Keanekaragaman cerita mutlak diperlukan demi menyehatkan industri perfilman. Dengan begitu penonton jadinya punya lebih banyak pilihan. Salah satu unsur pembeda bisa muncul dalam sebuah film yang penggarapannya dilakukan oleh sineas-sineas daerah di luar Jakarta yang selama ini menjadi pivot.
Diferensiasi tak sebatas hanya dari materi konten semisal penceritaan, tapi juga sudut pandang sineasnya. Film tentang Tanah Papua tentu akan kental perbedaannya saat disutradarai langsung oleh sineas yang tumbuh besar di sana dibandingkan ketika disutradarai orang yang selama ini jauh dari Papua.
Meminjam bahasa Bene Dion, sutradara film Ngeri-Ngeri Sedap, saat dihubungi Koridor beberapa waktu lalu, sebisa mungkin menggunakan perspektif, konflik, dan pola pikir warga setempat yang menjadi latar cerita film. Jangan melulu datang membawa sudut pandang orang kota untuk menyelesaikan permasalahan orang di daerah. Enggak masuk itu barang jadinya.
Beruntung geliat sineas yang tersebar di berbagai daerah sekarang makin getol membuat film. Masing-masing kemudian menampilkan ciri khas daerahnya yang selama ini jarang dilirik untuk diangkat ke layar lebar.
Tambah lagi biasanya semua pemain dan kru melibatkan talenta setempat. Dengan demikian sangat kecil kemungkinan kita mendengarkan dialek dari sang pelakon yang terasa dipaksakan. Pun demikian, kekurangan masih banyak kita jumpai sana-sini tentu juga patut diperhatikan demi mendorong adanya peningkatan, mulai dari aspek teknis dan nonteknis.
Hal itu diamini Oki DM saat menggarap film Pendekar dari Bukit Kalaumang: Mencari Mamanya. Maka ia tak pernah merasa harus kecewa berlebih ketika ada penonton yang kelar menyaksikan filmnya di XXI Palu Grand Mall melontarkan beragam kritik.
Segala lontaran dari orang-orang yang telah menyaksikan hasil karyanya bersama kawan-kawan seperjuangan dianggapnya sebagai masukan berharga. Toh, para penonton sudah mengorbankan waktu dan uang untuk datang ke bioskop.
Menggarap sebuah film panjang yang kemudian mendapatkan slot penayangan di studio XXI merupakan pengalaman perdana.
Pemilik nama lengkap Oki Daeng Mabone ini mengawali karier di ranah hiburan sebagai seorang komika. Ia tergabung dalam komunitas Standupindo Palu. Prestasi sebagai juara Stand Up Comedy Academy 2018 melambungkan namanya.
Kepopuleran yang kemudian berimbas dengan banyaknya jumlah pengikut di media sosial. Tambah lagi Oki konsisten memproduksi konten humor yang memancing gelak tawa. Alhasil tawaran dari berbagai produk untuk dipromosikan kemudian mampir. Pemengaruh alias influencer dan pencipta konten atawa content creator istilah bekennya sekarang.
Inspirasi nama dan sosok Pendekar Kalaumang juga berawal dari sebuah tawaran mempromosikan sebuah produk. “Cuma awalnya mereka itu minta produknya ditampilkan ala kolosal seperti film-filmnya Jackie Chan. Berhubung karena properti dan pakaian terbatas, akhirnya saya pakai yang seadanya. Jatuhnya lebih mirip kolosal ala film Angling Dharma,” ungkap Oki kepada Koridor saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat (29/7/2022) siang.
Proses syuting untuk promosi iklan tadi berlangsung di belakang rumah Oki. Lokasinya di daerah Tondo, Mantikulore, Palu. Ada hamparan perbukitan yang berderet di sana yang sekilas dilihatnya mirip kalaumang atau kelomang. Maka terbersit ide menamai sosok yang diperankannya sebagai Pendekar Kalaumang.
Hasilnya ternyata beroleh banyak respons positif. Pandemi Covid-19 yang melanda kemudian menyisakan banyak waktu luang baginya. Demi mengisi kekosongan waktu sekaligus ingin menghibur diri sendiri, Oki lalu mengajak kawan-kawannya melanjutkan kisah petualangan sang pendekar. Genre komedi tentu saja kental di dalamnya.
Perangkat syuting mengandalkan kamera Canon PowerShot G7 X Mark II tanpa penggunaan mikrofon tambahan. Tidak ada yang namanya skrip. Benang merah cerita disampaikan Oki langsung kepada para pemain dan kru yang jumlahnya sangat minim.
