Film Ivanna tembus satu juta penonton. Pencinta film tak pernah surut menyukai genre horor.

Koridor.co.id

Caitlin Halderman, salah satu pemeran dalam film Ivanna (Sumber: MD Pictures)

Pichouse Films, anak perusahaan MD Pictures yang khusus memproduksi film bergenre horor, akhirnya bisa merilis Ivanna di bioskop sejak 14 Juli 2022. Proses syuting filmnya sudah berlangsung Desember 2020.

Hantaman pandemi Covid-19 membuat rumah produksi urung menayangkannya lebih cepat. Pun tidak beralih ditayangkan melalui platform streaming semisal Netflix atau Disney+. Manoj Punjabi selaku produser film sejak awal menargetkan film Ivanna memang untuk tayang di bioskop.

Keputusan untuk bersabar menunggu kondisi lebih kondusif di tengah pagebluk terbukti menuai hasil positif. Memasuki hari keenam penayangannya di seluruh bioskop Indonesia, Ivanna berhasil menembus angka psikologis satu juta penonton.

Dengan demikian bertambah satu lagi film Indonesia rilisan tahun ini yang berhasil meraih penonton lebih dari satu juta. Sebelumnya sudah ada Kuntilanak 3 (1,3 juta penonton), The Doll 3 (1,7 juta), Kukira Kau Rumah (2,2 juta), Ngeri-ngeri Sedap (2,8 juta), dan KKN di Desa Penari (9,2 juta).

Saat hari perdana penayangannya, film adaptasi novel Meruntih Berang Ivanna van Dijk karya Risa Saraswati langsung tancap gas. Ada 205.899 lembar tiket berhasil terjual dari sekitar 1.791 kali penayangan di layar bioskop seluruh Indonesia. Melihat animo penonton, ekshibitor menambah jam pemutaran Ivanna hampir dua kali lipat memasuki hari kedua.

Film yang menjadi “pesaing” terberat Ivanna dalam hal perebutan jumlah layar dan jam tayang adalah Thor: Love and Thunder dan Minions: The Rise of Gru. Kedua film asal Hollywood tadi berinduk pada franchise yang tak main-main. Sementara Ivanna juga merupakan anak kandung dari semesta penceritaan Danur yang punya rekam jejak bagus dalam hal raihan jumlah penonton.

MD Pictures pertama kali mengalihwahanakan novel Danur milik Risa dalam bentuk film pada 2017. Awi Suryadi terpilih menjadi sutradara. Ini bukan kali pertama MD mengadaptasi kisah novel menjadi film. Manoj Punjabi sudah melakukannya lewat Ayat-Ayat Cinta (2008), Surga yang Tak Dirindukan (2015), dan Pesantren Impian (2016).

Kepada awak pers, Manoj terus terang mengaku lebih mudah bikin film hasil adaptasi sebab sudah ada dasar. Ibarat orang berdandan akan lebih terbantu jika punya cermin. Apa yang dimaksudkan dengan cermin, tentu selain penceritaan, juga pangsa pasar. Sebab kebanyakan hanya novel berpredikat “best seller” yang punya kesempatan terangkut ke layar lebar. Alasan lainnya untuk menyiasati kurangnya ide cerita orisinal yang menarik untuk difilmkan.

Ternyata upaya memfilmkan Danur berhasil. Film perdana yang mengusung subjudul I Can See Ghosts total meraih 2.736.391 penonton. Gampang ditebak, proyek adaptasi cerita Danur berlanjut menjadi sekuel. Meluncurlah Danur 2: Maddah setahun berselang yang membukukan 2.572.871 penonton.

Demi melihat potensi besar yang terkandung dalam kekayaan intelektual Danur, giliran Asih yang meluncur ke pasar pada 2018. Total penontonnya lebih dari 1,7 juta. Ini merupakan film sempalan yang masih termasuk semesta pengisahan Danur. Mirip The Nun (2018) dengan hantu biarawati bernama Valak yang merupakan spin-off dari semesta The Conjuring yang juga telah hadir beberapa seri.

Kehadiran Sunyaruri (2019) dengan bintang utamanya masih Prilly Latuconsina kemudian melengkapi trilogi Danur. Catatan jumlah penontonnya masih terjaga di atas dua juta.

Nasib kurang beruntung menimpa Asih 2. Saat ditayangkan periode Desember 2020, film arahan Rizal Mantovani yang diperkuat Marsha Timothy, Ario Bayu, dan Shareefa Daanish sebagai pemain hanya berhasil menorehkan 334.282 penonton. Kondisi di Tanah Air yang belum stabil akibat pandemi Covid-19 jadi alasan utama merosotnya jumlah penonton.

Oleh karena itu, MD Pictures tetap melanjutkan waralaba andalan mereka dengan merilis Ivanna. Dalam semesta penceritaan Danur, sosok Ivanna sebagai hantu Belanda muncul pertama kali lewat film Danur 2: Maddah (2018). Elena Victoria Holovcsak yang memerankannya kala itu. Sementara dalam film solonya, Ivanna gantian diperankan Sonia Alyssa.

Sosok yang kini menduduki kursi sutradara adalah Kimo Stamboel. Dalam keterangan persnya, sineas berusia 42 ini menyebut alasan menyutradarai Ivanna karena terpincut karakter dan latar waktu cerita.

