Menurut Ethnologue –salah satu inventaris bahasa paling lengkap berbasis situsweb dan cetak– Indonesia dengan kekayaan 715 bahasa yang dimilikinya menempati urutan kedua dalam daftar negara dengan jumlah bahasa terbanyak. Peringkat nomor wahid ditempati Papua Nugini, 840 bahasa.
Keanekaragaman bahasa yang dimiliki bangsa ini membuat UNESCO, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, menunjuk Indonesia sebagai tuan rumah peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional (HBII) 2023.
Pengertian bahasa ibu atau mother tongue menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Semua tergantung bahasa apa yang dipergunakan oleh orang tua ketika mengasuh anak selama di rumah. Artinya bisa saja bahasa ibu bukan bahasa Indonesia (bahasa nasional), tapi bahasa daerah, bahkan mungkin malah bahasa asing.
Lumrah kita jumpai, utamanya di kawasan perkotaan, putra-putri Indonesia tulen sejak kecil sudah tumbuh dan dibesarkan menggunakan bahasa asing, biasanya Inggris sebagai lingua franca alias bahasa internasional.
Usulan peringatan International Mother Language Day berasal dari Bangladesh untuk mengenang betapa susahnya memperjuangkan Bahasa Bengali sebagai bahasa ibu mereka.
HBII yang peringatan perdananya berlangsung tahun 2000 dianggap penting karena bisa menjadi tonggak kesadaran suatu bangsa untuk menjaga dan merawat bahasa ibu kepada generasi penerus. Terlebih UNESCO memperkirakan ada sekitar 3000 bahasa akan punah pada tahun 2100. Hanya ada separuh bahasa di dunia saat ini yang masih eksis pada tahun tersebut.
Bukan tanpa sebab apabila UNESCO mengabulkan pengajuan diri Badan Bahasa Kemendikbudristek sebagai tuan rumah Hari Bahasa Ibu Internasional yang diperingati saban 21 Februari.
Indonesia dinilai punya komitmen tinggi dalam menggiatkan kembali bahasa daerah yang luar biasa banyaknya. Implementasi konsep program revitalisasi yang diusung pemerintah juga dianggap berbeda dibandingkan negara-negara lain.
Terdapat tiga model revitalisasi yang dirancang Kemendikbudristek. Semuanya tergantung kondisi di lapangan. Pewarisan bisa dilakukan secara terstruktur melalui pembelajaran di sekolah, berbasis komunitas, dan gabungan keduanya yang proses belajarnya berlangsung di pusat kegiatan masyarakat, semisal tempat ibadah, kantor desa, atau taman bacaan masyarakat.
Sasaran program revitalisasi ini adalah 1.491 komunitas penutur bahasa daerah, 29.370 guru, 17.955 kepala sekolah, 1.175 pengawas, serta 1,5 juta siswa yang tersebar di 15.236 sekolah seluruh Indonesia.
Turut dilibatkan pula komunitas penutur yang terdiri dari lembaga adat, para maestro, pegiat pelindungan bahasa, dan tokoh masyarakat lain.
“Ini merupakan sebuah terobosan baru karena kegiatan revitalisasi yang kita usung melibatkan semua unsur pengguna bahasa daerah, baik itu yang berbasis sekolah maupun masyarakat,” ujar Aminudin Aziz, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, dilansir dalam laman kemdikbud.go.id.
Fokus tahun ini adalah merevitalisasi 38 bahasa daerah di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Maluku, Maluku Utara, hingga Papua.
Upaya pelestarian bahasa daerah sebagai perlambang keanekaragaman budaya bangsa ini harus disegerakan. Pasalnya saat ini 11 bahasa daerah dinyatakan sudah hilang lenyap; 8 dari Maluku dan tiga sisanya berasal dari Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Sementara 25 bahasa daerah lainnya berstatus terancam punah. Beberapa bahasa daerah yang terancam kehabisan penutur, antara lain ponosokan dan sangihe (dari Sulawesi Utara), konjo (Sulawesi Selatan), bajau tungkal satu (Jambi), lematang (Sumatera Selatan), dan suwawa (Gorontalo).
