Dari segi jumlah para pelajar pribumi di Kota Malang tidak sebanyak rekan mereka di Bandung dan Yogyakarta. Hebatnya, mereka kelak jadi patriot yang ikut ke medan laga pada masa Perang Kemerdekaan

Koridor.co.id

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Het_gebouw_van_de_Neutrale_Lagere_School_in_Malang_TMnr_60012296.jpg

Sebagai kota berhawa sejuk, Malang seperti halnya Bandung merupakan kota yang kondusif untuk belajar pada masa kolonial. Pada 1917 sudah terdapat MULO di Kota Malang, disusul berdirinya European Lagere School (ELS) dan AMS  di Arjunostraat pada 1919.

De Malanger edisi 19 Juni 1929 menyebutkan bahwa AMS pada masa itu sudah memiliki 19 kelas dengan 500 orang murid. Sekitar 1930 sudah ada gedung Sekolah HBS (Hoogere Burger School) di depan Alun-Alun Bunder.

Sejak 1926 hingga 1936 berdiri  sejumlah sekolah berbagai tingkatan, mulai dari Sekolah Dasar Hollandsch-Chineesche School dan tiga buah Sekolah Dasar untuk Pribumi yang dinamakan Inlandsche Scholen der 2e Klase (sekolah Ongko Loro) dibangun di Kota Malang.

Sekolah-sekolah lainnya yang terdapat di Kota Malang ialah Neutrale School, Cultuur school (sekolah perkebunan), Normaal School, Kartini School, serta sekolah yang diupayakaan kaum pribumi secara mandiri seperti, HIS Muhamadyah, serta Sekolah Taman Siswa yang terletak di Jalan Jagalan.

Pada pertengahan 1930-an Taman Siswa cabang Malang mempunyai 98 pelajar perempuan dan 245 pelajar laki-laki dengan jumlah kelas 12 dan 18 guru, termasuk satu guru perempuan.

Sementara Jaarsverslag 1940 Staadgemente Malang mengungkap pada 1940 HIS Muhamadyah Malang (disebutkan berdiri pada 1926) mempunyai 135 murid laki-laki dan 76 murid perempuan. 

Sekolah swasta yang dikelola pribumi lainnya ialah HIS Taman siswa 141 murid laki-laki dan 90 murid perempuan, Kartini School 229 murid perempuan dan Madrasah Nadhlatul Oelama (berdiri 1932) mendidik 227 murid laki-laki pada tahun yang sama.

Indikasi Malang berkembang menjadi kota pelajar bisa dilihat dengan maraknya bisnis tempat kost bagi para pelajar sejak pertengahan 1920-an. Arsip-arsip dari Gementeblad van Malang sejak  1927 hingga 1932 menunjukkan banyaknya permintaan untuk membuka usaha tempat kost.

Salah seorang pemilik tempat kost terbesar adalah Mevrouw FLG Stelp yang punya tempat pemondokan di Oro-oro dowo 12 tempat tidur dan Wihelminastraat berkapasitas 15 tempat tidur. Lainnya adalah Mevrouw Misselblom yang punya kost di Lowokwaru untuk 5 orang, Sophiastraat untuk 7 orang dan Welirangstraat untuk 8 orang (lihat Tabel 1).

Sebagian besar tempat kost terdapat di daerah Rampal, Arjunostraat, Bromostraat, serta daerah protokol Celaket dan Lowokwaru. Kemungkinan pemilik tempat kost itu orang-orang Eropa, dan fasilitasnya disediakan untuk pelajar Eropa. Hanya sekitar 10 tempat kost dikelola oleh pribumi atau dari kalangan etnis Tionghoa.

Terdapat juga asrama untuk para pelajar baik yang disediakan sekolah, maupun berbagai organisasi seperti Christelijk Internaat voor School Garde dengan 70 buah tempat tidur, Santa Gregorius di Bromostraat (Jalan Bromo)dengan 27 tempat tidur,sebuah organisasi Katolik di Bromostraat (Jalan Semeru).

Kota Malang sempat terbit sebuah surat kabar 10 harian pada pertengahan 1930-an bertajuk Pergaoelan. Pemimpin Redaksinya adalah Doel Arnowo, yang waktu itu berusia 30-an. Dia dibantu oleh A.Zakaria di Surabaya, Ipih A. Hadi di Batavia dan A. Supeno di Semarang.

Keberadaan surat kabar ini menarik karena memberikan informasi bukan saja mengenai pergerakan nasional masa itu yang berada dalam tekanan setelah pengasingan Soekarno, tetapi juga tingkat lokal.

