Band-band indie asal Bandung mampu melewati pandemi Covid-19. Bahkan mengakhiri 2022 dan memasuki 2023 dengan kebangkitan. Apa kekuatannya?

Koridor.co.id

Aksi panggung Cherry Bombshell-Foto: Irvan Sjafari.
Penampilan salah satu band indie Bandung.

Setelah cukup lama terpuruk karena  pandemi Covid-19 band-band indie seperti halnya banyak musisi di Indonesia bangkit menggelar pertunjukkan off air, bukan lagi daring.  Tak terkecuali band-band indie asal Bandung, Jawa Barat yang mampu bertahan dengan penggemar-penggemar yang tidak terlalu banyak.

Bottlesmoker, sebuah duo/group electronic music sukses membuka Januari 2023 ini dengan go internasional yaitu tampil di India, Nepal dan Bangladesh.

Duo beranggotakan Agung Suherman dan Ryan Adzani ini  bermain di festival, mini showcase, club hingga live improvisation dengan tari tradisional.

 “Ini menjadi kunjungan pertama kami di India, Nepal dan Bangladesh, senang sekali akhirnya kami bisa kembali menjalankan tur dan Namaste Tour akan menjadi tur pembuka untuk berbagai tur berikutnya  pada  2023 ini,” ujar Ryan dalam siaran pers, yang diterima Selasa, 31 Januari 2023.

Perjalanan tersebut merupakan angin segar bagi Bottlesmoker, setelah batal tampil di negara-negara seperti Belanda, Amerika, Singapura, hingga Taiwan selama 2020-2022 karena pandemi Covid-19.

Band indie asal Bandung lainnya, yaitu  Cherry Bombshell mampu menggelar  konser “Cherry Bombshell-Intimate Showcase” bersama Wonderlab  Television di Workcoffee, Jalan Sumbawa Bandung pada 10 Desember 2022.

Gitaris Cherry Bombshell Remy Rukmadisastra mengakui pandemi berdampak pada  aktivitas musik. Namun para personel menanggap, band adalah tempat untuk berkarya atau berkesenian, bukan sebagai pekerjaan utama.

“Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, para personil memiliki pekerjaan masing masing di luar band yang tentunya ikut terdampak pandemi juga,” ujar Remy ketika dihubungi Koridor,  Minggu, 29 Januari 2023.  

Pada awal masa pandemi Covid-19, Cherry Bombshell sempat membuat satu gerakan sosial. Mereka memproduksi merchandise berupa masker kain untuk dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Pada saat itu masker adalah barang langka.

Pembuatan masker tersebut tidak dilakukan Cherry Bombshell sendiri. Remy dkk melibatkan banyak pihak, seperti teman-teman Cherry Bombshell sebagai donatur.

Band ini berusaha untuk tetap bergerak positif saat pandemi yang menghentikan semua aktivitas event/gigs.

Basis Cherry Bombshell Agung Pramudya Wijaya menyampaikan hal yang membuat band indie Bandung bertahan karena  mempunyai kekuatan. Anak-anak itu memiliki  idealisme yang cukup kuat dan saling mendukung, bukan hanya sesama genre, tetapi lintas genre.

Selain itu  Personel Cherry Bombshell semua dari perguruan tinggi tapi bukan dari sekolah musik. Awal berdiri mereka semua mahasiswa desain dan seni rupa. Kuliah penting untuk membangun karakter dan pola pikir.

Sudah sejak lama Bandung disebut kota musik, namun sekarang banyak sekali bermunculan band-band bagus dari berbagai  kota dan daerah

Sejarawan dan musisi Iman Rahman Anggawiria Kusumah yang akrab disapa Kimung mengatakan pandemi Covid-19 memang berdampak  karena sangat sulit dalam perizinan kalau buat festival besar.

Namun berapa waktu  akhir setiap acara gigs  ramai. Setiap minggu bahkan hingga 3-4 kali pertunjukan.  Didukung ruang dan venue seperti kafe dan bar  Vandal, Makmur Bahagia,  hingga tempat khusus buat pecinta band elektronik, musik eksperimen, culture punk.

“Memang kecil venue hanya cukup 200-300, tetapi intensif,” katanya.

Kimung menyorot saat ini Identitas yang diusung musisi tidak mengatasnamakan tempat. Kalau dulu ada anak-Ujung Bereung, ada anak Setiabudi, Barudak Margahayu, Sukasenang. 

“Sekarang  yang terjadi, sekarang ini Barudak Brimob, Barudak Disaster, yang notebene record lebel. Fungsi record lebel bukan hanya merilis, tetapi juga cult menjadi identitas band baru dan lama,” ucap Kimung, Minggu, 29 Januari 2023.

Band-band di Bandung begitu mudah berkolaborasi karena ekosistemnya mendukung. Jarak dan waktu tempuh tidak terlalu jauh. Dari utara ke tengah 20 menit, begitu juga dari tengah ke selatan.

“Kita nongkrong di tempat yang sama walau genre musik berbeda. Kita terikat banyak hal. Kita bisnis sama, tataran ideologi sama, walau musik berbeda. Kita bergerak di tataran kebudayaan sama. Identitas menjadi cair dulu,” tutur mantan personel band cadas Burgerkill ini.

Dengan kondisi ini musisi Bandung tidak seragam, selalu mencari kemungkinan baru, bukan kemapanan. Hal ini berbeda dengan orang Jakarta. Kalau di sana menanyakan musisi: berapa juta yang buka spotify, berapa keping CD terjual.

Sementara kalau para musisi Bandung  kalau bertanya: “Kamu sudah menghasilkan apa yang baru”. Jarak tempuh tidak terlalu jauh membuat ruang kolektif cair menerima berbagai genre dan  bisa jadi sahabat baik.

“Kolaborasi dilakukan antar disiplin tidak terbayangkan. Saya saja 2018 berkolaborasi dengan arsitek dan desainer interior di Malaysia,” pungkas Agung.

Artikel Terkait

Terkini