Kebaya telah lama jadi simbol akulturasi khazanah budaya Nusantara. Kini diperjuangkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO

Koridor.co.id

Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia berusaha menjaga kelestarian produk budaya nusantara (Foto: Akun Instagram Perempuan Berkebaya Indonesia)

Industri fesyen dunia berputar dengan cepatnya. Memicu pergantian tren mode busana yang tiada henti. Menciptakan pengikut yang sayangnya menjadikan pakaian ala barat sebagai tolok ukur. Sungguh pun sebenarnya dari segi bahan dan model pakaian tak selalu bersahabat dengan iklim di Indonesia yang tropis.

Salah satu yang coba dimajukan untuk mengimbangi gempuran mode pakaian ala barat adalah kebaya. Baju putih berbahan kain tipis yang dihiasi banyak bordiran ini telah lama eksis di Nusantara. Fungsinya untuk menutupi tubuh bagian atas perempuan.

Bukan hanya sebagai penutup aurat, kebaya jadi bukti otentik percampuran banyak kebudayaan yang pernah hidup, singgah, dan bercengkrama dalam balutan hubungan dagang di Nusantara.

Rens Heringa dalam buku Fabric of enchantment: Batik from the North Coast of Java (Los Angeles County Museum of Art, 2000) menulis, istilah kebaya diduga berhubungan dengan kata cambay (kain kapas bermotif bunga) yang diimpor dari Pelabuhan Cambay, India.

Versi lain, model kebaya bisa jadi terinspirasi dari baju beizi yang diperkenalkan oleh para imigran China pada abad ke-15. Sementara menilik asal katanya, sejumlah pengamat menyebutnya dari kata abaya’. Kosakata dalam bahasa Arab yang berarti jubah atau pakaian longgar.

Kedatangan bangsa Portugis pada awal abad ke-16 turut dipercaya mengenalkannya kepada penduduk Nusantara. Sebutannya cabaya merujuk pada jenis blus yang sering dibuat dari kain tipis dan halus. Beragam pergumulan budaya kemudian membuat kebaya mengalami transformasi. Terjadi asimilasi mengikuti kultur setempat.

Dari yang awalnya identik sebagai pakaian khusus kalangan bangsawan dan priyayi, kebaya akhirnya diadopsi juga oleh semua kelas sosial. Pada era pemerintahan Presiden Sukarno, kebaya ditetapkan sebagai busana nasional untuk perempuan. Paling sering dikenakan ibu-ibu saat menghadiri acara-acara resmi.

Stereotip itu, terutama yang berkembang di kalangan remaja perkotaan, coba diperluas oleh komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia. Berkebaya bisa dilakukan oleh siapa pun dan kesempatan apa saja, termasuk dalam kehidupan sehari-hari. Harga dan bahannya tak melulu harus mewah.

Memantik kembali kebanggaan mengenakan kebaya sebagai bagian dari jati diri bangsa menjadi misi Perempuan Berkebaya Indonesia. Rasa kebanggaan yang diharapkan memicu upaya pelestarian.

Untuk itu komunitas PBI tak lelah mengadakan berbagai acara untuk menyosialisasikan kebaya. Salah satunya dengan hadir di tengah keramaian warga ibu kota yang mengikuti Jakarta Car Free Day sambil berkebaya. Pekan lalu (19/6/2022), bersama komunitas Pertiwi Indonesia mereka mengadakan gerakan “Kebaya Goes to UNESCO”. Sekitar 2.500 peserta berjalan kaki menyusuri rute Jl. Jenderal Sudirman hingga ke Bundaran Hotel Indonesia. Barisan terdepan juga membentangkan spanduk bertuliskan “Bangga Berkebaya”.

Memperjuangkan kebaya menjadi salah satu warisan budaya tak benda oleh UNESCO, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB, menjadi salah satu amanat Kongres Berkebaya Nasional yang berlangsung akhir tahun lalu.

Hingga kini ada 12 elemen warisan budaya tak benda Indonesia yang sudah diakui UNESCO, yaitu gamelan, pantun, pencak silat, kapal pinisi, tiga genre tari Bali, noken, tari saman, angklung, batik, pendidikan dan pelatihan batik, keris, dan wayang.

PBI juga telah mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan Hari Berkebaya Nasional sebagai salah satu solusi mempopulerkan kebaya, khususnya di kalangan generasi muda. Menurut Didiet Maulana, seorang perancang busana dan pecinta wastra, para remaja putri bisa tetap kelihatan anggun lagi modern dengan berkebaya. Caranya mengenakan kebaya dengan motif yang sedang digandrungi atau memadupadankannya dengan kain-kain tradisional.

Ukuran kebaya pun kini tak melulu harus panjang hingga ke mata kaki. Lengannya juga bisa dirancang senada menjadi lebih pendek. Alhasil terciptalah versi kebaya modern yang membuat pemakainya tetap bisa leluasa bergerak dan bergaya.

Kapan cita-cita PBI menghantar kebaya menjadi warisan budaya tak benda UNESCO akan kesampaian? Tampaknya masih harus menunggu waktu. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada tahun ini masih mengajukan tenun, reog, jamu, dan tempe ke UNESCO.

Artikel Terkait

Terkini