
Jumat (10/6/2022) malam, sekira pukul 20.30 WIB, rooftop Gedung Fairgrounds –lokasi bar dan restoran Lucy in the Sky–yang terletak di tengah Kawasan Niaga Terpadu Sudirman, Jakarta Selatan, telah ramai pengunjung. Sebagian besarnya berisi muda-mudi. Suasana makin gempita ketika kaki berjalan memasuki rumah kaca. Lampu-lampu bekerlapan memancarkan aneka warna. Sementara dari pengeras suara yang tergantung di sudut-sudut ruangan mengalun lagu-lagu persada Indonesia dari era 80an.
Penampilan para remaja yang hadir memang beragam, tapi kompak dalam satu hal; mengenakan wastra. Istilah wastra dipungut dari bahasa Sanskerta. Artinya selembar kain (sandangan) tradisional yang memiliki makna dan simbol tersendiri mengacu pada dimensi warna, ukuran, dan bahan.
Wastra menjadi kekayaan warisan budaya Nusantara. Setiap suku memiliki ragam motif dan corak khas. Pun makna yang menyelimutinya. Ambil misal tenun ikat Sumba yang terkenal dengan motif garis-garis, bentuk geometris, dan makhluk hidup. Kain batik Lasem terkenal dengan warna merah darah ayam (abang getih pithik). Warna ini dihasilkan dari akar pohon mengkudu. Sedangkan masyarakat Kulawi, Pandere, dan Lore di Sulawesi Tengah mengenal yang namanya vuya. Terbuat dari serat-serat kulit kayu (biasanya pohon beringin), vuya bisa dijadikan baju, celana, rok, atau ikat kepala atau siga.
Modernitas zaman dan perkembangan fesyen membuat keanekaragaman wastra kita kemudian jarang hadir dalam keseharian. Paling sering diwakili oleh batik yang jadi baju wajib sekali dalam sepekan di kantor instansi pemerintah dan sekolah. Selain itu hanya bisa kita lihat dalam acara-acara adat atau perayaan khusus. Anggapan yang mengatakan bahwa kain tradisional hanya untuk orang tua dan kuno memperparah upaya membumikan wastra di kalangan remaja.
Padahal sebagai warisan kekayaan leluhur yang melambangkan jati diri bangsa, melestarikan wastra tak sekadar dengan mengenal dan mempelajarinya, tapi juga memakainya dengan penuh kebanggaan. Untuk itulah kemudian Swara Gembira, sebuah paguyuban seni budaya Indonesia, menggelar “Pesta Wastra” di salah satu lokasi tempat anak muda nongkrong, Lucy in the Sky. Swara Gembira
Selain berisi pameran aneka wastra hasil kolaborasi bersama empat pesohor perempuan, yaitu Arawinda Kirana, Eva Celia, Rachel Amanda, dan Tara Basro, acara ini juga menghadirkan pasar wastra dan panggung wastra.

“Mengenakan kain itu keren banget dan sama sekali enggak kuno. Satu helai kain bisa jadi beragam pakaian. Kalian bisa bikin jadi celana, rok, atasan, bawahan, outer, bahkan tas. Jadi, untuk remaja yang ingin serba simpel, kain ini sangat cocok karena hanya butuh satu kain untuk dijadikan apa pun,” ujar Arawinda Kirana (20), peraih Piala Citra sebagai Pemeran Utama Perempuan Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2021, saat diwawancara Koridor di sela acara pembukaan pameran yang juga dihadiri dedengkot seni budaya yang juga politikus PDI Perjuangan Guruh Soekarno Putra.
Ara, demikian panggilan akrabnya, mengaku sudah menggandrungi wastra sejak duduk di bangku kelas enam sekolah dasar lantaran ikut sanggar tari. Beranjak remaja kecintaan itu ia tunjukkan dengan lebih sering mengenakan kain-kain tradisional dalam keseharian.
Dalam proyek kolaborasi wastra Indonesia bersama Swara Gembira ini Ara mendesain empat motif kain. Salah satunya berisi corak yang terdiri atas perpaduan padi berbentuk rahim sebagai simbol kesuburan, bunga teratai, dan cahaya bulan yang terlukis di atas sehelai kain motif batik sidomukti. Ketiga corak itu adalah simbol dari arti Sri Arawinda Kirana, nama lengkapnya.
Beda lagi corak hasil kreasi Tara Basro. Pada salah satu kain hasil kreasinya, pemenang di Festival Film Indonesia 2015 kategori Pemeran Utama Wanita Terbaik itu mengguratkan organ-organ perempuan. “Ini sebagai bentuk perayaan terhadap perempuan,” ungkapnya.
Oi, salah satu pendiri Swara Gembira dan penggagas Pesta Wastra, berharap acara ini bisa menjadi pendobrak industri fesyen. Menjadikan wastra Indonesia lebih segar dan makin diterima oleh kalangan remaja.