta api Surabaya-Malang pada 1879 mempermudah mobilitas untuk wisata bagi orang Eropa, di Surabaya.

Berada di ketinggian 450 meter di atas laut, di antara Gunung Arjuno, Semeru dan Kawi serta dibelah oleh sungai Brantas membuat kota ini menawarkan panorama indah dan hawa sejuk. Buku 60 tahun Kota praja Malang menyebutkan bahwa rumah dan alun-alun kemungkinan besar dibangun pada 1882.

Jaringan jalan raya yang menghubungkan Malang dengan lokasi perkebunan dan kota Surabaya dan Pasuruan juga membuat kota ini berkembang. Namun muaranya hanya satu: Kota ini sebetulnya diperuntukkan untuk kepentingan perekonomian kolonial

Menurut Gemeenteblad van Malang No 1 1398/6 No. 61 25 April 1927dari sudut penganut agama, sekitar 40.000 penduduk menganut Islam. Mereka yang menganut Islam termasuk minoritas peranakan Arab yang hanya berjumlah 380 jiwa.

Penganut agama Tionghoa sekitar 5 ribu orang berada di urutan kedua, serta Katolik dan Protestan masing-masing 3 ribu orang. Penganut Protestan dan Katolik bukan hanya orang Eropa tetapi juga militer Hindia Belanda dari suku Manado dan Ambon, Tionghoa dan Jawa.

Sejak 1 April 1914 Kota Malang resmi menjadi kota praja dengan Wali Kota Pertama H.I Bussemaker 1919-1929, dilanjutkan oleh E.A. Voornemen 1929-1933, H.Lakeman 1933-1938 dan Boelstra 1938-1942. Wali kota dibantu oleh beberapa orang anggota Dewan Kota praja berdasarkan golongan penduduk. Patut dicatat sekalipun orang Eropa jauh lebih sedikit, tetapi perwakilannya lebih banyak (Lihat Tabel II). Pada 1914 luas kota Malang disebutkan mencapai 1.503 hektare.

Pada 1926 didirikan Balai Kota Malang di dekat lapangan yang disebut JP Coen yang kemudian masa kemerdekaan disebut Alun-alun Bundar. Balai Kota ini hingga saat ini menjadi Kantor Wali Kota Malang.

Perencana Kota Malang kolonial utama Thomas Karsten. Arsitek ini dilahirkan di Amsterdam pada 1884. Ayahnya seorang guru besar filsafat yang banyak mendapat pengaruh gagasan revolusi Prancis dan Hegel pada Universitas Amsterdam.

Karsten belajar di TH Delft 1904-1909 dan banyak mendapat pengaruh Sosialisme-Demokrat. Karsten meletakkan dasar perencanaan dan perancangan modern dari kota-kota seperti Bogor, Malang, Semarang dan Palembang.

Perencanaan Karsten dalam mengembangkan pemukiman urban di Jawa adalah peningkatan kualitas kampung. Hal ini ditempuh dengan cara mengelilingi kampung dengan pemukiman formal yang menjadi pagar luarnya. Di belakang permukiman formal ini hidup pemukiman informal dengan struktur yang tumbuh organis.

Menurut buku yang ditulis oleh staf pengajar ITB A. Bagoes Wiryomartomo, Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia Thomas merancang kota agar tercipta suatu heterogenitas dan kerja sama antar penduduk yang berbeda status sosial.

Dengan dikelilingi kampung-kota oleh struktur pemukiman formal, maka infrastruktur kota dimungkinkan tercapai oleh masyarakat informal. Penduduk kampung-kota memiliki potensi sebagai pemasok tenaga kerja; pembantu, sopir dan pelayanan komersial bagi penduduk yang tinggal dalam struktur pemukiman formal.

Perencanaan Karsten dalam mengembangkan pemukiman urban di Jawa adalah peningkatan kualitas kampung. Hal ini ditempuh dengan cara mengelilingi kampung dengan pemukiman formal yang menjadi pagar luarnya. Di belakang pemukiman formal ini hidup pemukiman informal dengan struktur yang tumbuh organis.

Konsep dasar ini memungkinkan terciptanya suatu heterogenitas dan kerja sama antar penduduk yang berbeda status sosial. Dengan dikelilingi kampung-kota oleh struktur permukiman formal, infrastruktur kota dimungkinkan tercapai oleh masyarakat informal. Penduduk kampung-kota memiliki potensi sebagai pemasok tenaga kerja; pembantu, sopir dan pelayanan komersial bagi penduduk yang tinggal dalam struktur pemukiman formal.

Sepanjang Jalan Celaket pada 1914 terdapat banyak bangunan dan rumah milik orang Eropa dengan halaman yang luas. Orang-orang Eropa tinggal di sekitar Alun-alun (di sana ada rumah dinas residen), termasuk juga di Talun, Tongan, Sawahan, Kayutangan, Oro-oro dowo, Kloedjenlor dan Rampal. Pada 18 Mei 1917 mulai dibangun kawasan untuk orang Eropa di daerah yang kini Jalan Arjuno, Ijen, Wiheliminastraat.

Kawasan Pecinan terletak di tenggara alun-alun dan pribumi di kampung-kampung seperti Kebalen, Temenggungan, Jodipan, sebagian di Taloon dan Klodjenlor. Di sana terdapat pasar Pecinan yang menjadi ikon kota ini.

Potret Kota Malang pada zaman dahulu (Foto: Photo Malang)

Kota praja Malang pada 1914 sudah mempunyai perusahaan air minum sendiri, diikuti pendirian bank tanah pada 1918. Sarana olahraga mulai dibangun pada 1920-an seperti lapangan sepak bola, lapangan tenis, serta kolam renang untuk orang Eropa terdapat di Jalan Semeru dan Kawi. Pada 1931 disebutkan kolam renang memberikan pemasukan sebesar F 28.222 (Arsip Kota praja No Az 46/4 No 41 13 Februari 1932).

Jumlah sekolah pemerintah dan partikelir 42 buah, tiga buah sekolah taman kanak-kanak, serta sebuah sekolah Montesori untuk anak-anak Eropa. Terdapat juga sembilan sekolah untuk anak-anak pribumi, sebuah sekolah untuk anak perempuan pribumi, sekolah Tionghoa berbahasa melayu, sebuah sekolah untuk anak-anak Ambon, sekolah Netral (Neutrale Lagere School), dua sekolah Kristen, Sekolah Ursuline, serta sekolah untuk pastur dan suster, sekolah untuk anak-anak Tionghoa.

Pada 1927 Malang baru mempunyai sebuah sekolah HBS dan AMS. Selain itu terdapat sekolah-sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah dan Taman Siswa. Muhammadiyah Malang memberikan kontribusi dengan mendirikan poliklinik. Pada waktu itu sarana kesehatan Rumah Sakit Militer Kota Malang mempunyai Rumah Sakit Zending, Klinik Lavalette. 

Dengan demikian sekalipun hanya kota kecil, pada 1920-an Malang tumbuh menjadi kota yang punya sarana lengkap untuk semua golongan. (Bagian satu dari tiga tulisan).

Artikel Terkait

Terkini