Salah satu informasi yang menarik ialah pertemuan Badan Persaudaraan Kepanduan Tumapel (BMKP) di Gedung HIS di Kasin Kidul pada 21 dan 22 November1936. Pertemuan itu dihadiri oleh berbagai organisasi seperti JIB, Taman Siswa, Perserikatan Badan Oesaha, PAI, Parindra, Islamijah, Soember Ilmoe dan sebagainya.

Dalam pertemuan itu salah seorang pembicara Sardjono menyebutkan bahwa pergerakan pemuda yang sesungguhnya mula didirikan di kalangan pemuda-pemuda yang terpelajar baik dari sekolah tinggi maupun yang rendah.

Pergerakan pemuda pada masa itu ada dua macam menurut Sardjono. Pertama, Pergerakan Pemuda yang mengandung alamat akan datangnya zaman baru dan yang menumbuhkan benih-benih baru. Kedua, pergerakan pemuda yang disebabkan oleh umur saja.

Pergerakan yang kedua ini ada artinya jika kelak membawa kebangkitan kemajuan baru. (Pergaoelan no 7, 10 Desember 1936). Surat kabar ini tampaknya memang menjembatani organisasilokal, termasuk Partai ArabIndonesia (PAI) Cabang Malang yang dipimpin Ahmad Djarhoem.

Surat kabar ini menginformasikan kegiatan-kegiatan para pelajar seperti Toonel yang dilakukan Pemuda Muhammadiyah pada 2-3 Januari 1937 untuk keperluan amal. Perayaan di sekolah Al Islah Malang di Gang Sawahan pada November 1936 dihadiri tokoh-tokoh PAI Malang.

Selain itu Doel Arnowo dan timnya rajin mengamati pembubaran Partindo, krisis di PSII. Doel Arnowo sendiri aktif di Sumber Ilmu  yang berhubungan dengan Taman Siswa. Pekerjaan Sumber Ilmu ini adalah memberantas buta huruf di kalangan kaum dewasa (Pergaoelan 20 November 1936).

Sebagai catatan Doel Arnowo  pada peristiwa 10 November 1945 ini merupakan salah satu tokoh ketua KNI Karasidenan Surabaya dan angggota kontak biro dalam memperjuangkan dan mempertahankan kota Surabaya dari sekutu bersama Gubernur Suryo, Residen Soedirman dan Ruslan Abdulgani.  

Sejarah mencatat pada 1950 Doel Arnowo diangkat menjadi Wali Kota Surabaya karena dipercaya bisa membangun kembali kota Surabaya, yang porak poranda karena perang kemerdekaan. 

Surat kabar ini juga memberikan informasi tentang perkembangan birokrasi di Kota Malang seperti kemunculan Regent Malang  R. A. A. Sam. Dalam sebuah artikel Koran ini mengungkapkan tentang bagaimana cara menjadi guru yang tidak hanya sekadar mengajar, tetapi juga harus tahu ilmu pendidikan dikutip dari Pergaoelan, 30 November 1936.

Koran ini juga didukung sejumlah pengusaha pribumi di Kota Surabaya terutama dari usaha perhotelan hingga rokok sigaret di Kudus dalam bentuk iklan.

Pergaoelan juga memberitakan soal penangkapan-penangkapan oleh pemerintah kolonial seperti pada Kasbon di Semarang karena menerbitkan buku Baroto Joedo dengan tuduhan melakukan penghasutan. Pertemuan antara Soetomo dengan pejabat penting di negeri Belanda, Haji Agus Salim dan PSII juga pernah disinggung dalam surat kabar ini.

Doel Arnowo dan timnya pernah menyorot nasib buruh linting rokok kretek yang dibayar 12-14 sen untuk 1.000 batang rokok dan setelah dipotong ongkos-ongkos hanya bisa bawa pulang 6-8 sen bahkan kalau kurang dari targetnya membawa 4-5 sen. Dalam tulisan edisi 10 November 1936 headline surat kabar itu menyindir yang beli rokok kretek juga kebanyakan orang Indonesia.

Telisik pada Pergaoelan edisi 10 November 1936 menimbulkan kesan  Doel Arnowo dan timnya rajin mengamati perkembangan politik di luar negeri. Di antaranya perkembangan Jerman di bawah Hitler yang mengkhawatirkan Perdana Menteri Inggris Wiston Churcil bahwa Jerman menjadi kekuatan berbahaya di Eropa.

