Generasi muda Kampoeng Batara di lingkungan Papring Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, dididik agar tidak lupa akar budaya. Prinsipnya semua orang adalah guru dan alam raya, sekolah

Koridor.co.id

Belajar budaya di Rumah Bambu-Foto: Instagram Kampoeng Batara.

Widie Nurmahmudy, seorang warga Lingkungan Papring, Kalipuro, di kawasan Banyuwangi, Jawa Timur paham zaman dahulu kalan konon banyak tanaman bambu, sehingga oleh para leluhur disebut Papring (Panggone Pring/Tempat Bambu).

Sayangnya pengetahuan kearifan lokal ini nyaris punah di generasi muda, karena anak-anak Batara tidak bisa membedakan antara tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) dan petai (Parkia speciosa). Karena, melihat daun, sekilas hampir sama. 

Bukan itu saja Widie prihatin dengan rendahnya tingkat pendidikan di Papring. Angka pernikahan usia anak tinggi hingga akhirnya kebanggaan terhadap kampung pudar.

Secara geografis Papring berjarak sekitar 15 kilometer atau bisa ditempuh dengan 30 menit perjalanan darat dari pusat Kota Banyuwangi. Wilayah ini berada di pinggiran hutan KPH Banyuwangi Utara dengan kondisi jalan menanjak dan aspal yang sebagian sudah mengelupas.

Masuk ke kampung, jalannya berupa batu dengan lebar tak kurang dari tiga meter. Meski hanya berjarak 30 menit dari pusat Kota Banyuwangi, Papring dikenal sebagai daerah pelosok yang sulit dijangkau.

Berdasarkan kegelisahan itu Widie memprakasai berdirinya sekolah alternatif bernama Sekolah Adat Kampoeng Batara pada Oktober 2015. Kepada Koridor, Rabu, 4 Januari 2023, ia menyebutkan, kontennya terdiri atas Pendidikan Sekolah Adat sebesar 80 persen, disertai praktik dan pengembangan motorik. Seperti kesenian, sastra, konservasi, bercocok tanam, baca tulis hitung, kerajinan bambu dan sebagainya.

Selain itu diajarkan kearifan lokal tentang pangan, pengenalan terkait tanaman Holtikultura dan obat, permainan tradisional, seni budaya dan ritual adat yang ada di Kampung Papring, Kalipuro Banyuwangi.

Keberadaan Sekolah Adat Kampoeng Batara (Kampoeng Baca Taman Rimba) merupakan alternatif pendidikan berbasis kearifan lokal.

Pengenalan dan pelestarian adat, tradisi dan budaya, ketahanan pangan, penjagaan bahasa ibu, permainan tradisional, alam dan kampung halaman. Sebagai upaya membangun karakter agar generasi Indonesia tidak lupa akar budayanya. Dan berdampak malu pada kampung halamannya.

“Budaya ini dimiliki oleh setiap kampung atau wilayah lain, tinggal mengelola saja, apakah akan dijaga atau dibiarkan dijajah oleh kebudayaan lain,” imbuhnya.

Maka, perlu ada ruang bersama, melalui pendidikan inilah, diharapkan, kebudayaan ini terjaga, tanpa harus membebani dengan materi yang bersifat top down atau dari lembaga, tapi menjaring ide-ide dan konsep secara bottom up, yaitu dari masyarakat lokal itu sendiri.

Proses pendidikan di Sekolah Adat Kampoeng Batara tidak berorientasi pada profit. Namun, lebih fokus pada pengembangan dan membangun karakter. Kegiatan dilakukan di Rumah Bambu Papring.

“Sistem di sini tidak memakai kurikulum pemerintah, tapi menggunakan kurikulum sendiri. Kurikulumnya bersumber pengetahuan dari masyarakat, akademisi maupun lembaga yang sejalan dalam dunia pendidikan,” tutur Widie.

Ilustrasi-Foto: Instagram Kampoeng Batara.

Berdasarkan prinsip pendidikan nontransaksional, beberapa anak dari Kampoeng Batara mendapatkan beasiswa dari sekolah-sekolah formal, mulai tingkat SMP, SMA hingga perguruan tinggi. Saat ini, ada seorang anak ke perguruan tinggi , 8 anak lanjut ke SMA, 26 anak ke SMP. Semuanya tanpa biaya.

“Keberhasilan tidak bisa ditentukan dengan hitungan tahun. Mengingat setiap orang memiliki potensi, bakat minat berbeda. Berbeda dengan konteks akademisi yang mana tingkat keberhasilan ditentukan angka,” tegas Widie Nurmahmudy.

Artikel Terkait

Terkini