Biang kerok lenyap atau kritisnya sebuah bahasa lantaran jumlah penuturnya terus berkurang. Sedikit penutur yang tersisa itu juga sudah uzur. Hanya menggunakan bahasa daerah kepada rekan sepantaran. Sementara generasi muda enggan mempelajari atau menggunakannya.
Padahal menurut hemat Asistant General for Education UNESCO Stefania Giannini, jika bahasa daerah berada dalam kondisi kritis, maka bersama bahasa daerah itu, budaya dunia dan sistem pengetahuan leluhur ikut terancam punah.
Semua kembali berpulang kepada individu masing-masing. Sebab apa pun program yang diluncurkan pemerintah untuk menjaga eksistensi sebuah bahasa daerah, tetap akan sulit terwujud tanpa adanya kemauan untuk sama-sama melestarikannya. Caranya tiada lain dengan mempelajari, menggunakan, dan mewariskannya kepada generasi selanjutnya.
Penyanyi Ardhito Pramono coba melakukan ikhtiar serupa lewat album terbarunya, Wijayakusuma. Ada semacam perasaan bersalah akibat selama ini terlalu asyik mencipta lagu menggunakan lirik bahasa asing.
“Gue melihat banyak sekali dampak kurang baik dari karya gue selama ini yang menggunakan bahasa Inggris. Misalnya, teman-teman musisi baru yang akhirnya ikut memilih menggunakan bahasa Inggris dalam karyanya. Gue tidak ingin bahasa kita lenyap digantikan oleh bahasa asing dalam sebuah karya,” ujar Dhito dalam jumpa pers yang berlangsung di Kafe Bartiserrie, SCBD, Jakarta Selatan (13/7/2022).
Mohammad Istiqamah Djamad, mantan vokalis Payung Teduh yang kini mantap bersolo karier dengan nama panggung Pusakata, juga pulang ke akar dengan mempelajari bahasa ibunya, Bugis. Gara-gara seorang kawannya bernama Douglas yang asli Amerika Serikat, tapi kini menetap di Soppeng, Sulawesi Selatan, lebih fasih berbahasa Bugis ketimbang dirinya.
“Bule sekeluarga jago banget bahasa Bugisnya. Gue malu. Malu banget sama dia,” ungkap Is kepada Soleh Solihun dalam acara “Podcast Naik Clas”.
Penggunaan dan penguasaan terhadap bahasa asing tentu saja penting. Mengingat dunia yang seolah makin kecil saja sehingga warga dunia dengan mudahnya bisa terkoneksi. Aneka ragam bahasa pergaulan yang menjamur juga bukan sesuatu yang haram. Toh, setiap generasi atau kelompok masyarakat melahirkan ragam bahasa informalnya sendiri sebagai penanda identitas.
Kita pernah mengenal yang namanya bahasa prokem, bahasa gaul, bahasa alay, hingga yang sekarang sedang tren penggunaan bahasa Jaksel yang membaurkan kosakata Indonesia dengan Inggris.
Demikianlah bahasa. Terus berkembang lentur di tengah masyarakat. Teringat pesan seorang munsyi nan bijak-bestari, kiranya pergunakanlah bahasa menyesuaikan tempat. Berbahasa gaul di lingkungan pertemanan agar lebih mudah diterima oleh lingkup pergaulan, cas-cis-cus dengan bahasa asing agar tidak ketinggalan dalam pergaulan dunia modern, dan giliran menggunakan Bahasa Indonesia saat menghadiri acara formal. Sementara tak kalah pentingnya melestarikan bahasa daerah agar tak tercerabut dari akar budaya sendiri.
“Utamakan Bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing,” tulis Ivan Razela Lanin, wikipediawan pencinta bahasa Indonesia, suatu ketika melalui akun Twitter-nya.