“Saya tertarik dengan karakter dan sejarah Ivanna. Sebab dalam novel, kisah Ivanna setting-nya 1943. Saya dari dulu punya ketertarikan  untuk bikin sebuah film period horror yang mau coba saya eksplorasi. Kebetulan di sini ada kesempatan itu,” terang Kimo.

Manoj Punjabi selaku produser juga memberikan lisensi kreatif kepada Kimo, mulai dari soal treatment hingga ide-ide untuk dimasukkan dalam skrip yang ditulis oleh Lele Laila dan Risa Saraswati. Apa yang dimaksud dengan treatment adalah rangkaian peristiwa atau susunan plot yang dipaparkan secara filmis (audio-visual).

Sebagai sineas yang doyan mengumbar adegan-adegan jagal yang banjir darah, Kimo dikenal punya treatment spesial nan detail. Reputasi itu sudah dibangunnya bersama kompatriotnya di Mo Brothers, Timo Tjahjanto, sejak film Rumah Dara (2010) yang menjadi perpanjangan dari film pendek Dara.

Ketika menakhodai proyek film Ivanna, salah satu contoh elemen yang coba dimaksimalkannya di tengah keterbatasan adalah perkara autentisitas. Film ini menggambarkan periodisasi cerita, yaitu 1943 ketika penjajahan beralih dari Belanda kepada Jepang dan 1993 yang jadi masa Ambar.

Untuk itu Kimo berupaya agar mise en scéne alias segala yang terlihat di bingkai kamera terasa autentik, mulai dari kostum, kendaraan, aksesori, hingga cara para tokohnya berdialog.

Agar mendapatkan hasil maksimal di layar lebar untuk mengakomodir pendekatan Kimo menampilkan banyak adegan sadis, Manoj tak segan menggelontorkan dana sekitar Rp12-13 miliar untuk ongkos produksi Ivanna.

Dua poster film horor Indonesia yang terpajang di XXI Blok M Square, Jakarta Selatan (Foto: Andi Baso Djaya/Koridor)

Terlepas dari faktor waralaba besar yang menyertainya, pencapaian Ivanna sekali lagi membuktikan betapa genre horor selalu punya kans merebut perhatian banyak penonton film Indonesia. Tentu dengan syarat mutu senantiasa ditingkatkan, mulai dari nilai produksi, penceritaan, hingga promosi dan publisitas.

Hikmat Darmawan, kritikus film dan Wakil Ketua I Dewan Kesenian Jakarta, mengakui adanya perbaikan production value hingga estetik dalam produksi film horor lokal. Alhasil pangsa pasar untuk genre ini jadi yang paling stabil dengan segmen yang terus meluas.

Bukti sudah tersaji. Enam dari 10 film yang masuk daftar film terlaris Indonesia tahun ini berasal dari genre horor. Tahun lalu di tengah pandemi yang mengharuskan bioskop kadang buka kadang tutup, Makmum 2 masih bisa menyedot perhatian 1.764.372 penonton.

Jika coba merujuk lebih ke belakang, genre ini juga yang turut andil membangkitkan kembali industri perfilman dari tidurnya yang pulas sepanjang dekade 90-an. Momentumnya terjadi setelah duo sutradara Jose Purnomo dan Rizal Mantovani berkolaborasi menggarap film Jelangkung (2001). Jose dan Rizal sebelumnya lebih dikenal sebagai penggarap videoklip musik.

Awalnya tidak diniatkan sebagai konsumsi layar lebar, tanpa disangka Jelangkung sanggup bertahan di bioskop selama berbulan-bulan. Para penonton berjejal mengantre tiket. Total jenderal berhasil meraih 1,6 juta penonton.

Setelahnya genre film ini terus menerus hadir menebar keseraman di layar bioskop. Bersama drama dan komedi, horor menjadi genre film paling banyak diproduksi di Indonesia. Ada yang sukses, tapi banyak juga yang gagal.

Untuk tahun ini saja, masih ada beberapa judul film horor yang mengantre tayang di layar bioskop. Terdekat bakal tayang adalah Ghost Writer 2 yang mencampurkan horor dengan komedi. Lalu masih ada Pengabdi Setan 2: Communion dan The Sacred Riana 2: Bloody Mary.

Kedekatan masyarakat kita dengan dunia mistik jadi dalil utama mengapa genre ini tumbuh subur dan punya banyak peminat. Alasan lain dari segi keilmuan juga ada banyak. Salah satunya karena bisa memicu adrenalin (epinefrin) yang berperan penting untuk menjaga fungsi berbagai organ tubuh.

Sementara Dr. Christian Jarrett, seorang ahli saraf kognitif dan penulis sains, menyatakan bahwa film horor pada dasarnya menyediakan cara yang aman untuk melatih mental bagaimana mengatasi bahaya paling primitif dalam peradaban manusia, yakni ketakutan. Ada semacam perasaan senang dan kelegaan luar biasa ketika berhasil menaklukkan ketakutan yang hebat.

Hasil studi University of Westminster, Inggris, menyimpulkan aktivitas menonton film menyeramkan dapat membantu membakar kalori yang setara dengan sebatang cokelat kecil. Mereka yang menonton film horor selama 90 menit cenderung membakar hingga 113 kalori—angka yang sama dengan setengah jam berjalan kaki.

Dus, makin sahih alasan orang menyukai film horor.

Artikel Terkait

Terkini