Oleh Wina Armada Sukardi, kolektor lukisan Hardi
Hari ini (Rabu, 3/1/2024) tepat tujuh hari pelukis dan budayawan Hardi wafat. Berikut bagian kedua dari lima tulisan serial In Memorium Tujuh Hari Wafatnya Pelukis Hardi karya wartawan senior Wina Armada Sukardi. Selamat menyimak.
Jakarta, Koridor.co.id – Koleksi lukisan karya Hardi pertama saya ialah satu lukisan profil diri saya dari samping dalam ukuran kecil.
Hardi langsung membuat lukisan itu di hadapan saya. Sebagian bidangnya kosong tanpa ada guratan tinta.
“Kamu lagi banyak pikiran,” katanya waktu membuat lukisan itu.
Dia seakan membaca pikiran saya. Mendengar itu saya tersenyum saja.
Setelah itu, jika saya datang ke pameran atau ke rumahnya, Hardi seakan paham karya yang mana yang menjadi incaran saya. Maka sebagai kolektor, saya beruntung selalu dapat karyanya yang menarik minat saya. Sampai sekarang ada 19 lukisan karya Hardi yang saya koleksi.
Koleksi Semua Tema Lukisan Hardi
Kendati begitu, hampir semua tema karya lukisan Hardi ada pada saya. Dari penari, binatang, potret diri, wanita cantik, kasih sayang ibu, Ka’bah, hitam putih, sampai “Jembatan Persaudaraan” antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di sebelahnya, ada pada saya.
Ada satu lukisan, yaitu loper koran sedang memegang nama majalah tertentu sedang menghadapi kejaran petugas Kamtib. Hardi menawarkan lukisan tersebut kepada saya.
Lukisan yang bagus dan historis. Tetapi lantaran nama majalahnya berada dalam group Tempo, saya tidak mengambilnya. Hemat saya, Tempo Group atau awak dari Tempo yang lebih berhak membelinya ketimbang saya.
“Coba saja Mas tawarin ke Goenawan Mohamad,” usul saya.
Tetapi Hardi segan melakukannya. Entah kenapa.
Lukisan Ayam dan Tawaran Unik
Kedua, lukisan Ayam. Harga sudah tawar-tawaran antara saya dan Hardi untuk lukisan ini. Hal ini sesungguhnya tidak biasa di antara kami. Semua lukisan karya Hardi yang dia tawarkan kepada saya pasti tak pernah saya tawar. Berapapun Hardi menyebut harganya, saya terima saja. Langsung saya bayar. Tetapi khusus lukisan Ayam, saya justru menawarnya. Padahal, saya sendiri yang menginginkan lukisan itu.
Akhirnya di harga tengah kami setuju. Walaupun belum bayar lunas, Hardi sudah menyerahterimakan lukisan itu kepada saya. Pakai dipotret segala. Hanya, karena tak enak hati kalau langsung membawanya pulang, saya belum ambil lukisan itu dan meninggalkannya di rumah Hardi.
Memang begitu kebiasaan saya dengan Hardi. Kalau lukisan belum tuntas lunas, saya tak mau mengambilnya dulu. Lukisan Ayam ini pun jika nanti telah lunas baru saya ambil.
Rupanya Hardi sudah lebih dahulu jatuh sakit, sehingga transaksi lukisan itu tertunda sampai Hardi menghembuskan nafasnya yang terakhir. Mungkin jika masa duka cita keluarga sudah lewat dan lukisannya masih jodoh dengan saya, bakal saya tuntaskan sisa “transaksinya.”
“Terima kasih Anda mengambil lukisan saya. Anda membantu saya untuk membeli beras,” kata Hardi selalu merendah saat saya membeli lukisannya.
Lukisan Jembatan Persaudaraan
Selain membeli, saya kerap ikut membantu “memasarkan” karya-karya Hardi. Kenapa? “Anda kan banyak relasinya,” kata Hardi. Tentu tanpa komisi.
Terakhir saya gencar ikut menawarkan lukisan “Jembatan Persaudaraan”. Maklumlah temanya merupakan usulan saya kepada Hardi, yang langsung dia terima. Bahkan, tema ini juga menjadi lukisan serinya, walaupun belum sebanyak seri Kab’ah.
Saya berhasil menjual beberapa karya “Jembatan Persaudaraan” ini, terutama kepada beberapa advokat kawan saya. Seingat saya, salah satu pembelinya ialah tokoh praktisi hukum Mas Achmad Sentosa (Otta).
Saya juga membawa Hardi ke beberapa tokoh masyarakat agar mau dibuat lukisan potret diri oleh Hardi. Selain Hardi bergembira dengan kegiatan itu, juga lumayalan untuk mengisi pundi-pundinya.
Salah satu yang saya usulkan untuk lukisan potret diri ialah Ketua DPR/MPR, Bambang Soesatyo. Hardi langsung menyerahkan lukisan itu kepada Bambang Soesatyo.
Memasarkan Lukisan di Era Digital
Pada era digital Hardi sudah mulai melangkah mendahului sesama pelukis lainnya. Dia sudah memasarkan karya-karyanya lewat media sosial.
“Dari cara ini, ada kontak antara lukisan saya dengan calon pembelinya,” ungkap Hardi.
Dan memang sebagian besar lukisan yang dia tayangkan di media sosial “terjual.” Sebelum sakit, Hardi rajin menyapa para pemerhatinya melalui tayangan semacam podcast. Kolektor juga dia wawancarai, termasuk saya. Dia terangkan latar belakang kenapa mereka mau memiliki lukisan karyanya. (BERSAMBUNG …)
BACA JUGA: