Kiprah perempuan komika di panggung komedi tunggal di Indonesia. Jadi tempat menyuarakan pendapat secara tidak agresif

Koridor.co.id

Firda Indira tampil perdana sebagai komika dalam acara “Hiburan Hiburin” di aula gedung Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta Selatan (Sumber: Hiburin)

“Gue berkarier di dunia entertainment sudah 20 tahun. Sejak gue umur 4 tahun. Dan sinetron gue itu cukup terkenal. Gue yakin kalian tau sinetron gue, tapi enggak tau kalo gue main di situ. Salah satu sinetron gue itu Pernikahan Dini. Ada yang tau?” kata Firda Indira menyemburkan salah satu item komedinya di atas panggung. Banyak penonton mengiyakan.

Masih dalam bagian set up alias penghantar, Firda melanjutkan, “Yang main itu Agnes Monica dan Okan. Di situ gue berperan jadi anaknya Agnes. Jadi, sebelum Agnes dikenal sebagai AgnezMo, gue sudah pernah manggil dia mama. Sudah seakrab itu, tapi kalian enggak tau gue.” Seketika para penonton ger-geran.

Pengalaman selama dua dekade sebagai pemain sinetron, FTV, dan film jadi amunisi utama Firda (24) saat melakoni debut tampil di ranah komedi tunggal (komtung). Istilah ini banyak digunakan sebagai padanan istilah untuk stand-up comedy. Sebuah profesi dalam ranah hiburan yang asalnya dari negeri Paman Sam. Beberapa orang menggunakan istilah lawakan tunggal dan jenakata. Sementara publik jiran di Malaysia cukup menyebutnya lawak sorang-sorang.

Bagi mahasiswi Universitas Atma Jaya ini, panggung bukanlah hal asing. Pun beraksi atau menjalin komunikasi dengan khalayak ramai. Selain lama berkecimpung sebagai aktris, ia juga pernah mengakrabi dunia teater. Profesi sebagai pembawa acara juga pernah ia jabanin.

Pun demikian, tampil di atas panggung sebagai komika sungguh merupakan pengalaman baru. Terlebih lagi Firda belum terlalu lama mencemplungkan diri dalam kolam ini.

Hanya ada sekitar sebulan waktu untuknya melakukan persiapan sebelum tampil perdana di panggung acara “Hiburan Hiburin” yang berlangsung di aula gedung Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta Selatan (29/1/2022).

Selain itu, Firda mengakui bahwa ranah komedi merupakan hal yang sangat ditakutinya. “Berkomedi itu susah, lho. Ini bukan cuma soal pengalaman sering tampil di depan khalayak, pandai berkomunikasi dengan orang banyak, punya kemampuan akting, dan bisa menulis yang kebetulan aku kuasai. Ada banyak hal lain yang harus kupelajari,” ungkap Firda saat ditemui Koridor (3/8/2022).

Beruntung Firda dikelilingi oleh orang-orang, alias sesama komika, yang sangat suportif. Mereka tak henti memberikan dukungan, membagikan ilmu, dan pengalaman. Alhasil dia mantap memancang diri lebih serius mendalami dunia yang sebelumnya ia takuti.

Panggung komedi tunggal adalah tempat yang selama ini dicarinya untuk menumpahkan banyak hal. Mulai dari menyuarakan apa yang dirasakannya, mengomentari kondisi di sekitar, dan banyak lagi. Semua unek-unek tadi disampaikan dengan pengemasan komedi yang ditulis rapi.

Hal penting lain yang membuatnya saat ini makin betah dalam lingkup komedi tunggal karena merasa ekosistemnya sehat dan kondusif bagi perempuan. Beda dengan atmosfer dunia sinetron yang lama diakrabinya.

“Sehat yang kumaksud itu tidak ada senioritas. Semua dianggap sama. Mau dari kalangan mana saja atau latar belakang apa saja semua diterima dengan baik. Terus dikasih kesempatan juga. Biasanya kan ada yang ketika namanya sudah gede enggak mau ngasih panggung ke anak-anak baru. Nah, di stand-up enggak gitu. Unsur kekeluargaannya dapat banget,” ungkapnya.

Beda cerita, misalnya, saat kita menoleh skena musik dan film di Indonesia. Para musisi dan pelakon perempuan merasa betapa masih toksiknya lingkungan tempat kerja mereka. Ada perlakuan seksisme dan pelecehan seksual di sana.

Kondisi tadi kemudian mendorong banyak pihak, perempuan juga laki-laki, di industri musik dan film untuk lantang buka suara. Demi mencegah lebih banyak korban. Pun mewujudkan iklim kerja kondusif bagi semua pekerja, tak peduli apa pun jenis kelamin dan preferensi seksualnya.

Beberapa acara pertunjukan komedi tunggal yang semua berisi perempuan komika (Desain: Andi Baso Djaya/Koridor)

Menciptakan ruang aman dan nyaman untuk semua komika juga menjadi perhatian Adjis Doaibu selaku presiden Standupindo, sebuah organisasi masyarakat yang menjadi induk banyak cabang komunitas ini. Simpulnya bukan hanya tersebar dari Aceh hingga Papua, tapi menjalar hingga ke luar negeri.

“Tegas gue bilang tidak akan menolerir segala bentuk pelecehan seksual apa pun gendernya. Langsung akan gue keluarin dari Standupindo. Enggak akan gue anggap sama sekali. Terserah, deh, dia mau ngapain habis itu,” kata Adjis saat dihubungi via telepon (25/7).

Menurut Adjis yang juga berkecimpung di ranah musik dan film, saling menghargai orang lain dan respek merupakan hal mendasar yang harus dimiliki.

Semisal banyak orang yang mengartikan bahwa sejumlah materi komedi yang dibawakan para komika mengarah ke seksisme atau menyudutkan gender tertentu, Adjis mengajak orang tersebut untuk melihat konteksnya.

“Itu kan konteksnya komedi. Sama juga ketika komika melakukan roasting atau riffing terhadap seseorang, itu konteksnya untuk berkomedi. Kalaupun, misalnya, materi itu sifatnya mewakili keresahan hati seorang komika, bukan berarti ketika ketemu kita melakukan pelecehan terhadap orang itu,” tambah pemilik nama asli Abdul Aziz Batubara.

Memahami konteks dan mengetahui ambang batas juga yang menjadi pertimbangan Firda dalam merespons sebuah lontaran komedi.

“Sejauh materi bercandaannya masih dalam batas wajar aku biasa saja menanggapinya. Namun, jika sudah kelewatan aku akan langsung bilang ke orangnya bahwa bercandaan itu salah tempat. Untungnya sejauh ini yang aku dapetin enggak ada yang melampaui batas, sih, bercandaannya,” tambah Firda.

Firda berharap makin banyak perempuan yang tertarik menjajal panggung komedi tunggal karena iklimnya sangat kondusif dan sehat. Selain itu, dunia komedi tunggal bisa memberikan ruang atau panggung untuk lantang berbicara.

“Kita tahu di Indonesia ini tidak banyak ruang berbicara untuk perempuan. Ada banyak batasan. Nah, di panggung stand-up comedy kita bisa banyak menyuarakan segala apa yang ingin ditumpahkan,” demikian Firda menambahkan.

Segendang sepenarian dengan yang pernah diucapkan Sakdiyah Ma’ruf, perempuan komika yang pernah dianugerahi Vaclav Havel International Prize for Creative Dissent 2015 di Oslo, Norwegia, dan masuk dalam lis “BBC 100 Women” tahun 2018.

Diyah, demikian panggilan akrabnya, mengaku tumbuh besar dalam lingkungan keluarga keturunan Arab yang cukup konservatif. Alhasil hanya tersedia ruang sempit baginya untuk berbicara. Hingga akhirnya ia menemukan panggung komedi tunggal, sebuah sarana menarik untuk menyuarakan isi hati dengan cara yang tidak agresif.

Firda dan Diyah hanya dua dari sekian banyak talenta cemerlang yang dimiliki dunia komedi tunggal di Indonesia. Masih ada sejumlah nama lain yang sosoknya wira-wiri mengisi panggung komedi tunggal, menghiasi berbagai program stasiun televisi, aktif memproduksi konten untuk kanal akun YouTube, ambil bagian dalam film, sinetron, juga serial, atau bekerja di belakang layar sebagai penulis, sutradara, dan produser.

Walaupun selama ini telah ada beberapa inisiatif mengadakan panggung pertunjukan yang semua pengisinya komika perempuan, sebut contoh “Perempuan Berhak”, “Pajama Party”, dan “Ladies Out Loud”, satu lagi sebenarnya acara “Kartinian” yang sayangnya urung terlaksana lantaran pandemi, Firda berharap ada lebih banyak kesempatan untuk mereka tampil memancing tawa penonton dari atas panggung.

“Jadi untuk para penyelenggara acara, tolonglah beri kesempatan lebih banyak untuk perempuan komika tampil di acara kalian. Ha-ha-ha,” pungkas Firda yang berharap bisa menyelenggarakan pertunjukan spesial sendiri.

Artikel Terkait

Terkini