Lockhart, Texas, memiliki banyak alasan untuk bisa berbangga hati. Dengan koleksi unik bangunan abad ke-19, ini adalah salah satu kota tercantik di Caldwell County – dan lokasi favorit produser Hollywood. Ada lebih dari 50 film dibuat di sana, seperti Baby, the Rain Must Fall (1968) yang dibintangi Steve McQueen dan Lee Remick, juga A Perfect World (1993), karya sutradara Clint Eastwood. Tapi barbeku adalah sesuatu yang benar-benar bisa dibanggakan orang-orang di Lockhart. Sejak 1875, ketika Jesse Swearingen membuka pasar daging pertama Lockhart, kota ini terkenal dengan daging sapi panggang dan sosis yang biasanya disajikan dengan kerupuk asin, bawang, dan acar. Lebih dari 250.000 orang dari seluruh dunia makan di empat restorannya setiap tahun. Pada tahun 1999, Lockhart dinobatkan sebagai ‘Ibukota Barbeku Texas’.
Garam, merica, bumbu aromatik
Rahasia barbeku ada di asap. Umumnya barbeku hanya dilumuri garam, merica, dan beberapa bumbu. Kemudian dimasak perlahan di atas hamparan kayu ek dan kayu mesquite yang terbakar hingga berjam-jam. Ini memberikan rasa manis dan sensasi asap yang khas dan membuat potongan daging yang paling keras sekalipun terasa empuk. Tentu saja, ini bukan satu-satunya cara memanggang.
Di San Antonio, 60 mil ke selatan, mereka membasahi daging dalam balutan lengket seperti molases agar tetap lembap. Lebih jauh ke utara, di Memphis, bahu babi dibumbui ringan dan disajikan dalam sandwich dengan selada kol; sementara di Kansas City, saus berbasis tomat adalah de rigueur, satu keharusan. Penduduk di Lockhart berpendapat bahwa cara mereka adalah cara yang benar-benar Amerika. Alasannya sederhana; terlepas dari apakah Anda mau makan daging babi, ayam, atau sebongkah steak Texas, yang muncul saat Anda menyantapnya adalah perasaan bersahaja. Gambaran kehidupan perbatasan yang ganas, jujur terhadap kebaikan, individu yang tulus, aspirasi, optimisme, dan kebebasan.
Barbacoa
Meskipun benua Amerika dikenal dengan barbeku, tetapi Amerika Serikat bukanlah pencetus barbeku. Sebaliknya, mereka lebih erat keterkaitannya dengan penduduk asli Amerika Utara dan Selatan. Sejarah mereka yang problematik dan sering kali membingungkan lebih banyak bercerita tentang kolonialisme, perang, dan migrasi daripada bertutur tentang kebebasan.
Gonzalo Fernàndez de Oviedo y Valdés (1478-1557), seorang penjelajah dan sejarawan, adalah orang pertama yang menggunakan kata barbacoa. Setelah menghabiskan sembilan tahun di Dunia Baru, dia kembali ke Eropa dan menulis serangkaian buku tentang perjalanannya dan cara orang-orang yang dia temui.
Dalam buku La historia general y natural de las Indias (1535), Oviedo memperkenalkan pembacanya tidak hanya pada tembakau dan nanas, tetapi juga kepada barbacoa, sebuah kata yang ia klaim dipelajari dari Taínos, orang-orang berbahasa Arawak, yang merupakan penduduk utama Hispaniola, Jamaika dan Kuba. Menurut Oviedo, barbacoa adalah sejenis kisi, terbuat dari berbagai bahan alami dan digunakan untuk berbagai tujuan. Di wilayah Darién di Panama misalnya, ia melihat Cueva tidur di barbacoas yang merupakan tempat tidur yang terbuat dari alang-alang dan kayu, dibentangkan sekitar dua atau tiga jangkauan di atas tanah supaya tidak lembap. Di tempat lain, ketika mahiz (jagung) dipanen, orang dewasa menyuruh anak laki-laki mereka membangun tempat perlindungan dari kayu dan tebu, yang juga mereka sebut barbacoas. Di sungai Guayas, di seberang Pulau Puná, Ekuador modern, penduduk asli membuat rakit, terbuat dari lemak dan balok-balok ringan yang disilangkan dengan barbacoa mereka. Artinya disilangkan dengan tempat tidur gantung mereka di tengah.
