Jakarta Melayu Festival jadi salah satu ikhtiar melestarikan musik Melayu di tengah modernitas zaman

Koridor.co.id

Geisz Chalifah (tengah) bersama sebagian penampil yang akan memeriahkan Jakarta Melayu Festival 2022 di Pantai Ancol (Sumber: Jakarta Melayu Festival)

Dari sekian banyak panggung festival musik di seantero Nusantara, wabil khusus Jakarta, terselip satu perhelatan nan spesial. Namanya Jakarta Melayu Festival (JMF) yang akan berlangsung bertepatan perayaan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2022. Lokasinya di Beach City Entertainment Center, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara. Mulai pukul 19.00 WIB. Warga bisa menyaksikannya secara gratis.

Jika dalam penyelenggaraan sebelumnya JMF mengusung tema “Merengkuh Keadilan”, kali ini tajuknya “Teurimong Geunaseh” yang berarti terima kasih dalam Bahasa Aceh.

Ucapan tersebut mereka haturkan kepada semua tenaga kesehatan yang telah berjuang selama masa pandemi Covid-19. Tersebabkan pandemi pula pargelaran musik ini absen terselenggara pada 2020 dan 2021.

Geisz Chalifah melalui Gita Cita Production sudah mengadakan festival ini sejak 2012. Selama empat penyelenggaraan awal, acara berlangsung di dalam ruangan. Menyadari bahwa akar masyarakat dan lagu-lagu Melayu awalnya hidup dari pesisir, akhirnya mulai penyelenggaraan 2016 hingga sekarang selalu dilangsungkan di kawasan pantai Ancol.

Acara ini bagi Geisz merupakan ikhtiarnya memperkenalkan musik melayu. Tak peduli seberapa panjang waktu yang dibutuhkan, upaya itu tetap akan terus dilakukannya.

“Perjalanan 1000 kilometer selalu bermula dari satu meter pertama,” kata Geisz dalam konferensi pers yang berlangsung di Restoran Ombak Laut, Taman Impian Jaya Ancol (8/8/2022).

JMF bagi Komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol itu juga bukan sekadar festival musik, tapi sebuah gerakan kebudayaan untuk menggugah kesadaran banyak orang tentang betapa kaya potensi budaya nusantara yang kita miliki, salah satunya musik melayu.

Oleh karena itu, eksistensi musik Melayu harus senantiasa hidup di tengah masyarakat modern yang sudah terpapar banyak genre musik dari mancanegara. Jangan akhirnya tinggal cerita lantaran panggung-panggung pementasan yang menampilkan musiknya sepi. Seniman pengusungnya nanti bisa tak memiliki penerus.

Penampilan kelompok musik Amigos dari Medan saat memeriahkan Jakarta Melayu Festival 2014 (Sumber: I Love Aceh/CC BY 2.0/Flickr)

Laiknya banyak unsur kebudayaan di Tanah Air yang kerap mendapat pengaruh atau pencampuran dari budaya-budaya lain, baik secara formal maupun informal, musik melayu juga demikian adanya. Sangat hibrid.

Pengaruh tersebut muncul seiring kedatangan berbagai negara yang pernah memiliki hubungan dagang di wilayah semenanjung Sumatera, mulai dari Arab, China, India, Inggris, Persia, Portugis, hingga Siam.

Bukan hanya kedatangan bangsa-bangsa asing tadi yang memberikan pengaruh, tapi juga persebaran agama, khususnya Islam. Alhasil pergumulan ragam bangsa tadi menimbulkan akulturasi seni budaya, dalam hal ini seni musik melayu.

Seperti termaktub dalam buku Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu karya Tengku Lukman Sinar yang terbit 1990, musik Melayu terbagi dalam tiga kelompok: Melayu Asli, Melayu tradisional, dan Melayu modern.

Musik Melayu asli yang hanya mengandalkan pukulan kendang atau rebana seperti kasidah biasanya dimainkan untuk ritual adat istiadat istana dan upacara kematian. Sifatnya sakral atau magis.

Sedangkan musik Melayu tradisional hadir mengiringi pagelaran seni pertunjukan, seni gerak indah, atau aneka tari-tarian seperti rodat dan zapin. Instrumen pengiringnya biasa terdiri dari kompang, gong, rebana, rebab, serunai, dan akordeon.

Terakhir, jenis musik Melayu modern yang makin kental penggunaan alat musik asal Barat, seperti biola, bass, gitar, piano, dan lainnya.

Kehadiran alat-alat musik modern tadi di tangan musisi Melayu justru mencip­takan komposisi musik dalam ensembel baru, mulai dari bentuk musik tarian maupun format lagu. Gaya melodi akordeon, misalnya, tidak lagi bernuansa polka (ketukan 2/4). Sedangkan biola juga tak lagi hadir sonata.

