Sumpit, alat yang disukai di banyak negara Asia, memiliki sejarah yang cukup menarik. Sumpit banyak digunakan di China dan beberapa negara asia timur lainnya. Ada kemungkinan, ketidaksukaan filsuf vegetarian kuno Konfusius terhadap pisau berkontribusi pada adopsi alat makan tersebut yang kemudian meluas sampai hari ini.
Menurut Rietz Collection of Food Technology di California Academy of Sciences, sumpit ditemukan di China sekitar lima ribu tahun lalu. Mungkin yang pertama hanya tongkat yang digunakan untuk mengambil makanan dari panci.
Pada abad keempat Sebelum Masehi, ketika bahan bakar langka, juru masak yang cerdik belajar menghemat konsumsi energi dengan memotong makanan menjadi porsi lebih kecil. Berkat inovasi dapur ini, para tamu tidak perlu lagi membawa pisau ke meja. Ini konsisten dengan filosofi nir-kekerasan Konfusius, seperti yang diungkapkan dalam salah satu dari banyak ucapannya yang terkenal: “Orang yang terhormat dan jujur menjauhkan diri dari rumah jagal dan dapur. Dan dia tidak mengizinkan pisau di atas mejanya.”
Pada tahun 500 Masehi, sumpit telah sampai ke Jepang, Vietnam, dan Korea. Sumpit Jepang pertama dibuat dari sebatang bambu dan disambungkan di ujungnya seperti pinset. Ketika itu, hanya digunakan dalam upacara keagamaan.
Sumpit perak kadang-kadang digunakan selama masa dinasti Tiongkok karena dianggap akan menjadi hitam jika bersentuhan dengan makanan beracun. Kesalahpahaman kemungkinan merupakan hasil dari pendekatan ini, karena sekarang dipahami bahwa perak tidak bereaksi terhadap arsenik atau sianida tetapi berubah warna ketika terkena hidrogen sulfida yang ditemukan dalam bawang putih, bawang merah, dan telur busuk.
Beberapa orang Asia percaya bahwa jika Anda diberi sumpit yang tidak rata, Anda akan ketinggalan kapal atau pesawat Anda, seperti yang dilaporkan di surat kabar Malaysia. Menurut kepercayaan tradisional Korea, semakin lama mereka akan tetap melajang.
Orang Barat yang kikuk berisiko membuat sejumlah kecerobohan sosial saat menggunakan sumpit. Menurut salah satu survei di Jepang, ada lusinan cara untuk menghina seseorang, mulai dari “membiarkan air mata sup mengalir dari sumpit Anda” hingga “sumpit berdiri di atas semangkuk nasi”, yang dianggap meniru dupa di pemakaman.
Maka bijak untuk mengetahui beberapa etiket menggunakan sumpit jika mendatangi negara pengguana sumpit seperti Korea Seletan, Jepang dan China.
Memiliki makna tersendiri
Menarik diketahui, sumpit yang kerap kali digunakan sebagai alat makan itu, terutama makanan berasal dari China, Korea, dan Jepang, ternyata memiliki makna tersendiri yang hingga kini masih lestari. Dalam NationalGeopraphic, Tsung Dao Lee, peraih hadiah Nobel bidang fisika tahun 1957 mengungkapkan, sumpit adalah perpanjangan jari-jari tangan manusia. Dua batang sumpit tersebut, cocok digunakan sebagai daya ungkit.
Sejarah panjang sumpit berasal dari Tiongkok, China, sudah ada sejak zaman Neolitik, sekitar 5000 tahun sebelum masehi. Teori ini didukung oleh penemuan dua ribu jenis benda arkeologi. Ada 42 jenis di antaranya, berbentuk batang berukuran panjang 9,2-18,5 sentimeter, dengan diameter 0,3-0,9 sentimeter.
Benda yang diduga sumpit tersebut terbuat dari tulang binatang, yang dan ditemukan di sebuah situs arkeologi Longqiuzhang, daerah Gaoyu, Provinsi Jiangsu, pada kegiatan ekskavasi yang dilakukan selama 1993-1995. Sebelumnya, pada tahun 1930, para arkeolog Tiongkok menemukan enam batang sumpit perunggu dan sendok pada situs Anyang (Ibu Kota Dinasti Shang 1600-1046 SM), di Provinsi Henan. Malah, sumpit serupa juga ditemukan di beberapa daerah yaitu Hubei, Anhui, dan Yunan.
Menurut legenda, sumpit kayu pertama kali dibuat oleh Da Yu pendiri Dinasti Xia (2011-1600 SM). Saat itu, ia sedang bersiap menghadapi banjir besar. Menjelang makan, Da Yu mematahkan ranting dan menjadikannya sebagai alat makan.
Kisah lain berasal dari masa Raja Zhou (1105-1046), raja terakhir Dinasti Shang, yang memakai sumpit gading untuk menyantap makanannya. Catatan Han Feizi (281-233 SM) menunjukkan, Raja Zhou sedang menggambarkan gaya hidup mewah keluarganya, dengan menggunakan sumpit gading itu.
Catatan berikutnya menginformasikan, pada masa Dinasti Han (206-220 SM), keberadaan sumpit menjadi sangat penting. Hal ini dipicu oleh munculnya banyak makanan berbahan dasar tepung, seperti mie, dimsum, dan kue dadar.
Dalam bahasa China klasik, sumpit tercatat dengan sebutan zhu, yang terdiri atas potongan bambu dan karakter yang bermakna membantu. Ini menunjukkan bahwa sumpit erat kaitannya dengan bahan bambu.
itab Klasik Liji yang dikompilasi oleh Konfusius (551-479 SM), disebutkan bahwa sumpit digunakan sebagai perangkat ‘pembantu’ untuk mengambil makanan. Ketika memasak sayur (cai) maka sumpit digunakan. Penting diketahui, sumpit tidak dipakai untuk mengambil masakan dari biji-bijian atau nasi (fan).
Menurut Ota Masako, peneliti sumpit di Jepang, setidaknya, pada masa perang (akhir Dinasti Zhou) tahun 475-221 SM, sumpit sudah digunakan secara luas di China. Sumpit pun belakangan lebih sering disebut kuaizi. Penggunaan sumpit menyebar luas di daratan Cina sejak masa Dinasti Song abad 14. Ia digunakan dalam berbagai kesempatan jamuan dan makan sehari-hari. Bahkan, sudah menjadi bagian penting dalam budaya tradisi komunal makan meja bundar.
Pada abad ke-7, sumpit mulai digunakan penduduk Jepang. Tak lama setelah itu, diikuti masyarakat Korea. Dalam kebudayaan China, sumpit tak hanya digunakan sebagai alat makan semata. Sumpit memiliki simbol budaya. Sumpit digunakan sebagai hadiah pernikahan, tanda cinta pasangan, dan harapan bahagia bagi pengantin.
Sumpit pun menjadi simbol kesejahteraan. Apalagi ketika ia dibuat dari emas, perak, gading, giok, eboni dan kayu langka lainnya.
Jadi, jangan heran kalau ternyata sumpit memiliki kisah yang cukup panjang. Kita tahu saat ini, perangkat makan asal Tiongkok ini telah menyebar ke seluruh dunia. Bersamaan dengan menjamurnya restoran Tiongkok, Jepang dan Korea.