Pada tanggal 3 Mei 1921, pulau Irlandia dibagi menjadi Irish Free State yang merdeka (sekarang dikenal sebagai Republik Irlandia) di selatan, dan Northern Ireland yang tetap menjadi bagian dari Britania Raya.
Pemisahan ini adalah hasil perjuangan panjang dan rumit untuk kemerdekaan Irlandia, memicu beragam perjuangan panjang dan rumit lainnya, dan bukanlah tujuan akhir semua pihak yang terlibat.
Jadi mengapa itu terjadi?
Beberapa catatan kontekstual
Selama Inggris menguasai Irlandia, sejumlah besar penduduknya yang menganut Protestan pindah ke Irlandia yang didominasi penganut agama Katolik. Mayoritas dari mereka memutuskan untuk membuat rumah di daerah Ulster utara karena tanah di sana diketahui lebih subur, menjadikannya investasi yang lebih menguntungkan bagi mereka sebagai pemilik tanah. Karena itu, sebagian besar orang yang tinggal di Utara menerima pemerintahan Inggris dengan senang hati karena menguntungkan mereka.
Di sisi lain, mayoritas penduduk Selatan muak menerima perintah dari Westminster, yang menindas banyak umat Katolik, dan mereka menginginkan kemerdekaan.
Kegagalan perjuangan politik untuk Home Rule (pemerintahan independen, namun tidak sepenuhnya merdeka) menyebabkan meningkatnya kekerasan dan akhirnya memicu peperangan antara Irlandia dan Inggris pada tahun 1919. Perang berakhir pada tahun 1921 dengan Perjanjian Anglo-Irlandia.
Perjanjian Anglo-Irlandia menciptakan Irish Free State (Negara Bebas Irlandia), kompromi antara Home Rule dan kemerdekaan penuh. Namun, yang terpenting, Perjanjian itu memberi Irlandia Utara kesempatan untuk memilih keluar dari Negara Bebas Irlandia dan tetap menjadi bagian dari Inggris Raya.
Gagasan pemisahan wilayah sebelumnya telah dicanangkan melalui Undang-Undang Pemerintah Irlandia 1929 yang menciptakan parlemen Home Rule terpisah untuk Utara dan Selatan, tetapi ini hanya dimaksudkan untuk menjadi solusi sementara.
Penting untuk dicatat bahwa partisi (pembagian wilayah) tidak diterima dengan baik oleh sebagian besar orang. Meskipun anggota Serikat Pekerja Utara, atau mereka yang berada di Irlandia Utara yang ingin tetap menjadi bagian dari Inggris, senang dengan pemisahan tersebut, Nasionalis Utara dan Selatan, atau mereka yang menginginkan kemerdekaan untuk seluruh pulau, marah dan tidak menyukainya. Anggota Serikat Pekerja Selatan, yang merasa seolah-olah Inggris telah meninggalkan mereka, juga berbagi sentimen ini.
Kemarahan ini diperparah ketika, pada tahun 1925, diputuskan bahwa perbatasan antara Utara dan Selatan tidak akan berubah. Akibatnya, banyak wilayah di perbatasan di utara sekarang berpenduduk mayoritas Katolik. Keputusan ini meningkatkan ketegangan.
Hasilnya
Konflik antara kelompok pro-Perjanjian dan anti-Perjanjian di Negara Bebas Irlandia berubah menjadi Perang Saudara Irlandia dari tahun 1922-1923, dengan kemenangan bagi pihak pro-Perjanjian. Namun, diskriminasi yang berkelanjutan terhadap minoritas Katolik di Irlandia Utara juga akan menyebabkan kekerasan di tahun 60-an dengan dimulainya The Troubles, perang/pemberontakan yang diperjuangkan oleh Nasionalis Irlandia di Utara dengan balasan dari kelompok loyalis, yang berlangsung hingga Perjanjian Jumat Agung 1998.
Terlepas dari kenyataan bahwa tujuan awal pemisahan Irlandia bukan sebagai penyelesaian konflik kemerdekaan Irlandia, pada akhirnya hal itu terbukti menjadi solusi yang paling memungkinkan. Masih ada sengketa seputar pemisahan tersebut, dan topik tersebut kembali diangkat di media selama putaran negosiasi terbaru terkait Brexit. Semoga di akhir tulisan ini, Anda memiliki pemahaman dasar yang kuat tentang masalah yang begitu rumit dan berkelanjutan ini.
*** disadur dari a News Education.