Oleh Wina Armada Sukardi, kolektor lukisan Hardi
Hari ini (Rabu, 3/1/2024) tepat tujuh hari pelukis dan budayawan Hardi wafat. Berikut bagian keempat dari lima tulisan serial In Memorium Tujuh Hari Wafatnya Pelukis Hardi karya wartawan senior Wina Armada Sukardi. Selamat menyimak.
Jakarta, Koridor.co.id – Sebagaimana dengan banyak seniman besar lainnya, persahabatan saya dengan Hardi tak banyak orang tahu, termasuk para seniman dan para pelukis.
Mereka tak banyak yang menyangka, Hardi dapat bersahabat dengan saya, seorang wartawan hukum dan kebudayaan serta seorang advokat yang terkesan “serius.” Hardi mereka nilai sering temparemental dan pelukis yang selalu bicara apa adanya. Manalah mungkin dua kepribadian semacam itu dapat bersatu, demikian pikir banyak orang.
Saya banyak bersahabat dengan seniman-seniman tulen yang tenar, bukan seniman “abal-abal” yang cuma berpakian asal “dekil and the kumel,” tapi tanpa karya berarti. Karena itu, saya menjadi paham bagaimana menghadapinya.
Dari dunia seni rupa, saya antara lain, bersahabat dengan Nyoman Gunarsa dan Kriyono almarhum, sekadar menyebut dua contoh nama. Dari pengalaman itu, saya mengerti kapan harus mendengarkan mereka. Kapan memuji mereka, kapan juga harus mengkritik dan mencela tanpa mereka sakit hati, tetapi mereka mengetahui apa yang kita pikiran dan rasakan.
Hardi Sahabat Dekat Biasa Berdebat
Demikian juga persahabatan saya dengan Hardi. Saya dapat “menempatkan” diri dalam berinteraksi dengannya. Tetapi, ini tak berarti penuh basa-basi. Hardi tetaplah seniman yang blak-blakan. Kalau dia pandang tak sesuai dengan pikirannya, Hardi tetap mencelanya. Termasuk kepada saya. Bahasanya pun umumnya lugas, tegas.
Menyadari ada niat baik di belakang ucapan-ucapan Hardi, saya selalu maklum. Tak ada rasa sakit hati.
Sebaliknya saya juga berlaku begitu. Sering membantah pendapatnya dengan pernyataan yang keras. Walhasil, kami kerap berdebat dengan argumentasi terbuka. Sepanjang saya ingat, “debat” kami pada akhirnya sampai pada kesimpulan yang sama.
Sedemikian dekat hubungan kami, Hardi sering mengusulkan ke panitia panitia pameran lukisan agar saya yang membuka pameran lukisan, baik Hardi ikut berpameran atau pun tidak ikut.
Bermula dari Radio ARH
Persabahatan saya dengan Hardi sudah berjalan panjang. Sekitar 1976, saya mulai sering main ke Radio ARH yang terletak tak jauh dari pintu masuk Taman Ismail Marzuki (TIM) waktu itu. Saya ke sana untuk berlatih teater. Namanya dulu Teater Bengkel Belia ARH, di bawah asuhan Arthur John Horoni.
Selain itu, saya ke sana untuk membentuk komunitas pendengar Radio ARH, satu-satunya radio pendidikan di Jakarta sampai sekarang. Pendengar Radio ARH menyasar kalangan menengah bawah. Mereka memang haus pendidikan tetapi mungkin sulit menembus universitas. Segmen ini berbanding terbalik dengan Radio Prambos -waktu itu juga terkenal- yang mengarah ke segmen menengah atas.
Radio ARH terkenal kritis terhadap hampir semua aspek kehidupan dan penghidupan berbangsa dan bernegara. ARH merupakan salah satu radio pengkritik pemerintah yang keras. Bukan hanya politik, Radio ARH juga mengkritik aspek-aspek kebudayaan, terutama musik dan sastra.
Saya di usia yang sangat muda, mendapat kepercayaan mengasuh acara “Ilmu-ilmu Sosial.” Rubrik itu, selain saya tampilkan dalam bentuk narasi, juga dalam ragam dialog, drama, dan tanya jawab.
Cover Kumpulan Puisi Tempe
Sikap Radio ARH yang kritis rupanya sejalan dengan sikap Hardi. Dia pun lantas sering main ke ARH kalau kebetulan ke TIM. Dari sana Hardi mulai bergaul dengan kami.
Waktu ARH menerbitkan buku kumpulan Puisi Tempe, Hardi-lah yang menggarap covernya. Sebelum meninggal, Hardi pula yang mengerjakan desain buku Puisi Tempe jilid 2. Jika sebelumnya Hardi memilih desain hitam putih, kali ini covernya full color.
