“Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan pun hidup, kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja.” Maksudnya hidup dan bekerja harus memberikan makna dan manfaat bagi masyarakat, karena manusia bukanlah hewan.
Demikian ungkapan yang dilontarkan seorang ulama kharismatik Indonesia Bernama H. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) (17 Februari 1908-24 Juli 1981). Hamka tidak hanya ulama, tetapi juga filsuf, sastrawan, jurnalis, bahkan sempat menjadi politisi Masyumi.
Kehidupan Hamka ini diangkat ke layar lebar dengan tiga volume. Volume pertama film yang disutradarai oleh Fajar Bustomi dirilis 19 April 2023 mengisahkan kehidupan Hamka di Makassar pada 1933 hingga awal kemerdekaan.
Sejarah mencatat Hamka bertugas menjadi Ketua Muhammadyah di kota Anging Mamiri ini. Pada waktu itu Hamka (Vino G Bastian) sudah beristri dengan Siti Raham (Laudya Cynthia Bella). Namun kiprahnya rupanya membuat seorang tokoh Muhammadyah Makassar menawarkan anaknya Ola (Yuriko Angeline) menjadi istri keduanya.
Hamka menampik sekalipun Ola menyebut Surat Annisa ayat 3 yang memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai istri hingga 4, yang kerap dijadikan dalih oleh para laki-laki. Hamka memotongnya: Jangan lupa ada kalimat selanjutnya jika kamu tidak dapat berlaku adil sebaiknya satu saja.
Hamka mengetahui bahwa bukan kehendak Ola, tetapi dijodohkan orang tuanya. Karena tindakannya Ola melanjutkan pendidikannya dan menjadi guru. Raham pun mengetahui dan menyindir: “Sudah guru, cantik pula.” Hamka menimpalinya sambal naik bendi Ketika hendak meninggalkan Makassar: “Bagi saya cukup Umi seorang, istri yang paling elok.”
Pernyataan yang menandakan Hamka mampu melakukan rayuan gombal dan menjadi bucin pada masanya. Imajinasi ini membuat dia mampu sejumlah roman seperti Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.
Dua novel ini merupakan cara lain Hamka berdakwah dan serialnya yang dimuat dalam surat kabar Pedoman Masyarakat digambarkan digemari para ibu-ibu. Raham pula yang mendorong Hamka mengambil tawaran menjadi pimpinan redaksi surat kabar yang berbasis di Medan itu. Sementara Raham dan anak-anaknya tinggal di Padang Panjang. Sejarah mencatat Hamka berada di Medan sejak 1936.
“Minangkabau tanpa Islam hilang Minangnya yang tinggal Kabaunya,” ucap Hamka. Bagi dia dakwah harus didukung pengetahuan modern. “Bagaimana kita menyampaikan Akidah Tauhid kalau kota bodoh?” Hamka juga menyebut dalam Islam kebodohan adalah perbudakan dan yang paling kejam.
Hamka kemudian mengenal Sukarno, Hatta dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya. Tulisan-tulisan di Pedoman Masyarakat membuat berang Pemerintah Hindia Belanda. Kantor redaksinya digerebeg. Hamka tetap teguh. Suatu Ketika Abdul Karim Oei (Verdi Sulaiman) mengundangnya menemui Sukarno (Anjasmara) di pengasingannya di Bengkulu. Sukarno tertarik pada kiprah Hamka minta dikirim buku-bukunya.
Masa bekerja di Pedoman Masyarakat merupakan periode awal kejayaan Hamka. Periode ini diwarnai ujian ketika salah seorang anaknya Bernama Hisyam meninggal. Adegan ini cukup menyentuh Raham dengan tabah menemani. Hamka menerima telegram meninggal anaknya hanya bisa bersedih. Periode diakhiri dengan pendudukan Jepang dan Hamka menghadapi ujian yang lain.
Secara keseluruhan volume satu ini tidak terlalu banyak konflik, terlalu banyak beban untuk menyampaikan pemikiran Hamka walau cukup diimbangi dengan sisi romantis pasangan suami-istri ini.
Satu pernyataan Raham cukup menohok karena begitu miskinnya hanya mempunyai satu sajadah yang digunakan bergantian. “Saya berdoa agar kita diberikan rezeki untuk beli sajadah agar bisa salat berjamaah.”
Dari sisi penceritaan Buya Hamka Volume Satu lambat dan nyaris datar. Film ini sepanjang 106 menit ini benar-benar baru mulai terasa menjelang ending-nya, itupun sudah termasuk trailer dua volume yang tampaknya lebih menjanjikan secara cerita dan konflik.
Banyak tokoh yang sebenarnya ada dan muncul di masa muda Hamka baru hadir di volume 2 dan 3, namun tidak diberi penjelasan sehingga cukup membuat bingung penonton yang tidak tahu kisah hidup Buya Hamka sebelum menonton.