Ada juga artikel berseri tentang Jepang menjadi kekuatan setara dengan negara-negara Eropa dengan belajar ilmu dan teknologi dari Barat. Lewat artikel ini Doel Arnowo ingin mendorong para pelajar di Kota Malang  Pergaoelan mendapatkan inspirasi untuk maju.

Al Ichtijaar edisi 1 Juli 1937 , sebuah Koran lokal yang dikelola santri Kota Malang melaporkan program Jambore Hizbul Wathan se-Jawa Timur yang kebetulan diselenggarakan di kota itu.

Malang memang seboeah negeri jang penoeh dengan peladjar-peladjar. Malang terkenal seboeah negri jang indah poesat peladjar-peladjar berkoempoel.

Lahirnya Pelajar Patriot

Pada saat pendudukan Jepang di Jawa Timur 1942, telah banyak pelajar yang aktif mengikuti latihan perang-perangan di sekolah. Asmadi  dalam bukunya Sangkur dan Pena mengungkapkan setiap pelajar laki-laki baik tingkat SMTP maupun tingkat SMTA diwajibkan mencukur gundul kepalanya.

Pelajar putra maupun putri diwajibkan memakai seragam putih-putih. Pelajar putra memakai peci putih. Setiap hari pertama memasuki kehidupan sekolah lanjutan para pelajar sudah mulai berkenalan dengan  baris berbaris, hingga upacara menaikkan bendera. Setelah menguasai aturan baris berbaris setiap pelajar dibagikan mokoju atau bedil kayu yang harus dirawat.

Ilustrasi-Foto: https://tawangsarikampoengsedjarah.files.wordpress.com/2018/01/296748_148222685261774_2291162_n.jpg

Setelah Jepang menyerah terjadi pelucutan senjata, lahirlah organisasi-organisasi pelajar di Surabaya. Selain tentara formal, para pelajar juga membentuk kesatuannya sendiri. Barisan Keamanan Rakyat (BKR) pelajar terbentuk. Pendaftaran dilakukan pada 22 september 1945, persyaratannya harus berumur 17 tahun. Namun banyak sekali pelajar SMTP di bawah usia ini mendaftar.

Asmadi menyebutkan banyak pelajar usia SMTP diterima menjadi BKR masih berusia 13-14 tahun. Pada 5 Oktober 1945 terbentuklah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pelajar, selanjutnya berubah menjadi Tentara Republik Indonesia  Pelajar (TRIP) dengan komandan Mas Isman.

Pada 14-16 Juli 1946 di Kota Malang digelar Kongres Pelajar yang dihadiri oleh semua unsur pimpinan IPI Jawa Timur, termasuk bagian laskarnya. Pada 21 Juli 1946 dengan bergabungnya satuan pelajar dan laskar IPI sebagai tindak lanjut dari  kongres di Malang, maka diputuskan Markas Pusat TRIP Jawa Timur berkedudukan di Kota Malang dengan pimpinan Komandan Isman dan Wakil Komandan Moeljosoedjono berkedudukan di Mojokerto.

TRIP ini kemudian kerap terlibat dalam perang kemerdekaan.  Puncaknya adalah pada ketika Belanda  merebut Kota Malang pada 31 Juli 1947, sebagian bagian dari Agresi I. Pasukan TRIP akhirnya berhadapan dengan tentara Belanda di Lapangan Pacuan Kuda Betek, Jalan Salak.

Dalam pertempuran sekitar 5 jam tentara anak sekolahan yang masih berusia remaja ini melawan dengan gigih melawan tentara yang terlatih. Sebanyak 34 pelajar gugur dan beberapa lainnya luka-luka tertawan termasuk komandan kompi.

Komandan Batalyon 5000 sendiri tertembak di tempat terpisah di Jalan Ijen dekatGereja Katalik ketika sedang mengendarai motor hingga dia menabrak tembok sebuah bangunan. Dia gugur dan dikuburkan bersama 34 pelajar lainnya di sebuah lubang di Jalan Salak. 

Sejarah mencatat bahwa Malang adalah satu-satunya medan laga di mana para pelajar berusia remaja berhadapan dengan gagah berani dengan tentara Belanda yang profesional. Para pelajar di Malang membuktikan bahwa  mereka tetap mewarisi  semangat kemerdekaan dari para pendirinya keturunan Surapati seperti yang ditulis  Koridor pada tulisan pertama. (Bagian Tiga dari Tiga Tulisan).

Artikel Terkait

Terkini