“Hidup seperti main petak umpet, selalu ada yang disembunyikan,” kata Hayat (Baskara Mahendra), seorang pujangga kepada Ranum (Mawar de Jongh). Kalimat itu diutarakan ketika kedua anak muda ini bermain petak umpet yang awalnya romantis, tetapi cukup menakutkan.
Hayat yang ‘jaga’ bukan menemukan Ranum, tetapi anak kecil yang main tali, lalu berubah menjadi Ranum.
Main petak umpet itu disajikan lewat beberapa adegan merupakan salah satu kunci dari film anyar dari Garin Nugroho. Sutradara yang kondang lewat Cinta dalam Sepotong Roti (1990), Surat untuk Bidadari (1992) yang membawanya ke panggung internasional tetap konsisten dengan pakemnya, artistik dan puitis, sekalipun kali ini menggarap genre horor.
Puisi Cinta yang Membunuh merupakan adaptasi dari kumpulan puisi cinta karyanya sendiri, Adam, Hawa dan Durian, yang diterbitkan pada 1990-an.
Prolog film ini sudah sangat puitis, ketika Ranum membacakan monolog di tengah ruangan didominasi warna putih merah dan kuning yang simbolnya mewakili apa sukar dicerna: “Jika puisi bisa menghidupkan cinta, maka puisi juga bisa membunuh.”
Adegan berikutnya tak kalah provokatif, Ranum ikut kelas memasak dari seorang chef bernama Rendy (Morgan Oey) yang rupanya naksir dia dan mengejarnya ke apartemennya. Ranum tidak suka tetapi Rendy begitu gigih dan merayu lewat kata-kata “Jika untuk satu orang, maka seluruh hatiku pada orang itu.”
Adegan ketiga Rendy hadir di sebuah pesta ulang tahun bergaya gotik dengan suasana Haloween untuk seorang teman perempuannya. Dia menyiapkan sebuah kue. Namun seseorang membunuhnya dengan kejam. Lewat adegan inilah Garin menjadi Timo Tjahjanto yang khas dengan slashernya, tetapi dia konsisten, tetap artistik.
Karena dekat Ranum menjadi tidak nyaman dengan kematian Rendy yang menjadi viral. Dibantu psikolog Anna (Raihaanun) dan Laksmi (Ayu Laksmi) seorang terapis healing, Ranum mencoba mencari ketenangan jiwanya.
Garin mengajak penonton bermain puzzle untuk disusun satu demi satu. Hasilnya baru pada pertengahan cerita, kita baru bisa menangkap ceritanya.
Muncul karakter-karakter absurd, seperti seorang pria berkulit gelap dan seorang perempuan membawa boneka menterornya dan menganggapnya sebagai iblis.
Tadinya, sepertinya Ranum sosok horor itu. Garin menghadirkannya lewat adegan slasher yang cukup orisinil, ketika gadis ini membantai pengajarnya di sekolah perancang busana. “Aku tidak menjahit kain, tetapi menjahit tubuhmu.” Mukanya begitu sakit dan memberi kesan dia mempunyai kepribadian ganda.
Tetapi ternyata tidak semudah itu menebak ending cerita. Pelan-pelan penonton digiring dia mengetahui serangkaian teror memang berhubungan dengan diri Ranum sekaligus masa lalunya. Tetapi bukan dia pelakunya.
Acungan jempol patut diajukan kepada Mawar de Jongh yang penampilannya terus membaik setelah Bumi Manusia, Miracle Cell No 7, yang memberikan indikasi bahwa dia adalah aktris masa depan Indonesia.
Film ini juga menawarkan bait-bait puisi indah mengimbangi darah yang berhambur. Misalnya Kita adalah Adam dan Hawa tanpa buah apel, tetapi dengan durian dan nasi campur. Begitu juga epilognya puisi tak kalah indah:
Hatiku telah meranum bunga. Jiwaku telah meranting pohon. Dan kita pun selalu berpandangan. Dan kita pun berpuisi cinta. Puisi yang menjadi kunci lain bagi mereka yang menonton film ini untuk memahami makna. Bravo Garin memberikan alternatif sebuah film horor.