Tetapi jika barbacoas memiliki hubungan dengan dunia kuliner, Oviedo tampak tidak menyebutnya kecuali pada satu kesempatan. Dia menyebutkan barbacoa digunakan untuk memasak dan, bahkan itu pun adalah satu kejadian yang mengerikan. Suatu hari, Oviedo bercerita, gubernur Cuzco, Hernando de Soto (1500-42) dan sekretarisnya memasuki sebuah kuil Inca, di mana mereka menemukan sejumlah kuburan berisi mayat-mayat pria yang dipanggang di atas barbacoa.
Asap suci
Sampai pertengahan abad ke-17 teks-teks Eropa tidak melihat hubungan yang jelas antara kata “barbeku” dengan metode memasak makanan. Referensi paling awal muncul dalam pamflet Beauchamp Plantagenet, A Description of New Albion (1648). Menggambarkan berbagai penduduk asli di Amerika Utara, penulis menyebutkan bahwa orang-orang Indian di Teluk Chesapeake menggantikan proses penggaraman ikan dengan barbecado atau pengasapan. Tetapi mengingat bahwa kebenaran – bahkan keaslian – dari karya ini pun masih dipertanyakan. Karya ini mungkin harus diperlakukan dengan skeptisisme.
Yang lebih dapat diandalkan adalah kesaksian Edmund Hickeringill (1631-1708), seorang penulis risalah Inggris eksentrik, yang – setelah banyak mengalami petualangan aneh – melakukan satu pertemuan di Hindia Barat. Untuk sementara waktu, ia tinggal di Jamaika, yang baru saja direbut dari Spanyol dan masih dalam cengkeraman perang brutal melawan pemberontak Maroons, sekelompok mantan budak yang heterogen. Konflik ini kemudian menyebabkan Maroons mengembangkan masakan yang sekarang kita kenal sebagai dendeng (lihat History Today, Mei 2019). Hickeringill melihat, di antara penduduk asli Taínos, metode memasak daging selalu berbeda. Setiap kali mereka membunuh salah satu babi liar yang menghuni pulau itu, mereka akan mengiris dan kemudian memakannya setelah “di-barbeku” terlebih dahulu.
Deskripsi Hickeringill begitu singkat sehingga sulit untuk menentukan dengan tepat apa yang dia maksud; tetapi catatan selanjutnya menunjukkan bahwa, pada akhir abad ke-18, ‘barbecuing‘ mengacu pada proses – umum di Amerika – menempatkan daging pada bingkai kisi di atas bara api kecil dan mengasapinya secara perlahan. Gambaran yang jelas diterangkan oleh Olaudah Equiano. Meskipun dia tidak menggunakan kata ‘barbeku’, Equiano melaporkan bahwa, selama perjalanannya di Cape Gracias a Dios (Honduras modern), dia menyaksikan beberapa orang Miskito membunuh seekor buaya dan memasak dagingnya di atas lubang di tanah, diisi dengan kayu yang telah dibakar menjadi arang.
Metode ini memiliki berbagai keuntungan, terutama bagi mereka, seperti Taínos dan Miskito, yang hidup dengan berburu atau pertanian subsisten. Pertama dan terpenting, itu berarti tidak akan ada daging yang terbuang percuma. Karena itu membuat daging yang paling keras menjadi empuk. Hampir setiap bagian dari hewan bisa dimakan. Proses itu juga membutuhkan sedikit bahan bakar; Dan yang terbaik dari semuanya, menghasilkan makanan lezat.
Ada bukti orang Eropa makan daging barbeku selama periode ini, terutama saat bermanuver atau saat bepergian dengan pemandu dari penduduk asli. Dan tidak diragukan lagi mereka menikmatinya. Mereka begitu berselera pada makanan itu hingga kenyataannya pada akhir abad ke-17, kata itu sudah menjadi hal biasa dalam sastra Inggris. Dalam drama Aphra Behn The Widow Ranter (1690), misalnya, rakyat jelata berbalik melawan Kapten Dullman, berteriak “Ayo barbeku bajingan gemuk ini”; sementara dalam Imitations of Horace (1733-8) karya Alexander Pope, Oldfield berteriak, “Dewa-dewa, kirimkan kepadaku, seekor babi utuh yang di-barbeku‘.
*** disadur dari History Today.