Bahasa Jepang tidak hanya menggunakan satu tetapi tiga abjad yang berbeda — hiragana, katakana, dan kanji — yang dibedakan baik oleh penampilan maupun penggunaannya.
Jadi tidak mengherankan jika bahasa Jepang adalah bahasa yang sulit dipelajari oleh penutur bahasa Inggris!
Hiragana, Katakana, dan Kanji: Mendefinisikan Perbedaan
Hiragana dan katakana — secara kolektif disebut dengan istilah generik kanamoji — keduanya adalah alfabet suku kata dari 47 karakter, yang masing-masing mewakili satu bunyi. Beberapa karakter antara dua alfabet bahkan mewakili bunyi yang sama persis dan terlihat sangat mirip satu sama lain.
Perbedaan utama antara hiragana dan katakana adalah kenyataan bahwa hiragana terutama digunakan untuk mewakili kata-kata Jepang, sedangkan katakana mewakili kata-kata serapan dari bahasa asing. Bahasa Jepang adalah bahasa dengan banyak kata serapan, dan katakana segera mengingatkan pembaca pada fakta bahwa kata tersebut adalah kata serapan.
Sementara itu , kanji adalah alfabet utama bahasa Jepang, terdiri dari lebih dari 8.000 karakter, yang masing-masing mewakili konsep abstrak, kata umum, atau nama. Dengan menggabungkan karakter kanji individu, dimungkinkan untuk membuat frasa dengan cara yang sama seperti penutur bahasa Inggris.
Apa yang membuat kanji begitu rumit adalah kenyataan bahwa satu karakter kanji dapat memiliki banyak arti. Pembaca harus familier dan mengandalkan konteks dengan bahasa Jepang untuk menentukan makna mana yang dimaksudkan.
Kanji juga dapat memiliki beberapa pengucapan. Dalam beberapa kasus, suku kata karakter hiragana ditempatkan di atas kanji untuk menunjukkan pengucapan. Ketika digunakan untuk tujuan ini, hiragana disebut sebagai furigana.
Perkembangan Sejarah Hiragana, Katakana, dan Kanji
Disusun dari model abjad Cina, dasar kanji Jepang modern berkembang sekitar abad ke-5 Masehi, setelah periode kontak budaya dengan Cina. Model berbasis Cina ini dikenal sebagai manyogana.
Namun, perbedaan mendasar antara bahasa Cina dan Jepang — seperti fakta bahwa bahasa Cina terutama bergantung pada suku kata tunggal sementara kata-kata Jepang biasanya polysyllabic (bersuku kata banyak) — menuntut agar sistem penulisan Jepang yang berbeda dikembangkan.
Selama Periode Heian (794 – 1192), perubahan dilakukan sebagai penyesuaian ketika manyogana yang terlalu sulit diadaptasi untuk membuat aksara Jepang yang terdiri dari sebagian suku katanya berasal dari hiragana dan katakana dan sebagian lainnya logografis, karakter berdasarkan konsep, yaitu kanji.
Apakah Tiga Alfabet untuk Satu Bahasa terlalu Banyak?
Menjunjung tinggi tiga sistem penulisan untuk digunakan dalam satu bahasa mungkin tampak membingungkan — bahkan benar-benar gila, terutama bagi penutur asli bahasa Inggris yang hanya mengandalkan satu alfabet dengan 26 karakter.
Namun, tiga alfabet Jepang semuanya merupakan komponen integral dari satu sistem penulisan Jepang. Mereka saling melengkapi dengan cara yang diperlukan, seperti halnya dengan furigana (penggunaan hiragana untuk memperjelas pengucapan kanji).
Kemudian, dapat dikatakan bahwa solusi yang lebih sederhana adalah mengandalkan hiragana dalam kasus seperti itu, daripada harus menulis dua set karakter.
Reformasi telah dilakukan pada sistem penulisan Jepang sejak Perang Dunia II, tetapi tetap menyisakan komplikasi. Pertanyaan yang bertahan lama adalah apakah kepraktisan harus selalu didahulukan atau apakah sistem penulisan tradisional harus dipertahankan demi kemakmuran, baik untuk kepentingan mempertahankan akar sejarah maupun filosofi?
Seperti kata pepatah: “jika tidak rusak, jangan diperbaiki”.