Fenomena cinta lokasi dan gosip percintaan para artis dilakukan studio-studio film Hollywood pada 1930-an hingga 1950-an

Koridor.co.id

Pada 1950-an, orang Indonesia sebagai pengusaha film benar-benar seperti orang baru. Mereka memulai usaha ini semuanya sebagai orang baru sejak penyerahan kedaulatan. Niat sineas Indonesia waktu itu, sekurang-kurangnya menyaingi pengusaha Tionghoa yang berpengalaman selama puluhan tahun dan praktis menguasai produksi film dalam negeri.

Bapak Perfilman Indonesia, Usmar Ismail mengungkapkan hal itu dalam artikelnya yang berjudul  3 Tahun Film Indonesia: Diperlukan dengan Segera Politik Film Jang Aktif dalam Pikiran Rakjat, edisi  3 Januari 1953.

Para sineas Indonesia, menurut sutradara Long March atau judul lain Darah dan Doa ini menginginkan semangat nasionalisme bisa disalurkan lewat film. Para sineas Indonesia menginginkan tujuan pembuatan film tidak semata-mata untuk penghiburan dan mencari uang.

Koleganya rupanya terpicu ingin membuat film Darah dan Doa yang dibuat dengan biaya mahal pada waktu itu. Pada pihak lain pengusaha-pengusaha Tionghoa memperhitungkan laba-rugi untuk membuat film separuh biaya pembuatan film The Long March sekalipun.

Di sisi lain sukses komersial film Djauh di Mata dan Bengawan Solo telah memulai perlombaan produksi film sesudah perang. Sesudah perang perusahaan-perusahaan film tumbuh bak cendawan di musim hujan. Keinginan untuk membuat film kebanyakan didorong oleh nafsu untuk menjadi lekas kaya, karena dibutakan oleh sukses film-film Indonesia pertama.

Pada tulisan itu Usmar melontarkan keyakinannya perindustrian film sebetulnya mempunyai tanah yang subur di Indonesia. Namun banyak kendala. Di antaranya, kekurangan penanaman modal dalam industri ini. Kalau kegentaran swasta untuk memasukkan modalnya dapat dipahami, namun ketakutan itu juga menjalar pada instansi pemerintah yang merupakan sumber harapan satu-satunya bagi pengusaha Indonesia.

Usmar mengingatkan Inggris yang mempunyai perindustrian film yang sama tuanya dengan Hollywood masih dilindungi pemerintahnya. Pemerintah harus objektif menyelidiki masalah film. Peraturan yang dikeluarkan pemerintah saat itu hanya memperkeras sensor, suatu tindakan negatif. Sensor bukan hal terpenting yang harus diselesaikan.

Dalam tulisan lain Inilah Hollywood: Tjerita tentang Djenderal Nabi dan Diplomat dalam Pikiran Rakjat, 5 Maret 1953, Usmar mengungkapkan  orang Indonesia masih banyak yang belum tahu apa itu produser. Produser film Hollywood seperti Zukor, Fox dan Lasky secara aktif ikut dalam seluruh bagian pembuatan sebuah film. Mereka mencari uang, menyewa kamera dan studio, (ikut) menulis kerangka cerita hingga menjadi penjual dan melaksanakan distribusi film.

Sineas Hollywood seperti Jesse Lasky berkata bahwa produser menjadi nabi, jenderal, diplomat dan pendamai, penyayang tetapi tidak royal. Namun di Hollywood ada golongan produser yang menimbulkan pertentangan. Mereka bertindak seperti diktator: merusak film dengan pengetahuan mereka yang sempit dan tidak mempunyai kehormatan terhadap film sebagai medium kesenian. Juga terhadap pencipta yang bekerja di bawah mereka.

Dalam tulisan lain, berjudul “Tentang Para Maharadja Hollywood: Rebutan kekuasan Jang Tak Kenal Ampun” dalam Pikiran Rakjat, 9 Januari 1953 Usmar Ismail menganalisis persaingan keras antar “Big Five”, yaitu Metro- Goldwyn Mayer-Studios (MGM), Twentieth Century Fox, Paramount Pictures Inc, Warner Bros pictures dan Radio Keith Orpheum (RKO) juga the Little Three (Universal Corp, Columbia Pictures Corp dan United Artist Corp).

Usmar menceritakan kesukarannya bertemu Frank Y Freeman, Vice President Paramount Pictures sekaligus Kepala Paramount Studio di Hollywood.

