Korea Selatan tidak seindah K-Pop dan seromantis yang disebut Drama Korea. Kasus perundungan terhadap anak-anak dan remaja tinggi. Penyebabnya hierarki  sosial dan tekanan akademik

Koridor.co.id

Ilustrasi The Glory-Foto: Netflix.

Sejak akhir Desember 2022 hingga Januari 2023 ini Webseries Glory  menjadi serial populer di layanan streaming Netflix. Serial ini menceritakan balas dendam korban perundungan terhadap para pelakunya 18 tahun setelah kejadian, karena hebatnya trauma yang diakibatkan secara fisik maupun psikis.

Tema balas dendam terkait korban perundungan juga disampaikan Revenge of Others (2022). Setelah kematian misterius saudara kembarnya, Ok Chanmi, seorang atlet menembak  mengusut kematian saudara kembarnya.

Dia pindah ke sekolah saudaranya dengan tujuan mengungkap kebenaran dan mencari tahu alasan mengapa polisi dan pihak sekolah seakan menutupi kematian saudara kembarnya.

Serial-serial  ini bisa dinilai sebagai kritik terhadap sistem sosial, tetapi sebetulnya punya gunung es terhadap kekerasan yang menimpa anak-anak dan remaja di negeri ginseng.

Kekerasan di sekolah di Korea Selatan meningkat tahun ini ketika sekolah kembali normal di tengah meredanya pandemi Covid-19.

Survei Kementerian Pendidikan Korea terhadap siswa tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas yang dirilis September tahun lalu  tidak termasuk provinsi Jeolla Utara,  mengungkapkan  sebanyak 1,7 persen responden  mengalami kekerasan di sekolah pada 2022.

Seperti dikutip dari  https://english.news.cn/20220906/ca5ac35e51ec4f1d9748f0ea20ad8f93/c.html capaian ini meningkat  0,6 poin persentase dari 2021 ketika sekolah menawarkan kelas daring hampir sepanjang tahun.

Selain itu angka 2022 juga naik 0,1 poin persentase dibandingkan  2019, tahun sebelum wabah Covid-19.

Persentase siswa yang mengalami kekerasan mencapai 3,8 persen di sekolah dasar, 0,9 persen di sekolah menengah pertama, dan 0,3 persen di sekolah menengah atas pada 2022, naik dari masing-masing 2,5 persen, 0,4 persen, dan 0,18 persen pada  2021.

Jenis kekerasan tertinggi adalah kekerasan verbal, yang dialami 41,8 persen siswa pada 2022.Diikuti oleh kekerasan fisik dengan 14,6 persen, pengucilan dengan 13,3 persen dan cyberbullying dengan 9,6 persen.

Kekerasan fisik naik dari 12,4 persen pada 2021, tetapi pengucilan dan intimidasi dunia maya turun dari 14,5 persen dan 9,8 persen setiap tahun lalu.

Jumlah kasus bullying sekolah di Korea terus meningkat sejak 2013. Pada tahun itu tercatat sebanyak 11.749 kasus dilaporkan dan data pada  2019 menunjukkan lebih dari dua kali lipat dengan 31.130 kasus dilaporkan.

Dalam empat tahun terakhir, 50% dari yang dilaporkan adalah kekerasan fisik namun seiring berjalannya waktu, kasus kekerasan verbal, penahanan, pemaksaan, dan kekerasan seksual juga meningkat.

Seperti dikutip  dari https://www.creatrip.com/en/news/3119  kekerasan verbal, meningkat tajam dari 3.208 pada 2016 menjadi 8.471 kasus pada 2018. Selain itu, pemaksaan juga meningkat. dari 100 kasus pada 2018, menjadi 2.202 kasus pada 2019.

Antara tahun 2016 dan 2019, siswa yang dihukum karena tindakannya, 73.912 kasus (29,25%) meminta maaf secara tertulis, sedangkan 50.051 kasus ringan. Sebanyak 46.194 kasus mengakibatkan pendidikan khusus atau perawatan psikoterapi dan 37.373 kasus dalam layanan sekolah untuk siswa yang dituduh.

Hukuman yang dianggap kurang tegas juga menjadi alasan terus meningkatnya kasus bullying ini. Sebanyak 29,25% pelaku, dalam kurun waktu 2016-2019 hanya  melakukan hukuman menulis surat permintaan maaf.

Mengapa bullying begitu umum di Korea?  https://www.southernearlychildhood.org/the-problem-of-bullying-in-korea/ menyebutkan negara memiliki masyarakat yang sangat hierarkis, yang dapat menimbulkan rasa persaingan dan rasa tidak aman di kalangan siswa. Ini yang diungkapkan beberapa drakor  yang menjadikan perundungan sebagai tema, di man apelakunya orang kaya.

Selain itu, tekanan akademik yang dihadapi siswa di Korea sangat besar, yang dapat menimbulkan perasaan frustrasi dan ketidakmampuan. Sayangnya, intimidasi dapat memiliki konsekuensi serius bagi korban dan pelaku intimidasi.

Korban bullying sering menderita rendah diri, kecemasan, dan depresi. Dalam kasus ekstrim, intimidasi bahkan dapat menyebabkan bunuh diri.

Di Korea Selatan, secara luas diasumsikan bahwa masalah tersebut disebabkan oleh tingkat persaingan yang berlebihan. Pemerintah dan sekolah didesak oleh kelompok konseling untuk mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku.

Menurut survei  2010, lebih dari 20% dari mereka yang disurvei mengatakan bahwa telah diintimidasi dalam hidup. Lebih dari 30% korban dilaporkan merasa ingin bunuh diri akibat perundungan. Bunuh diri di kalangan siswa meningkat 200% dalam kasus konseling.

Artikel Terkait

Terkini