Kedua alat musik itu diubah ke dalam tangga nada Melayu yang meliputi; Cengkok atau bentuk nada yang diayun pada suatu melodi sehingga jarak nadanya melompat; Gerenek berupa variasi nada dengan densitas atau ukuran ritmis yang relatif rapat; dan Patah lagu, yakni nada yang disentak (staccato).

Rentak irama khas musik Melayu bukan hanya dari penggunaan instrumen musik, tapi juga dari penggunaan lirik. Geisz Chalifah mengatakan bahwa umumnya musik melayu sarat dengan lirik penuh metafora. Tak heran jika kebanyakan lagu Melayu menggunakan syair gurindam.

Unsur ini yang membedakan musik Melayu dengan rombongan band-band semisal Kangen, Wali, ST 12, Hijau Daun, Armada, dan sejenisnya yang pernah populer lebih dari satu dasawarsa silam bukanlah musik pop melayu.

Telinga orang-orang asli Sumatera menangkapnya sebagai musik pop Indonesia. Apa yang di kuping mereka patut disebut sebagai dendang melayu adalah lagu-lagu semacam “Laila Canggung”, “Mak Inang Kayangan”, “Seroja”, atau “Tanjung Katung”.

Upaya pelabelan itu berasal dari orang-orang di luar Sumatera, jika tidak ingin menyebutnya berasal dari Jakarta sebagai pusat industri musik di negeri ini.

Emma Baulch, profesor di Monash University, Malaysia, dalam sebuah penelitiannya berjudul “Longing Band Play at Beautiful Hope” (2013) menyebut bahwa dikotomi musik pop melayu bukan berdasar kategori teknis, tapi mitos kelas dan bangsa. Kongkretnya untuk membedakan kelas musik pop di Indonesia.

Seperti dijelaskan dalam buku A History of Popular Music, Social Distinction and Novel Lifestyles (1930s – 2000s) terbitan Brill pada 2014, struktur lagu yang diaransemen oleh band-band tadi tidak satu pun mencirikan musik melayu.

Charly van Houtten yang kala itu menjadi komposer utama lagu-lagu ST 12 menyebut apa yang disajikan bandnya sama saja dengan Peterpan dan Ari Lasso. Dua nama yang notabene berada di jalur musik pop Indonesia.

Pun Aan Kurnia alias Apoy, gitaris sekaligus pencipta banyak lagu band Wali, yang tidak menyebut satu pun pengaruh musik melayu terhadap dirinya kala menciptakan lagu-lagu. Adapun cengkok Farhan Zainal Muttaqin alias Faank saat bernyanyi semata cerminan fakta bahwa sang vokalis fasih mengaji. Tak ada kesengajaan untuk meniru lenggak-lenggok suara ala penyanyi melayu.

Pendikotomian ini mirip ketika lagu-lagu karya Obbie Messakh, Rinto Harahap dkk. dilabeli “pop cengeng” pada dekade 80-an, lalu kemudian memantik lahirnya istilah baru “pop kreatif” sebagai usaha penegas batas antara keduanya. Atau ketika dangdut yang coba dikibarkan Soneta pimpinan Rhoma Irama selama dasawarsa 70-an dianggap sebagai musik kampungan.

Dangdut yang kini berdiri sebagai genre musik sendiri dalam sejarahnya termasuk menyerap banyak pengaruh musik Melayu.

Sama seperti permulaannya yang banyak mengambil pengaruh dari bangsa lain, pergelaran JMF juga nanti tidak semata menghadirkan musik melayu tradisional. Ada upaya membuat khazanah musik Melayu lebih berwarna dan tidak kaku.

“JMF itu seru karena tidak sekadar melibatkan para seniman musik melayu klasik, tapi juga  melibatkan banyak sekali seniman dari berbagai genre tanpa mengubah identitas musik mereka. Kehadiran mereka justru memperkaya musik melayu,” ujar Erie Suzan yang langganan mengisi panggung JMF.

Selain Erie, beberapa penampil lain adalah Mustafa Balasyik, Sulis Zehra, Shena Malsiana, Nong Niken, Kiki Ameera, Shreya Maya, Darmansyah, Takaeda, Alfin Habib, Seroja Band, dan Anwar Fauzi Orkestra.

Shena Malsiana yang merupakan alumni ajang pencarian bakat X Factor Indonesia musim pertama mengaku bangga bisa berpartisipasi. Festival ini adalah usaha menumbuhkan rasa bangga sebagai musisi berdarah Melayu.

Para pengunjung JMF nantinya bukan hanya bisa mendengarkan banyak lantunan musik melayu, tapi juga bisa menikmati aneka sajian kuliner khas melayu.

Artikel Terkait

Terkini