Enam Djam di Djogdja (1951) dan Janur Kuning (1979) mengangkat kisah heroik pasukan TNI dan kaum sipil dalam Serangan Umum 1 Maret 1949

Koridor.co.id

“Saya kira dalam serangan umum ini tidak ada perselisihan paham lagi. Pak Harto tentu sudah mengerti segala sesuatu yang saudara-saudara ajukan itu,” ujar Hadi, salah seorang tentara dalam sebuah percakapan di markas gerilya menjelang serangan umum yang akan dilakukan di Yogyakarta.  

Dalam dialog di rapat itu para perwira tidak lagi mau terikat dengan apa yang disebut Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville.

Dalam dialog itu terungkap bahwa sebuah serangan umum walaupun hanya satu atau dua jam menduduki Yogyakarta akan sampai kepada dunia bahwa tentara Indonesia masih ada. Tidak seperti propaganda tentara Belanda dan sekaligus juga memberikan percaya diri kepada rakyat Yogyakarta.

Percakapan yang serius dan berapi-api itu cair, ketika seorang perempuan dari kota membawa surat dari Mataram 13  (nama julukan untuk Sri Sultan Hamengkubuwono IX)  dan sekaligus rokok yang waktu itu merupakan barang mewah, serta surat pribadi untuk Hadi.

Adegan dalam Enam Djam di Djogdja  karya sutradara  Usmar Ismail (1921-1971), ketika dirilis pada 1951 mungkin bukan hal penting dan ingin ditonjolkan. Karena sutradara ini sebetulnya menceritakan momen bersejarah dari sudut orang kebanyakan dan bukan tokoh.

Salah satu adegan dalam film Enam Djam di Djogdja (Foto: tangkapan layar YouTube)
Salah satu adegan dalam film Enam Djam di Djogdja (Foto: tangkapan layar YouTube)

Namun, ketika Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Rakyat menjadi polemik, adegan itu menjadi penting. Pakar Telematika Roy Suryo mengungkapkan hal itu sebagai bukti bahwa peran Letkol Soeharto penting, selain Ngarso Dalem (julukan untuk Sultan Yogyakarta).

Bahkan Roy dengan detail menyebut adegan ada di menit ke 30.  Adegan berikutnya pada menit ke 58, lebih tegas lagi ialah pertemuan antarperwira, ketika Hadi baru pulang dari rapat WK  untuk menerima perintah dari Overste Soeharto (pada masa itu Letkol juga disebut Overste) guna mengadakan serangan umum terhadap Yogyakarta.

“Dari enam WK yang akan mengadakan serangan di segala jurusan kompi kita merupakan bagian yang terkecil saja. Tetapi jika tiap-tiap dari kita mengerjakan apa yang sesungguhnya maka akan mendapatkan hasil dimaksudkan,” ucap Hadi.

Sementara itu Sri Sultan Hamengkubuwono IX disebut pada menit ke 36 dalam sebuah percakapan selain soal Mataram 13 itu. Dalam film ini nama Soekarno dan Hatta malah tidak disebut.

Usmar Ismail, Sang Pelopor Perfilman Indonesia, jelas tidak punya kepentingan dengan Soeharto ketika membuat film ini.  Pada waktu itu Soeharto hanya seorang perwira menengah biasa. Namanya masih tenggelam dengan perwira lain seperti Kawilarang, Ventje Sumual, Bambang Supeno, bahkan Kolonel Sadikin yang sudah jadi Pangdam Siliwangi.

Jelas bahwa Enam Djam di Djogja bukan propaganda, melainkan sebuah film humanis berlatar belakang perang kemerdekaan. Usmar memang gemar mengangkat tokoh-tokohnya dari kalangan orang kebanyakan, seperti dalam Darah dan Doa, yang dirilis pada 1950 tentang long march Siliwangi kembali ke Jawa Barat, serta Lewat Djam Malam tentang mantan gerilyawan yang sulit beradaptasi dengan masyarakat pasca kemerdekaan.

Film Enam Djam di Djogja berkisah tentang rakyat biasa yang berjuang dalam bertahan hidup di Yogya selama pendudukan Belanda. Mereka adalah Mochtar (wartawan), Hadi (tentara), Endang (laskar wanita), dan Wiwiek (adik Hadi). Keempatnya terus mengobarkan semangat orang-orang di sekitarnya untuk tetap berjiwa nasionalisme saat ekonomi sedang sulit.

 Ada juga yang bekerja sama dengan Belanda, seperti Sutedjo yang suka disapa Ted, memilih menjadi tentara Belanda. Perang menurut dia hanya menguntungkan pimpinan, tetapi menyusahkan rakyat seperti dirinya. Alasannya manusiawi.

Begitu juga dengan Ayah dari Hadi yang mengeluh hidup keluarganya morat-marit. Untuk makan terpaksa menjual barang, termasuk baju.  Padahal dia dulu pegawai Belanda. Pandangannya ditentang oleh ibu dan anaknya.

Usmar Ismail selaku sutradara juga melakukan kritik terhadap kelompok gerilyawan ada yang memeras logistik milik rakyat.

Situasi yang tidak bisa dihindarkan masa itu.  Hasil Enam Djam di Djogja adalah gambaran yang paling mendekati  tentang peristiwa bersejarah tersebut, setidaknya dari  sudut orang biasa.

Lain ceritanya, dengan film Janur Kuning yang disutradarai  Alam Rengga Rasiwan Surawidjaja dan dirilis pada 1979.   Film kolosal ini mengetengahkan perjuangan fisik di sekitar penyerbuan lapangan udara Maguwo oleh Belanda, dan perebutan kota Yogya yang dipimpin oleh Letkol Soeharto.

Sosok ini jelas menampilkan Soeharto yang diperankan oleh Kaharuddin Syah begitu menonjol. Misalnya saja dalam sebuah adegan Soeharto berjalan tujuh hari tujuh malam mengkoordinir pasukannya. Kalau dalam Enam Djam di Djogdja, Soeharto berperan bersama Sri Sultan, tanpa dijelaskan siapa penggagasnya, maka dalam Janur Kuning, Soeharto inisiator serangan tersebut.

Dalam sebuah dialog Soeharto mengatakan: “Saya perintahkan setiap pasukan mempersiapkan diri untuk melaksanakan serangan umum. Waktu saya tentukan: pada  1 Maret, serangan pagi. Pasukan kita saya tetapkan menggunakan janur kuning.”

Meskipun demikian Janur Kuning menampilkan tokoh Jenderal Sudirman (Deddy Sutomo) dan juga Sri Sultan Hamengku Buwono IX, walaupun hanya disorot sekilas.

Dr Krishna Sen, dosen Studi Komunikasi Universitas Murdoch di Australia Barat dalam tesis doktoralnya, Indonesian Cinema: Framing the New Order terbitan Zed Books Ltd 1988 menuturkan peranan Hamengku Buwono IX dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 sangat besar, tetapi dalam film menjadi sangat kecil. Sosoknya disebut penuh perhatian dan simpatik.

Artikel Terkait

Terkini