Itu buku kumpulan karya lima penyair, yakni Muwardi Muchtar, Eka Budianta, Heryus Saputro, Wina Armada Sukardi, dan Arthur John Horoni. Buku tersebut bakal segera terbit.
Hardi Pelukis Bergaya Hidup Modern
Selanjutnya, kami sering berinteraksi. Kami banyak ngopi-ngopi di mall, bukan di warung-waring sederhana.
Kata Hardi, “Pelukis sekarang, banyak yang tidak sadar zaman udah berubah. Mereka kurang bergaul di tempat-tempat yang sesuai zaman. Makanya, pelukis sekarang sering pengalaman dan pikirannya masih sama dengan pelukis tahun 30an sampai 60an. Sehingga, kalau melukis sesuatu yang terkait suasana modern, banyak dari mereka yang jelas kelihatan gagal.”
Atas dasar itu, Hardi berpendapat, para pelukis harus lebih sering ke mall. Tujuannya agar menyesuaikan diri demgan deru suasana jiwa yang modern atau sesuai zaman. Selain itu, cara demikian dapat memiliki koneksi kaum berduit calon-calon konsumen!
Ada satu tempat di suatu sudut di satu mall yang menjadi tempat favorit Hardi. Ini lantaran dari tempat itu kita dapat memandang ke semua sudut. Mereka yang berlalu lalang dari arah depan atau belakang, terpantau mata. Sayangnya, belakangan tempat yang ada di satu kafe itu tutup. Akibatnya, Hardi tak lagi dapat duduk di sana.
Dugem dan Traktir Makan
Sekali-kali saya juga mengajak Hardi “dugem.” Misalnya ke diskotik atau karoke, tempat yang tata nilainya berbeda dengan di dunia nyata. Di sana serba permisif. Awalnya Hardi masih canggung, tapi setelah beberapa kali ke sana, dia cepat beradaptasi.
“Pergaulan Anda luar biasa, dari kampus, seniman sampai hiburan malam paham….,” kata Hardi, entah sesungguhnya atau ingin menyindir saya. Kami hanya tertawa-tawa.
Sesekali, saya suka iseng mengirim pesan WA kepada Hardi. Isinya foto-foto wanita dengan pakian seronok. Hardi biasanya menanggapinya dengan tersenyum. “Nakal juga ya!” jawabnya.
Pada umumnya sayalah yang menjadi “badar” alias yang bayar makan minumnya kalau kami keluar makan, karena memang sayalah yang sering mengajaknya. Kalaupun dia yang mengajak, saya tetap merasa wajib “tahu diri” membayarnya.
Walaupun demikian, sekali-kali Hardi ikut membayar. “Udah ndak usah khawatir, biar saya yang bayar!” katanya dengan wajah ceria.
Ada apa rupanya? “Saya lagi banyak duit! Hahaha…”ungkap Hardi dengan bangga.
Kalau sudah begitu, saya paham. Saya tak mungkin mencegahnya. Maka saya biarkan saja dia yang bayar.
Ramalan Ibu dan Rasa Syukur
Berkali-kali Hardi bercerita. Saat dia kecil, ibunya bercerita anaknya itu bakal melakoni pekerjaaan yang enak. Hidupnya nyaman. Pekerjaaan dia akan sesuai dengan kepuasasan hati nuraninya sekaligus menghasilkan uang.
Mulanya Hardi mengaku tak paham apa maksud ibunya itu. “Ternyata, yang maksud Ibu saya, ya jadi pelukis ini,” beber Hardi.
Dia akhirnya menjadi pelukis yang bekerja sesuai hati nurani dan menghasilkan uang. “Dari awal rupanya ibu saya sudah mengetahui saya bakal jadi pelukis.”
Hardi juga sering bercerita, bagaimana pun kehidupan dan penghidupannya harus dia syukuri. Pelukis kondang itu membandingkan kehidupan dan penghidupan dirinya dengan seorang penyair terkenal yang juga teman dekatnya dan sudah agak lama meninggal. Dia bercerita sang penyair beken itu relatif sulit dalam kehidupannya. Rumah tangganya berantakan. Anak-anaknya mengalami kesulitan ekonomi. Sekolahnya juga kocar-kacir. “Jadi, begini-begini juga, saya alhamdullilah hidup saya cukup baik, “ ungkapnya. (BERSAMBUNG …)
BACA JUGA:
Lukisan Besar, Keindahan Seni, dan Kepekaan Karya Hardi (1)