Dari Darah dan Doa, Enam Djam di Djogja, hingga Dosa Tak Berampun adalah jejak bersejarah karya awal Usmar Ismail

Koridor.co.id

Film Pertama yang dikeluarkan Perfini di bawah pimpinan Usmar Ismail adalah Long March of Siliwangi (Darah dan Doa), belum dikatakan film baik, tetapi telah tampak kesungguhannya. Produksi keduanya Enam Djam di Djogja menunjukan kemajuan meyakinkan.

Dalam produksi ketiga, Dosa Tak Berampun tampak lagi kemajuan yang sangat pesat. Dapat dikatakan filmnya telah jauh melebihi produksi film Indonesia lainnya.

Demikian ulasan sastrawan Gajus Siagian dalam tulisannya bertajuk Usmar Ismail yang dimuat dalam Aneka Nomor 20, Tahun II 18 September 1951. Gajus benar-benar mengungkapkan kesungguhan Bapak Perfilman Indonesia itu,l dalam membuat film.

Staf Pengajar Jurusan Film Binus University, Ekky Imanjaya mengungkapkan Usmar Ismail adalah salah satu sineas Indonesia terbaik sepanjang masa. Kepada Koridor, Ketua Komite Film, Dewan Kesenian Jakarta  itu mengatakan, film-film Usmar Ismail boleh dikatakan sangat kritis memotret jiwa zaman saat itu.

Ekky menuturkan, Usmar tidak hanya sineas, seperti tokoh pada masa itu, tetapi juga seorang wartawan, tentara (dan mata-mata), budayawan, dan penulis. “Bayangkan, saat mendapatkan beasiswa ke UCLA selama 6 bulan, dia menulis 6 artikel seputar kesannya dan kunjungannya terhadap Hollywood.”

Pada 30 Maret 1950 adalah pengambilan perdana film Darah dan Doa dari sutradara kelahiran Bukittinggi, 20 Maret 1921 itu.  Hari pertama syuting film tersebut kemudian diresmikan menjadi Hari Film Nasional oleh Presiden ke-3 RI, BJ Habibie bersama Dewan Film Nasional. Pada hari itu juga Usmar Ismail diketahui mendirikan Perusahaan Perfilman Nasional (Perfini).

Menurut Ekky, Darah dan Doa, yang syuting hari pertamanya menjadi hari film nasional, adalah sebuah keunikan dalam sejarah film. Sebelumnya, film-film buatan lokal banyak dipengaruhi oleh genre fantasi, seperti legenda dari Tiongkok atau 1001 malam, atau kisah-kisah legenda lainnya, atau imitasi dari Hollywood.

Darah dan Doa dianggap sebagai film pertama yang, selain sepenuhnya digarap oleh orang lokal, membicarakan tentang kondisi psikologis dan sosiologis manusia-manusia Indonesia di era revolusi. Dengan pendekatan kritis, tidak hitam putih, serta realis (sesuatu yang jarang terjadi saat itu).

Usmar Ismail mengakui  Darah dan Doa merupakan film perdananya. Lewat film tersebut Usmar memperoleh kebebasan sepenuhnya dalam menghasilkan film sebagai karya seni, bukan hanya semata barang dagangan.

Sebelumnya dia pernah menyutradarai dua film, yaitu Tjitra dan Harta Karun pada 1949.  Kedua film itu dibuat di bawah bendera South Pacific Film Corporation. Sebagai catatan Tjitra adalah naskah drama karyanya. Baginya kedua film ini hanya  memberikan pengalaman untuk mendirikan perusahaan film sendiri. 

Lulusan AMS bagian Sastra Klasik Barat di Yogyakarta ini bekerja di Pusat Kebudayaan Jakarta di masa pendudukan Jepang. Usmar aktif sebagai pengurus lembaga yang berkaitan dengan teater dan film. Ia pernah menjadi ketua Badan Permusyawaratan Kebudayaan Yogyakarta (1946-1948), ketua Serikat Artis Sandiwara Yogyakarta (1946-1948).

Tiga Dara

Sebenarnya, sejak pertengahan 1950-an Usmar Ismail mulai melakukan terobosan baru perfilman Indonesia. Ia membuat film bernuansa anak muda, bertajuk Tiga Dara, yang menjadi legenda film Indonesia berikutnya.  Film ini mengorbitkan Mieke Wijaya, Indriati Iskak dan Citra Dewi.

Dari segi tata musik Usmar Ismail melakukan berbagai terobosan. Ia memadukan unsur musikal broadway, film drama musikal Hollywood, bahkan unsur film bollywood juga ada, tetapi ciri ke Indonesiaannya tetap dipertahankan. Tidak tanggung-tanggung, penyanyi populer masa itu Sam Saimun ikut menjadi penyumbang lagu.

“Pada film-film awal Usmar dengan baik menggambarkan situasi sosial  terkait dengan revolusi. Pada film-film akhirnya  Usmar  menyorot  fenomena urbanisasi dan modernisasi,” tutur Ekky.

Sebagai catatan Tiga Dara mendapat kehormatan ikut serta dalam Festival Film Venesia pada 1959 dan diputar dalam Palazzo del Cinema, sore hari tanggal 26 Agustus 1959. Dalam seksi informasi ini karya Usmar Ismail ini bersanding dengan William Wyler, Hitchcock, Ingmar Bergman.

Panitia seleksi melihat Tiga Dara sewaktu diputar di Roma dan rupanya terkesan. Film itu tidak diberikan teks Bahasa Italia, namun lagu pembukaan sudah mengundang tepuk tangan penonton yang merasa tak asing dengan lagu itu. Dari pandangan Usmar Ismail jelas Tiga Dara juga punya potensi diterima di pasar global pada era itu.

Sejarah mencatat sepanjang karirnya Usmar Ismail telah menghasilkan 25 judul film. Bersama H Djamaludin Malik, ia mempelopori terbentuknya Federasi Produser Asia (Federation of Motion Picture Producers in Asia) di Manila. Usmar merupakan pelopor diadakannya Festival Film Indonesia yang pertama kali, 30 Maret – 5 April 1955. Pemenang FFI itu memperebutkan FPA.

Selain peletakan dasar perfilman Indonesia, Usmar Ismail bersama kakaknya, El Hakim, dan Rosihan Anwar, mendirikan kelompok drama yang diberi nama Maya.  Kelompok ini mementaskan berbagai drama dengan teknik teater barat.  Usmar dan kawannya mempelopori format teater modern di Indonesia.

Usmar, kata Ekky lagi adalah salah satu auteur pertama di Indonesia. Dia menjadikan film tidak semata-mata komersial atau alat eskapisme, tapi juga sebagai alat untuk bercerita tentang masyarakat, kritik sosial, budaya, bahkan politik yang tajam. Termasuk penggunaan komedi yang cerdas dan kadang satir. 

Artikel Terkait

Terkini