Dilema penyelenggaraan festival musik. Bersiasat agar tidak mendapat cap sebagai festival yang monoton

Koridor.co.id

Penampilan perdana kelompok musik Tashoora di Makassar terjadi di festival musik Rock In Celebes 2019 (Sumber: rockincelebes.com)

“Festival musik sekarang mulai bikin jenuh. Deretan pengisi acaranya itu-itu saja. Monoton.” Demikian kicau seorang kawan yang pernah melintasi linimasa Twitter. Mungkin semacam kritik untuk penyelenggaraan festival musik yang telah sering disambanginya atau saat melihat pengumuman daftar penampil.

Kicauan—atau tepatnya keluhan—tadi sebenarnya bukan lahir dari ruang hampa. Pemicunya tentu berlandaskan wajah berbagai festival musik yang kerap menghadirkan nama-nama serupa antara satu dengan lainnya.

Terlebih pada masa sekarang ketika banyak festival musik hadir. Maklum sepanjang dua tahun ini mereka terpaksa meniadakan pergelaran musik yang mengundang kehadiran banyak orang. Alhasil semakin menonjol nama-nama familiar yang kerap menjadi penampil utama alias headliner dalam sebuah festival.

Ilustrasi lainnya, ada sebuah festival musik yang tahun ini mengundang band atau musisi A sebagai penampil utama. Kemudian dalam penyelenggaraan festival yang sama pada tahun-tahun berikutnya tetap saja menampilkan band atau musisi A tadi. Seolah tiada pilihan lain.

Pada sisi lain, promotor juga tak bisa gegabah mengisi acaranya dengan nama-nama yang belum terlalu familiar di kuping khalayak pasarnya.

Contoh kasus saat akun Instagram Signaturee Festival yang berlangsung di Lapangan Kusuma Agro Wisata, Kota Batu, Malang, Jawa Timur, (23/7/2022), mendapat protes dari para pengikutnya.

Pemrotes mengaku kadung membeli tiket untuk menyaksikan penampilan solis pop pendatang baru, Nadine Amizah (22), yang sedang naik daun.

Selain Nadine, ada Coldiac, Sal Priadi, dan Pamungkas yang turut mengisi daftar hadir. Harga tiket dibanderol Rp250 ribu (tahap early entry), Rp315 ribu (presale 1), dan Rp350 ribu (presale 2).

Dua hari menjelang penyelenggaraan festival, panitia mengumumkan bahwa Nadin urung hadir lantaran terpapar Covid-19.

Apa boleh bikin, dengan waktu mepet panitia harus mencari pengganti untuk mengisi slot yang ditinggalkan. Kemudian muncul nama Silampukau, duo pengusung folk asal Surabaya, sebagai pengganti.

Merasa tidak familiar dengan Silampukau, sebagian penonton yang mengaku telah membeli tiket menuntut pengembalian uang tiket alias refund. Sebagian malah meminta panitia melakukan penjadwalan ulang.

Berada di posisi promotor alias penyelenggara konser atau festival musik terkadang dilematis. Memanggungkan nama-nama populer yang menjadi pilihan banyak festival lain dianggap monoton.

Sementara giliran menghadirkan deretan musisi yang kurang familiar, sekalipun sudah lama berkiprah, bisa-bisa dijauhi sebagian besar penonton.

Lantas siasat apa yang sebaiknya dilakukan penyelenggara untuk mengakomodir dua kepentingan tadi? Hardinansyah Putra Siji yang selama ini menjadi otak penyelenggaraan Rock In Celebes (RIC) memberikan pendapatnya saat dihubungi Koridor (14/8/2022).

Pria yang akrab disapa Ardy itu mengakui bahwa daftar band atau lineup yang akan tampil mengisi panggung biar bagaimanapun masih jadi andalan festival musik kebanyakan. Suka atau tidak suka begitulah kenyataannya.

“Tersisa sekarang bagaimana para penyelenggara sebuah festival musik memberikan pelayanan maksimal dan menyuguhkan atmosfer berbeda kepada para penonton. Itu akan menjadikannya berbeda dengan berbagai festival musik yang sebagian besar menghadirkan nama-nama yang juga mengisi festival musik lain,” ujarnya.

Salah satu panggung Hodgepodge Festival 2019 yang berlangsung di Allianz Ecopark, Ancol, Jakarta Utara (Foto: Andi Baso Djaya/Koridor)

Pendapat senada juga dilontarkan Rizky Aulia alias Ucup yang mengibarkan satu festival musik baru dengan nama Pestapora di bawah panji Boss Creator. Acaranya dijadwalkan berlangsung di Gambir Expo Kemayoran, Jakarta Pusat (23-25/9/2022).