“Saya bicara dengan dia dalam kantornya jang sama besarnja dengan 4 kali kantor Om Mononutu (Arnold Mononutu, Menteri Penerangan dalam Kabinet Wilopo). Meja tulisnya 2 x 3 meter. Dia heran Usmar ismail adalah Presiden kongsi film di Indonesia. Film Indonesia diperintah oleh orang-orang muda,” kata Usmar.

Dalam kunjungannya Usmar mengungkapkan bahwa Hollywood masa itu sedang cemas dengan kebangkitan industri televisi. Peraturan impor terhadap film-film AS yang dijalankan berbagai negara asing seperti Inggris, Meksiko, Prancis dan Italia mengganggu mereka. Mereka juga protes terhadap kenaikan pajak.

Fenomena cinta lokasi dan gosip percintaan antara para artis dilakukan studio-studio film di Hollywood pada 1930-an hingga 1950-an sebagai publikasi gratis film-nya. Usmar Ismail dalam tulisannya “Inilah Hollywood: Tjerita tentang Amor di Kota Film” dalam Pikiran Rakjat 10 Februari 1953 mengungkapkan bahwa RKO (Radio-Keith-Orpheum Pictures) pernah menghembuskan kabar adanya roman antara pemain Farley Granger dan Shelley Winter karena kebetulan mereka main dalam satu film. Studio M.G.M (Metro-Goldwyn-Mayer Studios) juga menggunakan kisah percintaan Lana Turner dan Fernando Lamas untuk publisitas film Merry Widow.

Menurut catatan Usmar kebanyakan berita tentang para bintang film yang dimuat dalam berpuluh-puluh fan magazine, seperti Photoplay, Modern Screen, Silver Screen(pada masa 1950-an) adalah berdasarkan kejadian yang disengaja disandiwarakan oleh studio-studio.

Para pemeran laki-laki disuruh membawa pemain-pemain perempuan ke berbagai pesta atau klub malam. Kemudian studio yang bersangkutan menelepon para wartawan tentang kejadian istimewa ini yang datang berduyun-duyun lengkap dengan alat-alat pemotret. Semua ongkos-ongkos makan-minum-hiburan kedua pemain yang di-romancekan (istilah Usmar) menjadi tanggungan studio.

Bukankah jurus-jurus gosip, cinta lokasi dan rekayasa percintaan antar bintang ini juga digunakan untuk publisitas film Hollywood bahkan tidak tertutup kemungkinan juga digunakan produser film Indonesia saat ini?

Selain mengamati film-film Hollywood, pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat 20 Maret 1921 ini rupanya juga mengamati perfilman Jepang. Dalam tulisannya “Industri Film Djepang Tangan Lebih dipertjaja dari Mesin” dalam Pikiran Rakjat, 25 September 1953, dia memberikan apresiasi terhadap film Ha Ha No Uta (Lagu Ibu), karena cara pemotretan yang liris dari suatu cerita dramatis dan Rashomon sebuah film sesudah perang.

Setiap tahun, pada 1950-an Jepang mampu memproduksi 230 buah film yang membuatnya menjadi tiga negara di dunia yang paling banyak memproduksi film bioskop, sesudah AS dan India. Film-film Jepang dalam setahun ditonton 750 juta penonton dan menghasilkan 35 miliar yen. Yang menarik, Jepang menggunakan peralatan buatan sendiri (tangan) daripada mesin modern. Jepang juga pada 1950-an membuat film yang anti-AS yaitu Battleship Yamato.

Mengenai film Tiga Dara yang boleh dibilang bergeser dari film-filmnya awal 1950-an yang banyak berkaitan dengan perjuangan menjadi film bernuansa Hollywood, Usmar menanggapinya melalui sebuah tulisan di Pikiran Rakjat pada 15 Oktober 1959.

Usmar Ismail menyinggung soal Tiga Dara. Film ini menghasilkan pendapatan kotor hampir Rp10 juta dan merupakan box office gross di Indonesia, juga box office di Singapura dan Malaya (Malaysia sekarang). Usmar mengakui, awalnya di Perfini dalam membuat film, tidak banyak ingat pada publik (selera penonton). Film pertama Darah dan Doa dengan cita-cita setinggi langit dengan semangat “Jangan kita turun ke publik, biar publik yang kita angkat untuk menghargai kita, antara Darah dan Doa,” terdapat Lewat Djam Malam, Harimau Tjampa, Tamu Agung dalam tujuh tahun yang penuh duka”. 

Artikel Terkait

Terkini