“Saya tidak bisa mundur lagi. Sudah 17 tahun saya menanti saat seperti ini,” ucap Kartika Rozak (Mawar Eva de Jongh) kepada Hendro Sanusi (Denny Sumargo), Kepala Sipir Lapas tempatnya ayahnya Dodo Rozak (Vino. G Bastian) ditahan.
Kartika mengajukan peninjauan kembali kasus pembunuhan sekaligus pemerkosaan terhadap bocah perempuan bernama Melati Wibisono (Makayla Rose) yang dituduhkan pada ayahnya.
Tuduhan itu menjadi bias, karena pertama, Dodo seorang penyandang keterbelakangan mental, yang bukan saja tidak bisa membela dirinya sendiri, tetapi membuat cerita runtut saja belepotan. Tetapi kok BAP-nya begitu lancar?
Kedua, ayah dari Melati, William Wibisono (Edil Dzuhrie Alaudin) seorang politisi yang punya pengaruh dan berkuasa. Ingin kasus terhadap anaknya cepat selesai, kalau perlu melakukan tekanan dan intimidasi.
Demikian pembukaan film Miracle in Cell No.7, sebuah film yang tepat hadir di tengah kegamangan terhadap keadilan hukum. Masyarakat banyak menilai hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Namun film ini bukan thriller atau film berat soal hukum, tetapi drama keluarga yang fokus pada hubungan ayah dan anak.
Film ini remake dari film Korea bertajuk sama. Plot asli merupakan ciptaan Lee Hwan-kyung. Selain Indonesia dengan sutradara kondang Hanung Bramantyo, film ini juga diremake oleh sineas India dan Turki.
Versi asli dan remakenya semua sebangun orang keterbelakangan mental jadi terdakwa pembunuhan dan perkosaan anak kecil, namun ayah dari anak kecil punya kekuasaan hingga korupsi dan suap.
Ceritanya bersetting 2002 ketika Dodo, hanya ingin menjadi ayah yang baik bagi anaknya, Kartika kecil (Graciella Abigail) setelah istrinya meninggal. Memiliki keterbatasan dalam hal kecerdasan, Dodo menghidupi anaknya dengan berjualan balon.
Kartika kerap menjaga dan merawat sang ayah. Keduanya hidup bahagia. Rutin bermain cilukba setiap Dodo mengantar Kartika ke sekolah, Mereka suka naik sepeda menyanyikan lagu kupu-kupu, membeli martabak kesukaan Ibu Kartika dan dimakan dengan nasi.
Kebahagian itu sirna pada suatu ketika dia dituduh membunuh dan memperkosa Melati. Kartika kecil tidak mengerti mengapa ayahnya tidak pulang sampai tetangganya memberi tahu. Dia pun dititipkan di rumah yatim piatu.
Dodo dimasukkan ke penjara, lebih tepatnya ke sel nomor tujuh, yang dihuni oleh napi-napi beringas. Di antaranya, Japra (Indro Warkop), Jaki (Tora Sudiro), Yunus (Rigen Rakelna), Atmo (Indra Jegel) dan Asrul (Bryan Domani).
Mulanya Dodo mendapat perlakukan kasar, namun dalam suatu peristiwa Dodo menyelamatkan nyawa Japra dari upaya penusukan yang dilakukan Okto (Rifnu Wikana), seterunya. Hingga akhirnya geng Japra menerima Dodo sebagai saudara. Bahkan mereka mampu menyelundupkan Kartika ke dalam selnya.
Kehidupan Kartika dan Dodo di sel membuat para napi tersentuh, bahkan diikuti Hendro, kepala lapas. Hendro pernah kehilangan anaknya karena kasus perkosaan dan pembunuhan. Dia sempat hanya tidur di kantor. Dia luluh dan akhirnya mau kembali ke keluarganya.
Hendro dan para napi mulai ragu apakah pria penyayang seperti Dodo pemerkosa dan pembunuh? Puncaknya Hendro, Sang Kepala Lapas mempertaruhkan karirnya mengajukan banding bagi Dodo. Walaupun dia tahu berhadapan dengan pengaruh kekuasaan mengintervensi hukum.
Hanung memasukkan unsur budaya Indonesia seperti lagu Ittiraf yang dipopulerkan (almarhum) Jefri Al Buchori dijadikan lagu pertunjukan di acara Ramadan lapas, namun juga upaya kaburnya Dodo dan Kartika dengan balon udara.
Plot rigid, adegan satu dengan yang lain berkaitan. Misalnya Juwita, istri Dodo dulu sering mengingatkan kalau baju basah itu harus diganti kering, menjadi kunci apa yang terjadi di rumah William Wibisono.
Selain itu Asrul digambarkan jadi terdakwa karena melakukan hacker, hingga kerap diminta bantuan mengatasi virus komputer milik Hendro. Soal hacker ini cukup menyegarkan, karena sekarang menjadi masalah. Geli juga dalam suatu adegan, sipir ketakutan ada gambar porno bisa hadir di komputer milik lapas, hingga diminta Asrul menghapus.
Berkat Asrul kejanggalan kasus Dodo bisa diendus para napi di geng Japra. Belakangan Okto ikut memberikan bantuan.
Yang jadi pertanyaan dalam film ini, baiklah memang kekuasaan kerap mengintervensi hukum. Tetapi orang punya keterbelakangan mental dipercaya begitu saja sebagai pelaku dengan saksi yang tidak melihat langsung, seolah aparat hukum hanya ingin cepat beres perkaranya?
Masak tidak disediakan pengacara yang didukung psikolog? Apakah tidak ada LBH yang biasanya berani melawan kekuasaan, walaupun kalah? Masa media diam saja? Pertanyaan yang sama dilontarkan di versi aslinya maupun remake dari negara lain.
Mudah-mudahan kejadian dalam film ini fiktif belaka seperti dinyatakan di akhir film dan tidak pernah terjadi di dunia nyata. Ingat sebuah film serial televisi lawas Dark Justice dengan motonya: Keadilan mungkin buta, tetapi dia bisa melihat dalam kegelapan.