Deretan musisi yang akan dihadirkan bukan hanya nama-nama yang kadung populer di kalangan penggemar musik tanah air, seperti Slank, Ahmad Dhani (pentolan Dewa19), Isyana Sarasvati, D’Masiv, Burgerkill, Seringai, atau JKT48, tapi juga memberikan panggung kepada GRRRL Gang, Mafia Pemantik Qolbu, Primitive Chimpanzee, Setabuhan, Uwalmassa, hingga Valla.

Menurut hemat Ucup, program dan deretan headliners boleh serupa dengan festival-festival musik lain, tapi antarfestival pastilah memiliki perbedaan. Ibarat kebanyakan rumah makan atau restoran yang memuat menu nasi goreng. Pun demikian rasa nasi goreng itu pasti berbeda antara satu dengan lainnya.

“Jadi balik lagi bagaimana lo memperlakukan penonton di lokasi, atmosfer apa yang dihadirkan, alur susunan acara, hingga bagaimana mengemas tiap penampilan sebuah band atau musisi. Itu semua yang mungkin nanti yang menciptakan diferensiasi,” kata Ucup saat menjadi bintang tamu dalam kanal The Maple Media di YouTube (diunggah 13/8/2022).

Ardy dan timnya yang menggemakan RIC sejak 2010 di Makassar, Sulawesi Selatan sadar betul pentingnya menjaga kepercayaan penonton. Salah satu caranya dengan selalu memberikan servis terbaik sesuai kemampuan mereka.

Oleh karena itu, ia memilih tetap menjadikan RIC sebagai festival musik berskala medium dengan kapasitas maksimal 8000 penonton.

Padahal dengan reputasinya selama ini bisa saja RIC bersalin rupa menjadi festival besar dengan daya tampung puluhan ribu orang.

“Mengapa demikian? Bukan karena kami tidak sanggup, katakanlah, mengundang band besar yang penggemarnya hingga puluhan ribu, tapi karena belum tentu kami bisa memberikan pelayanan terbaik kepada puluhan ribu orang itu. Kami punya kesadaran itu,” jelas Ardy.

Semisal dirinya memaksakan RIC menjadi festival berskala besar, sementara pelayanan terbaik tidak menjangkau semua orang yang datang, akhirnya bisa menjadi senjata makan tuan.

Kepercayaan penonton yang notabene investasi besar sebuah penyelenggaraan festival musik bisa luntur seketika.

Penampilan The Adams di Rock In Celebes 2019 (Sumber: rockincelebes.com)

Dikisahkannya betapa RIC butuh waktu sekitar 7-8 tahun untuk mendapatkan kepercayaan publik pencinta musik. Sebuah ikhtiar yang tidak mudah.

Pasalnya, bukan pengalaman semata yang menumbuhkan faktor kepercayaan tersebut, tapi juga pelayanan terhadap artis selaku pengisi acara dan para penonton sebagai pengunjung.

Untuk mengakomodir dua kepentingan antara pihak yang ingin menyaksikan nama-nama populer sebagai penampil utama sekaligus agar tidak terasa monoton, RIC mencoba menjangkau lebih banyak penggemar musik.

Kehadiran RIC kini tidak melulu untuk memuaskan dahaga para penikmat musik rock. Ada pengusung subgenre musik lain, semisal pop dan folk, yang turut dihadirkan. Proporsi demikian sudah terendus setidaknya dalam tiga penyelenggaraan RIC terakhir sebelum pandemi Covid-19.

Mereka, misalnya, tak ragu saat pertama kalinya menghadirkan kelompok Tashoora berdampingan dengan Padi, Dead Squad, Kunto Aji, Netral, Seringai, dan sederet musisi lainnya yang sudah populer di kalangan penggemar musik Kota Anging Mamiri dalam edisi penyelenggaraan RIC 2019.

Keberagaman tersebut yang coba terus mereka jaga sembari juga menyuguhkan hal-hal baru. Contohnya menghadirkan instalasi seni yang punya daya tarik sama besarnya dengan sebuah band besar.

“Sebenarnya yang bikin menarik di RIC bukan headliners-nya. Esensi festivalnya bukan lagi siapa saja yang jadi penampil, tapi pengalaman atau program yang kami tawarkan kepada penonton selain hiburan yang ada di atas panggung,” pungkas Ardy.

Artikel Terkait

Terkini