Kelar syuting, ia langsung membawa berkas tersebut untuk dilakukan penyuntingan. Setelahnya harus tancap gas lagi ke tempat lain untuk melakukan penyulihan suara. Merasa semuanya sudah oke, Oki langsung mengunggahnya di YouTube. Demikian proses yang dilakukan Oki selama memproduksi serial Pendekar Kalaumang.
“Sebenarnya meletihkan betul prosesnya. Hanya saja karena kami semua melakukannya untuk senang-senang, jadi seolah rasa capeknya hilang. Padahal capek kalau mau dipikir-pikir,” kata Oki sambil terbahak.
Rangkap tugas sebagai pemain, pencetus ide cerita, sutradara, dan produser harus diembannya. Sungguh melelahkan, tapi terbayar saat Pendekar Kalaumang mendapatkan banyak apresiasi. Kiprah sang pendekar akhirnya terus berlanjut. Wujudnya masih berupa video pendek untuk mengisi konten di akun YouTube miliknya.
Hingga pada satu titik timbul keinginan untuk membuat kisah petualangan Pendekar Kalaumang dengan durasi lebih panjang. Lagu tema yang sebelumnya sudah lebih dahulu rampung diperkaya kehadiran poster. Niatan tersebut ternyata bersahut tantangan balik; sekalian bikin film panjang.
Oki kemudian meminta pendapat Adi Rahmad, tandemnya selama memproduksi serial Pendekar Kalaumang bertugas sebagai juru kamera, penyunting gambar, juga produser.
Saat tantangan yang dilontarkan tadi mendapatkan mufakat, mulailah duo ini merekrut beberapa personel untuk mengisi pos-pos penting dalam sebuah produksi film. Hanya tim kecil berisi teman-teman dekat yang sama punya keinginan untuk bersenang-senang menelurkan sebuah karya sembari menambah pengalaman. Peralatan syuting pun mengusahakan semaksimal yang mereka bisa.
Beruntungnya ada banyak kawan yang bersedia membantu dengan perasaan suka cita yang sama. Beban ongkos produksi film Pendekar Kalaumang sedikit terbantu berkat kehadiran beberapa sponsor.
Total jenderal, Oki dkk. menghabiskan empat hari syuting yang semua lokasinya berlangsung di Dolo, Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng). Sementara proses pascaproduksi menghabiskan waktu sekira empat bulan lamanya.
Setelah rampung, termasuk surat tanda lulus sensor dari Lembaga Sensor Film sebagai syarat untuk tayang di bioskop, Oki mendatangi pihak XXI di Palu Grand Mall untuk mengunci tanggal penayangan. Sistemnya booking studio. Selama tiga hari tayang, 26-28 Juni 2022, penonton selalu membludak meski harga tiket dibanderol Rp100 ribu per orang.
Kelar berkelana di Palu, langkah Pendekar Kalaumang berlanjut ke Parigi, Sulteng, sebuah kabupaten yang jadi kampung halaman Oki. Rencana berikutnya ingin mengadakan pemutaran film ini ke kabupaten-kabupaten lain di seantero Sulteng.
“Ada kepuasan batin yang tak ternilai harganya saat film ini tayang mendapatkan apresiasi. Rencana bikin sekuel film sudah ada, tapi saya harus menambah kemampuan seperti ikut lokakarya dan semacamnya. Prinsipku bikin saja dulu. Ada pun segala suara-suara yang mencibir itu urusan belakangan,” pungkas Oki.
Optimisme dan kemauan besar membuat film yang menonjolkan lokalitas daerah bukan hanya terpatri di benak Oki dan rekan-rekannya yang membidani lahirnya Pendekar Kalaumang.
Spirit serupa juga menghinggapi banyak sineas di daerah-daerah lain. Berupaya maksimal menghasilkan karya dengan segala keterbatasan yang ada. Hingga medio tahun ini sudah tercatat ada beberapa film yang dapat kesempatan tayang di layar lebar. Beberapa judul itu, antara lain Bede – Pulang ke Pelukmu (produksi Pontianak, tayang 2/2), Ambo Nai Supir Andalan (Bone, 24/2), Selimut Kabut Rongkong (Luwu, 7/4), Walking Dead – Tomate (Toraja, 14/4), Sang Saudagar #Tabepuang (Makassar, 21/4), dan Wanalathi (Gorontalo, 11/8).
Menghadirkan sajian film produksi dengan pendekatan regional nan spesifik diharapkan mengikis anggapan bahwa Indonesia hanya Jakarta. Sebab wajah negeri ini teramat beragam. Mulai dari suku, budaya, bahasa, bahkan aksen, tidak cukup jika sekadar direpresentasikan dari sudut pandang ibu kota.